Angin Segar di Neka Art Museum
Kecintaan Pande Wayan Suteja Neka (78) kepada seni dan budaya tanah lahirnya melahirkan Neka Art Museum. Museum ini bukan saja menyimpan benda seni seperti lukisan dan keris. Lebih jauh, merawat tradisi dan budaya Bali dalam bentuk arsitektur museum, Sikut Satak.
Neka Art Museum berada di atas tanah seluas hampir 1 hektar di Ubud, Bali. Luas bangunan secara keseluruhan hanya sekitar 3.000 meter persegi, sedangkan sisanya berupa ruang terbuka hijau dan lahan parkir yang mampu menampung 50 mobil. Museum ini berdiri tahun 1982.
Dia tengah lahan seluas itu, bangunan utama Neka Art Museum dikepung pepohonan, seperti sukun, mangga, bambu, belimbing, dan kelapa. Di belakang bangunan utama itu membujur Tukad Campuhan yang sekilas tak terlihat lantaran tertutup rimbunnya pepohonan. Seekor tupai lari menjauh lalu melompat dari satu dahan ke dahan lain sebelum menghilang saat pemilik museum, Neka, mengajak duduk di kursi-kursi yang mengelilingi meja marmer bundar di Paviliun Srimin.
Nama paviliun itu sebagai bentuk penghormatan serta bukti cinta Neka kepada istrinya, Ni Gusti Made Srimin. Paviliun berukuran 480 meter persegi itu berdiri kokoh ditopang tiang-tiang kayu jati. Bangunan ini biasanya dimanfaatkan untuk pameran atau upacara tradisi. "Kalau ada acara di sini, di ruang bawah dimanfaatkan untuk makan," ujar Neka mulai menjelaskan museumnya.
Total jumlah bangunan museum ini mencapai tujuh, yakni satu bangunan utama dan enam bangunan pendukung. Di setiap bangunan terdapat jendela-jendela yang selalu memberikan jalan cahaya dan udara segar. Dinding bangunan menggunakan batu bata merah dan putih dengan ornamen ukiran Bali.
Dari sisi pola penataan ruang dan arsitektur, Neka Art Museum menggunakan prinsip arsitektur tradisional Bali, Sikut Satak. "Ini Sikut Satak, tapi besar. Saya mempertahankan budaya dan tradisi Bali lewat museum ini," kata Neka, pendiri sekaligus pemilik Neka Art Museum.
Alasan lain penggunaan prinsip Sikut Satak karena memungkinkan sirkulasi udara lancar sehingga barang-barang seni lebih awet. Konsep Sikut Satak memungkinkan pertukaran udara berjalan lancar sehingga tidak ada yang buruk di dalam ruangan karena selalu berganti dengan udara bersih dari luar. Ini menggunakan ventilasi silang yang memungkinkan udara dari depan bangunan tersedot ke dalam dan keluar dari belakang. Makanya ruang pamer museum ini selalu terasa segar.
Sirkulasi itu berdasar letak bangunan yang diberi jarak atau ruang. Sebagaimana prinsip Sikut Satak, Neka menata bangunan-bangunan museum itu sebagaimana rumah tradisional Bali. Di sana terdapat Bale Dangin, Bale Delod, Bale Daja, dan Bale Dauh. Dalam tradisi Bali, masing-masing bale itu punya fungsi masing-masing. Misalnya, Bale Daja difungsikan sebagai tempat tidur anak gadis atau pengantin baru, Bale Delod tempat menampung tamu, dan Bale Dauh tempat ibu dan bapak tinggal.
Di Neka Art Museum, masing-masing bale itu dijadikan semacam ruang galeri dengan sebutan paviliun. Maka, muncullah Lempad Paviliun yang berisi puluhan lukisan I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978). Dia salah satu seniman Bali yang menghasilkan karya-karya naratif dengan piawai menangkap gerak, figur, dan seluk-beluk budaya Bali.
Di dekatnya terdapat Arie Smit Paviliun yang berisi lukisan-lukisan Arie Smit (meninggal 2016), dan para muridnya, Young Artists. Paviliun ini berlantai dua. Di seberangnya, berdiri paviliun berisi seni lukis kontemporer Indonesia berlantai dua. Di bagian atas antara lain terpajang karya Abdul Aziz, Anton Kustia Widjaja, dan Soebroto. Adapun di lantai bawah muncul karya-karya Affandi, Hendra Gunawan, Sindudarsono Sudjojono, Fadjar Sidik, Bagong Kussudiardja, dan Abas Alibasyah.
Di ruang lain, Neka mengumpulkan lukisan karya pelukis luar negeri Johan Rudolf Bonnet, Willem Gerard Hofker, dan Paul Husner. Juga beberapa pelukis lain dari luar negeri.
Seni untuk seni
Total lukisan yang dipamerkan mencapai 400 buah. "Lukisan ini saya kumpulkan satu per satu sejak lama. Pria kelahiran Desa Peliatan Ubud, Gianyar, Bali, ini sempat menjadi guru bahasa Inggris sebelum serius menggeluti dunia seni sebagai kolektor. Ketertarikan kepada seni itu tak luput dari pengaruh ayahnya, I Wayan Neka (1917-1980), yang seorang perupa patung ternama. Salah satu karyanya berupa patung mitologi garuda setinggi tiga meter dipajang di New York World Fair di Amerika Serikat pada 1964. Saat itu Neka baru lulus Sekolah Guru Atas (SGA).
Neka tergerak membantu pengembangan seni. Pertengahan era 1960-an, Neka mulai membeli lukisan untuk dijual lagi di Neka Gallery yang hanya berukuran 54 meter persegi. Neka bersama istrinya, Ni Gusti Made Srimin, memajang lukisan dan patung karya ayahnya di sana. "Waktu itu saya sudah jadi guru SMP. Kalau saya mengajar, istri saya menunggu galeri," ujarnya.
Dia sangat rajin mengumpulkan lukisan untuk dikoleksi. Pada suatu saat, di tahun 1970-an, perupa Arie Smit pameran dan menjual lukisan. Neka yang mengenal Arie sebagai perupa terkenal sekaligus guru dari para seniman muda Bali merasa perlu untuk mempunyai lukisannya. Dia pun membeli dua lukisan yang waktu itu harganya sekitar Rp 300.000. Inilah yang kemudian kelak menjadi awal keakraban Neka dengan Arie.
"Saya juga pernah membeli lukisan perahu karya Affandi, 500 dollar, sebulan kemudian dibeli bule 1.000 dollar. Uangnya saya simpan untuk kepentingan seni," ujar Neka.
Uang hasil penjualan lukisan dia kumpulkan dan kelak menjadi modal membangun museum. Bagi Neka, uang dari seni harus digunakan untuk pengembangan seni. "Uang dari pelukis saya kembalikan untuk pelukis. Kebahagiaan dari dunia seni, saya kembalikan untuk seni," begitu Neka membahasakan pengabdiannya di dunia seni yang antara lain mewujud dalam Neka Art Museum ini.
Museum ini gratis bagi pengunjung lokal. Hanya tamu mancanegara yang dia kenai tarif. Itu pun hanya untuk biaya operasional museum termasuk membayar gaji 30 stafnya.
Jika semula hanya memajang lukisan, kini Neka mengumpulkan 300-an keris dari berbagai daerah, terutama keris pusaka kerajaan-kerajaan di Bali. Tersebutlah antara lain keris Ki Gagak Petak dari abad ke-17 milik Kerajaan Buleleng. Juga keris Ki Baju Rante dari abad ke-18 milik Kerajaan Karangasem. "Banyak keturunan raja yang menyerahkan kerisnya ke sini. Mereka senang dan merasa lebih aman pusakanya disimpan di Neka Art Museum," papar Neka.
Dari lukisan hingga keris. Keindahan lukisan hingga alam. Menjelajahi Neka Art Museum tak hanya menemukan udara segar, tetapi juga pemandangan segar.