Nico Sang Enigma
Antara Takengon dan Meulaboh, sekawanan burung rangkong terbang melintasi langit dengan suaranya yang berderu mirip raungan mesin helikopter. Nicholas Saputra terpana. Mungkin ada sisi dirinya yang berbisik ketika itu bahwa ia pun seekor burung. Hampir 10 tahun kemudian, Nico akhirnya terpanggil menjadi manusia burung.
"
Mereka puluhan, terbang berbarengan. Suaranya mirip helikopter. Waktu itu saya sedang road trip di Aceh. Lupa persisnya di mana, mungkin di Beutong Ateuh," kenang Nico (33).
Ia menyebut kecamatan di Kabupaten Nagan Raya yang menyimpan tragedi berdarah, pembantaian rakyat sipil oleh oknum militer pada 1999. Burung-burung rangkong yang dilihatnya saat itu mungkin memberi pertanda bagi Nico. Dalam kepercayaan masyarakat Dayak di Pulau Kalimantan, burung rangkong badak, misalnya, adalah perantara untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur. Ia lambang kesucian, kekuatan, juga kekuasaan.
Obrolan tentang burung-burung ini membuka pertemuan pagi kami di Restoran Plataran Dharmawangsa di selatan Jakarta.
”Hornbill (burung rangkong), salah satu burung yang paling saya suka. Saya lebih sering lihat hornbill di Sumatera daripada di Kalimantan,” kata Nico, yang gemar bepergian ke sejumlah daerah di Indonesia.
Antusiasme Nico pada burung rangkong itulah yang juga membuat dirinya terpanggil untuk terlibat dalam film Interchange yang kini bisa disaksikan publik di Indonesia. Film produksi Indonesia (Cinesurya) dan Malaysia (Apparat) ini pertengahan tahun 2016 diputar pertama kali dalam Festival Film Locarno Ke-69 di Swiss. Dalam film garapan sutradara asal Malaysia, Dain Iskandar Said, Nico berperan sebagai Belian, manusia yang tubuhnya dihuni jiwa seekor burung.
Sambil ngemil pisang goreng dengan lahap, Nico lalu bercerita orang-orang yang terlibat dalam film Interchange, mulai dari pelatih bahasa mendiang Wesley Yan Santoz, juga koreografer tarian Din Sabah yang melatih gerakan tubuh Nico. Wesley yang berasal dari masyarakat Dayak Kenyah di Sarawak, Malaysia, mengajarinya bahasa Dayak Kenyah untuk sebagian dialog dalam film.
Film Interchange memang meminjam sebagian dari potret masyarakat adat Dayak di Pulau Kalimantan sebagai inspirasi cerita. Meski begitu, kisah dalam film itu berlatar negeri antah berantah saat kehidupan manusia modern berkelindan dengan tradisi kepercayaan leluhur dari suatu masyarakat adat.
Pekerjaan pertama
Film Interchange menandai 16 tahun sudah Nico di dunia film. Nico lalu bercerita, sebenarnya awal mula dirinya tersorot adalah ketika muncul di majalah Gadis, majalah remaja dari Femina Group. ”Dulu di Gadis ada rubrik yang bahas semacam ’cowok dari SMA mana bulan ini’. Lalu, mereka (redaksi Gadis) suka hunting tuh ke mal, ke mana-mana. Waktu itu saya sedang main bisbol buat SMA saya (SMA 8 Jakarta) di Senayan, terus saya diprofilkan sama mereka. Setelah itu saya diajak jadi bintang iklan Gadis. Jadi, pertama kali kerjaan, tuh, justru shooting iklan Gadis,” ungkap Nico.
Nico mengira, mungkin dari situlah ia dilirik kalangan film. Nico tertarik dengan dunia film sejak remaja. Tepatnya sejak ia menonton film Petualangan Sherina (2000) dengan kedua orangtuanya. ”Waktu saya nonton Petualangan Sherina, saya kagum banget. Wow, kagum bahwa film Indonesia bagus,” ujar Nico yang mewakili generasi yang tumbuh pada era lesunya perfilman Indonesia.
Sampai suatu ketika datang tawaran casting dari rumah produksi yang didirikan Mira Lesmana untuk proyek film AADC atau Ada Apa dengan Cinta? (2002). Nico lalu mengikuti casting untuk peran Borne, pacar dari tokoh Cinta. ”Tim casting telepon saya, sudah di-casting, nih, buat peran Borne, mungkin enggak lolos. Terus mungkin Mbak Mira lihat saya di majalah Gadis, terus baru casting lagi, tetapi untuk peran Rangga,” ungkap Nico.
Ia mengaku, sebenarnya kedua orangtuanya awalnya tak setuju dengan keputusannya main film. ”Waktu shooting pertama AADC, saya pulang malam pukul 23.00. Saya dikunciin (di luar rumah oleh orangtua). Serius. Ha-ha-ha,” kenang Nico.
Namun, Nico membuktikan kepada orangtuanya, justru sejak ia bermain film itulah, nilai-nilainya di sekolah malah lebih bagus. Nico juga berhasil lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri dan memilih jurusan Arsitektur di Universitas Indonesia. ”Saya ambil pilihan pertama Arsitektur, lalu Hubungan Internasional (HI) dan Antropologi. Sebenarnya agak berharap diterimanya di HI atau Antrop, sih, he-he-he,” celotehnya.
Sejak film AADC itulah, popularitasnya melesat. Ia memainkan beragam karakter di berbagai film. Meski begitu, imaji tokoh Rangga dalam AADC kerap terus-menerus dilekatkan publik kepada sosoknya. Imaji lelaki yang dingin, misterius. Padahal, Nico terus bertumbuh. Celotehannya ramai dan penuh antusiasme pada hal-hal yang beresonansi dengan hatinya.
Obyektifikasi
Selain film, Nico juga menjalani hobinya bepergian (travelling) sepenuh hati. Entah itu ke sejumlah tempat di luar negeri ataupun keliling Indonesia. Orang-orang yang ditemuinya saat bepergian seperti itulah yang menjadi ”guru” aktingnya. Bepergian memberi energi dan perspektif yang lebih luas dalam mengeksplorasi peran. Lewat bepergian, berkawan dengan alam, dan dunia film yang digelutinya, ia merawat integritas. Nico kini juga mencoba memadukan kepeduliannya pada lingkungan dengan proyek seni rupa yang akan ditampilkan di ArtJog 2017.
Nico, yang anak tunggal, sejak kecil kerap diajak bepergian oleh kedua orangtuanya. Salah satu yang mengesankan Nico kecil adalah setiap kali menemani nenek dan ibunya pulang kampung ke Purworejo di Jawa Tengah. Di depan rumah keluarganya, terlihat jelas Gunung Sindoro-Sumbing dan hamparan sawah. ”Mulai dari situlah, alam itu rasanya benar-benar kemewahan buat saya. Menemukan akar saya,” ujar Nico.
Selalu dikenali orang saat bepergian di wilayah Indonesia sebenarnya tidak menjadi masalah bagi Nico. Namun, kini pada era telepon pintar dan media sosial, Nico merindukan satu hal. Masa ketika dirinya disapa orang yang tak dikenalnya untuk diajak berinteraksi sungguhan, ngobrol sekadarnya. Sekarang, orang hanya ingin berfoto dengan dirinya untuk kepentingan posting di media sosial.
Tak lama setelah mengungkapkan itu, seorang pengunjung perempuan di restoran tepergok mengambil fotonya diam-diam. Namun, tak ada raut kemarahan di wajahnya. ”I feel objectified. Saya-nya tuh jadi enggak ada, saya sekarang ini cuma physical being yang jadi obyek. Kalau dulu, orang lebih menyapa, menegur, ngobrol. Sekarang mereka cuma mau ambil foto untuk posting,” ucapnya pelan dan datar.
Kami lalu terdiam sejenak. Ungkapan Nico tentunya fenomena banal yang kita semua rasakan saat ini. Lamunan itu terkikis ketika kemudian pelayan restoran membawa pesanan makan siang, salah satunya mi jawa yang di dalam buku menu dinamai Mie Panjang Umur. Nico kembali antusias. ”Wah, mi panjang umur, pas banget gue baru ulang tahun,” ujarnya berbinar kembali.
Nicholas, nama yang berarti kemenangan rakyat, bagaimanapun adalah sosok berjiwa. Tidak semata imaji sarat enigma, tetapi kosong. Jadi, berilah sapaan hangat jika berjumpa dengannya kapan saja. Hai Nico!