Ade Darmawan Merayap Bersama Semut
Barisan semut dibiarkan leluasa kerja bahu-membahu di lantai di depan pintu kamar seniman Ade Darmawan (43). Bersama rambatan alamanda ("Allamanda cathartica") yang dihuni burung-burung gereja dengan sarang- sarangnya di depan jendela kaca kamarnya, menjadi spirit kolektivisme Ade dalam berkarya.
Semut yang ada di dalam rumah selalu aku biarkan. Ini berhubungan dengan praktik seni yang aku jalani selama ini, yaitu kolektivisme," kata Ade, Kamis (23/2), di kediamannya di Kompleks Hills Townhouse, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Dan, benar. Di depan pintu kamarnya ada sebuah keset handuk berwarna putih. Pagi itu di sebelah keset tersebut dilintasi barisan semut. Ade membiarkan semut-semut itu bekerja.
Sebelum itu, Ade menyuguhkan narasi menarik dari kamar tidurnya. Narasinya bukan tentang isi kamar tidur, tetapi sesuatu yang ada di luar kaca jendela kamarnya.
Kaca jendela kamar Ade menghadap ke timur. Ada dua bingkai. Bingkai kaca jendela di sisi kiri lebih besar dan permanen. Di balik kaca itu banyak tertempel kotoran burung gereja.
Jendela sisi kanan berengsel dan bisa dibuka. Namun, percuma saja bingkai jendela itu tidak akan pernah dibuka Ade. Di sebaliknya, ada rambatan alamanda yang dipenuhi sekitar delapan sarang burung gereja.
"Dulunya, sampai ada sarang burung yang menempel di kaca jendela dan saya biarkan. Lambat laun sarang itu terjatuh, karena tidak terlalu kuat menempel di kaca," kata Ade.
Pohon merambat alamanda bagi Ade juga menjadi simbol kolektivisme. Pohon perdu itu tumbuh dan mampu berfungsi sebagai sebuah kanopi peneduh. Kolektivisme alamanda tumbuh secara horizontal, selalu saling menopang, selalu berjejaring.
"Praktik seni kolektivisme ini yang aku terapkan di Ruangrupa," ujar Ade, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI ) Yogyakarta.
Ruangrupa merupakan organisasi yang bergerak di bidang seni rupa kontemporer. Bersama beberapa rekannya, Ade mendirikan Ruangrupa di Jakarta pada 2000.
Ruangrupa mendorong kemajuan gagasan seni rupa urban melalui kegiatan pameran, kerja sama riset, laboratorium seni rupa, penerbitan buku, dan sebagainya. Organisasi ini juga mendirikan Galeri Ruru di bilangan Tebet, Jakarta Selatan.
Ruangrupa memiliki program Art Lab untuk menunjang kerja sama riset untuk kolaborasi seni rupa atas berbagai permasalahan masyarakat urban dan medianya. Di bidang pengembangan seni rupa kontemporer dengan media video, Ruangrupa menggagas program OK.Video, yang baru-baru ini menggelar pameran bertema "Following" di Galeri Nasional, Jakarta.
Dari seabrek program Ruangrupa yang digerakkannya, menurut Ade, tidak lain adalah praktik seni rupa dengan prinsip kolektivisme. Nilai kolektivisme itu hadir di rumahnya setiap waktu melalui barisan semut dan pohon alamanda di kanopi rumah yang kini kian tumbuh tegak menjalari dinding-dinding rumahnya.
"Di bagian dinding itu ada kabel yang digunakan untuk tumbuh merambat ke atas. Jadilah, jejaring alamanda tumbuh vertikal sampai ke depan kaca jendela kamar saya di atas," kata Ade.
Rumah ibarat sarang
Rumah Ade berdiri di atas tanah berukuran 128 meter persegi. Ada tiga tingkat. Lantai pertama untuk emper mobil atau carport. Di belakang carport itu ada garasi dengan pintu kayu gebyok dari rumah tradisional Jawa.
Ruang di dalam garasi disulap menjadi studio Ade. Ada rak untuk piala-piala, rak untuk barang-barang yang pernah digunakan menjadi instalasi seninya, kardus-kardus untuk karya seni yang belum dibuka, dan sebagainya. "Studio sekaligus menjadi gudang," ujar Ade.
Dari ruang garasi ini ada sebuah tangga ke lantai dua. Dari jalan di depan rumah Ade, juga dihubungkan tangga untuk menuju lantai dua yang sama. Lantai dua digunakan sebagai ruang tamu sekaligus untuk perpustakaan pribadinya. Selain perpustakaan, juga digunakan untuk ruang santai, seperti menonton televisi. Ada sofa dan karpet lunak di depan televisi. Itu seruang dengan meja makan dan dapur.
Sebuah jendela terbuka ada di ruang dapur. Jendela itu menghadap sebuah taman di dalam rumah yang juga menjadi ruang hidup bagi sekawanan ikan nila di dalam sebuah bekas bathtub atau penampung air mandi.
"Hampir semua benda yang saya gunakan untuk perabotan rumah ini, saya beli sebagai barang bekas," kata Ade.
Buku yang ada di rak-rak lemarinya, sebagai hasil perburuan Ade dari toko-toko loak di berbagai kota di Tanah Air dan luar negeri. Lemari rak buku juga lemari bekas. Sofa di depan televisinya juga dibeli bekas. Termasuk meja makan dan bathtub untuk ikan-ikan nilanya.
"Semula nila saya tebar hanya sekitar 20 ekor. Sekarang sudah berkembang biak sampai ratusan ekor," kata Ade.
Itu secuil narasi di lantai dua rumah Ade. Lantai tiga menjadi ruang pribadi berisi dua kamar. Salah satu kamar itu untuk ruang tidur Ade dengan kaca jendela menghadap ke timur dan dijalari alamanda dengan sarang-sarang burung gerejanya tadi.
Ade pun bertutur tentang tingkah-tingkah burung gerejanya. Satu hari ketika matahari muncul dengan warna redup, burung-burung itu terbangun. Mereka berdecit satu sama lain, seakan saling membangunkan. Nah, ketika matahari mulai menerangi seisi bumi, barulah burung-burung itu benar-benar berkicau dan beterbangan kian kemari di jejaring ranting pohon alamanda.
Sejenak mereka seperti bersenam. Atau merayakan hari yang baru. Beterbangan kian kemari di sekitar sarang tempat tinggal mereka. Yang terjadi kemudian, burung-burung gereja itu terbang jauh. Tentu mudah ditebak. Burung-burung itu harus bekerja mencari makan. Bagi calon ibu burung, mereka pergi mencari dedaunan ringan yang mengering untuk membuat sarang baru.
"Pada siang harinya, mereka seperti memiliki waktu untuk break (istirahat). Burung-burung itu kembali mendekat ke sarang, tetapi tidak untuk bersarang," kata Ade.
Setelah break, burung-burung pun kembali bepergian hingga menjelang sore. "Ketika hari mulai gelap, mereka saling berdecit. Mereka seperti memperbincangkan hari yang sudah mereka lalui," kata Ade.
Inspirasi rumah orangtua
Ade berhasil mengaitkan praktik kerja kolektivisme seni rupanya dengan keadaan yang berlangsung di rumahnya. Semuanya terjadi secara kebetulan dan berjalan sendiri-sendiri.
"Saya membeli dan menghuni rumah ini sejak sekitar empat tahun yang lalu. Sebelumnya, selama lima tahun saya menyewa sebuah ruang berukuran 28 meter persegi di Tebet," kata Ade.
Dari luar bagian depan, tampak rumah tempat tinggal Ade sekarang didominasi tetumbuhan alamanda. Ternyata Ade mendapat inspirasi itu dari rumah orangtuanya di Rawamangun, Jakarta Timur.
Rumah orangtuanya menjadi tempat kelahiran dan ruang tumbuh bagi Ade. Rumah di atas tanah seluas 90 meter itu dipenuhi rerambatan pohon cincau.
"Pohon cincau merambat dan menutup ruang-ruang dalam rumah kami. Suasana di rumah orangtua saya seperti itu terbawa sampai sekarang," kata Ade.
Ketika di rumah Ade tidak merasa sendirian. Ia selalu ditemani semut-semut dan burung-burung gereja yang bersarang di dekat kamar tidurnya. Dari situlah, Ade meneguhkan hati untuk mempraktikkan kerja kolektivisme bagi dunia seni rupanya di Ruangrupa. Kini, Ruangrupa juga mengelola berbagai program di Gudang Sarinah Ekosistem, Pancoran, Jakarta Selatan.
"Kerja kolektivisme berbeda dengan kerja komunal. Kerja kolektivisme tidak akan berhasil tanpa individu yang kuat, sedangkan kerja komunal menyingkirkan individu," ujar Ade.
Ade di rumahnya, teguh dan teduh dengan prinsip itu.