Desa yang Melukis Hidup
Desa Penestanan di Ubud, Bali, dan Desa Jelekong, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, bertahan karena lukisan. Meskipun karyanya dihargai berbeda, mereka kukuh melukis. Melukis hidup.
Sore itu, Rabu (15/2), I Ketut Soki pelan-pelan bersila melanjutkan sketsa lukisannya yang hampir rampung. Lelaki yang memperkirakan usianya telah 78 tahun itu dengan teliti menggoreskan pensil pada kanvas berukuran 100 sentimeter x 75 sentimeter. Goresan-goresan itu memunculkan imaji orang-orang di pasar, ritual yang dibarengi tari tradisional, keelokan pura Bali, orang-orang di sawah, dan lanskap pemandangan. Semuanya disusun membentuk scene dari bawah ke atas.
Di samping Soki terdapat lukisan bergambar mirip berukuran 200 cm x 125 cm berjudul "Potong Padi". Lukisan itu memakai warna dasar yang mencolok terang, seperti hijau, kuning, dan merah. Dia memperkirakan, tiga pekan lagi sketsanya itu baru rampung menjadi lukisan.
Soki merupakan salah satu murid Arie Smit, tentara Belanda yang jadi pelukis di Bali. "Dia mengajarkan kepada saya menuangkan semua yang ada di pikiran, yang saya temui sehari-hari, dan yang saya bayangkan," kata Soki yang juga belajar membuat sketsa dari Arie.
Soki lahir dan tumbuh sebagai anak petani yang biasa ke sawah, melihat Gunung Agung, mengunjungi pura, dan menyaksikan beragam ritual keagamaan. Pengalaman itu begitu lekat. Maka, ketika Arie meminta Soki melukis, muncullah lukisan-lukisan seperti "Potong Padi" tadi.
Ciri khas lain adalah garis yang tegas dan detail dalam membentuk sosok dan benda. Itu juga bisa ditemui dalam lukisan Nyoman Tjakra. Sekilas seperti gambar yang diwarnai. Ini ciri khas karya young artist, sebutan untuk para murid Arie yang jumlahnya puluhan. Mereka memakai kain dril yang berbahan katun dan linen, biasa dipakai untuk bahan celana atau jaket. Seratnya yang lembut mempermudah pelukis membuat garis tipis dengan kuas bambu dan cat akrilik.
Murid Arie lainnya, I Wayan Gama (57), fokus melukis dengan tema bebek dan kodok. Ciri khas lukisan dia adalah latar belakang yang dibiarkan kosong sehingga bebek atau kodok itu lepas dari konteks apa pun. Lukisan-lukisan dengan warna cenderung lembut itu lebih ditujukan sebagai penunjang dekorasi ruangan.
Gama menemukan ciri khasnya itu setelah melanjutkan pendidikan di sekolah menengah seni rupa di Denpasar. Arie memberinya semangat dan pengetahuan dasar tentang melukis, sementara sekolah mematangkan teknik dan membantunya menemukan ciri khas. Namun, jejak garis tegas sebagaimana karya para young artist sangat lekat dalam karya Gama.
Beberapa pelukis menjelaskan, era 1970-an hingga awal 2000-an, karya-karya seperti itu menguasai pasar lukisan Penestanan dan bahkan beberapa banjar di dekatnya, seperti Banjar Baung, Desa Sayan. Lambat laun lukisan gaya young artist itu ditinggalkan, beralih ke gaya lain, seperti flora dan fauna. "Saya sekarang fokus menggambar burung atau bunga seperti itu," kata I Made Rajig (52) sembari menunjukkan lukisan bunga kamboja di galerinya.
Arie telah menancapkan tonggak melukis. Kini, generasi setelah dia berkreasi lebih jauh setelah terpapar oleh banyak pengaruh dalam melukis. Banyak pelukis muda usia dua puluhan hingga empat puluhan tahun merambah lukisan abstrak dan kontemporer. Lanskap lukisan tradisional hingga kontemporer itu, antara lain, dapat dilihat di Galeri Manacika yang menampung ratusan karya pelukis Penestanan.
Jika di Penestanan ada Arie Smit, di Jelekong muncul Odin Rohidin (1930-an hingga 2011) sebagai pionir lukisan. Ini, misalnya, terurai dari cerita Uga Surgana (62), yang semula bekerja sebagai kernet opelet pada tahun 1974. Hingga sekarang, Uga bersama sekitar 600 warga Desa Jelekong lainnya menggantungkan nafkah dari hasil penjualan lukisan, meski usaha mereka membuat lukisan itu sebagai hasil kerajinan dihargai relatif murah.
"Sejak dulu sampai sekarang saya memiliki spesialisasi melukis suasana pantai. Dari tahun ke tahun, saya terus melukis suasana pantai untuk dijual di kota-kota lain di Jawa sampai Bali," kata Uga di rumahnya di Desa Jelekong, Selasa (14/2).
Di dalam rumah Uga ketika itu terlihat beberapa lukisan dengan cat masih basah. Cuaca mendung dengan sesekali rintik hujan gerimis membuat Uga menunda penjemuran lukisan-lukisan yang tampak baru selesai itu.
Di teras rumahnya terdapat lukisan berukuran sekitar 150 cm x 80 cm yang menyajikan imaji suasana pantai dengan matahari terbenam yang menyemburatkan warna kuning keemasan. Bias-bias cahaya matahari sore terpantul melalui air laut, pepohonan, dan rumah-rumah di pantai. Dominasi warna hitam seakan menguatkan guratan warna tembaga keemasan itu.
Uga membuat lukisan-lukisan figur perempuan dengan kain ikat kepala. Ia menciptakan kesan aktivitas masyarakat pantai di sore hari belum terhenti meski matahari akan tenggelam di ufuk barat. Semburat warna keemasan dalam suasana matahari terbenam di pantai menjadi ciri khas lukisan yang ditekuni Uga selama bertahun-tahun.
"Saya memutuskan untuk melukis di usia 19 tahun. Saya kemudian banyak melukis di rumah dan menemukan ketenteraman dengan bekerja di rumah," katanya.
Kedua orangtua Uga menjadi petani dan sempat mengkhawatirkan dirinya yang kini ternyata bisa hidup dari lukisan.
Pola penjualan
Semula, lukisan warga Jelekong dijual ke hotel-hotel. Lalu, muncul pengepul yang kemudian membantu mendistribusikannya ke seluruh negeri, bahkan sampai Malaysia dan Timur Tengah. Harganya terbilang murah, berkisar Rp 150.000 sampai Rp 400.000 untuk ukuran 60 cm x 40 cm hingga 150 cm x 80cm.
Harga sebesar itu tentu tidak mampu meningkatkan kesejahteraan warga. Maka, lahirlah Komunitas Gurat Jelekong atas inisiasi Pemerintah Desa Jelekong. Tujuan utamanya meningkatkan kesejahteraan warga.
Di Penestanan, harga lukisan lebih mahal. Lukisan seukuran 60 cm x 40 cm dibanderol Rp 1 juta. Ada juga lukisan jumbo ukuran 200 cm x 150 cm seharga Rp 85 juta. "Biasanya tamu asing masih nawar, sih. Paling turun sedikit," kata Wayan Widi Armini (41), pemilik Galeri Manacika, yang kerap ikut pameran Inacraft di Jakarta. Dalam pameran itu, lukisan Penestanan masuk kategori kerajinan.
Pembeli lukisan Penestanan rata-rata pelancong, terutama dari Australia. "Tapi, lima tahun ini sepi. Dalam seminggu belum tentu ada yang beli," ujar Gama, pemilik Galeri Gama, yang dibantu anaknya, Made Oktaviani (19), juga mempromosikan karyanya lewat internet.
Galeri-galeri ini biasanya menampung karya pelukis dengan sistem konsinyasi. Jika laku, galeri menerima 30 persen sampai 40 persen dari harga jual. Ada juga yang sengaja membeli karya beberapa pelukis lain, seperti dilakukan Gama dan Soki, lalu menjualnya lagi. Alasannya untuk membantu pelukis yang membutuhkan uang. Itu pun untuk lukisan yang harganya tidak terlampau mahal.
Kurator Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Ipong Purnama Sidhi, menuturkan, yang terpenting dari karya lukisan itu narasi dan ide yang disampaikan kepada publik. Lukisan Penestanan punya ide, sementara Jelekong tidak. Sebab, lukisan Jelekong menekankan pada hal kasatmata tanpa identitas yang jelas. "Walaupun sama-sama melukis pemandangan, Penestanan lebih punya roh," kata kurator yang pernah membantu pameran lukisan Penestanan di BBJ pada 1995 ini.
Pengamat seni rupa Agus Dermawan T menyebut lukisan Jelekong sebagai lukisan arus bawah. Lukisan ini berpotensi menghasilkan kebaruan atau kesegaran ide, tetapi sayangnya selama ini tidak terjadi di Jelekong. Lukisan dari Jelekong masih terpaku pada corak lukisan patron atau yang disebut sebagai guru. "Lukisan arus bawah menjadi mata pencarian sehingga produktivitas dari sisi jumlah yang dihasilkan juga menjadi hal utama. Harga tidak bisa ditetapkan tinggi."
Bagi Agus, lukisan arus bawah ini masih memiliki potensi sebagai suvenir keindonesiaan, yakni lukisan pemandangan alam tropika Indonesia. Bagi masyarakat Eropa, misalnya, lukisan pemandangan Indonesia memiliki nilai artistik tersendiri.
Lepas dari apa pun itu, warga Jelekong dan Penestanan tetap melukis. Sebab, itulah yang menghidupi mereka. Bagi mereka, selama masih ada kanvas digores kuas, selama itu pula hidup bisa berlanjut. Mereka tengah melukis hidup meski kadang dihargai murah, bahkan murah sekali....