Pelabuhan Cinta Anas Alimi
Sering-seringlah pergi sehingga kau akan tahu nikmatnya pulang. Adagium itu begitu melekat pada Anas Syahrul Alimi (40), penggagas Prambanan Jazz Festival. Maka, rumah bagi Anas adalah kenikmatan pulang yang sesungguhnya, tempat di mana dia melabuhkan cinta kepada seluruh keluarga.
Sebagai seorang promotor, kesibukan Anas memang luar biasa. Tidak hanya sibuk berkantor setiap Senin-Sabtu di Yogyakarta yang menjadi kota tempat tinggalnya, Anas pun kerap harus ke luar kota hingga ke luar negeri. Frekuensinya bisa dikatakan tinggi karena nyaris setiap minggu Anas harus meninggalkan rumah.
Sering-seringlah pergi sehingga kau akan tahu nikmatnya pulang.
Kesibukan seperti itu sudah dilakoni Anas sejak 2008. Tepatnya ketika dia meninggalkan dunia buku dan memilih mendirikan agensi iklan dan event organizer, Rajawali Indonesia Communication.
Kebetulan, salah satu divisinya adalah konsultan politik dan mereka menjadi salah satu rekanan konsultan yang menangani pemenangan presiden dan pemenangan beberapa pemilihan kepala daerah di Indonesia. "Saya jadi sering ke luar kota," ujar Anas di kediamannya, di kompleks pensiunan di Kalasan, Sleman, Yogyakarta, Selasa (14/2).
Pengalaman menjadi konsultan politik itu memberinya "pemahaman lain". Musik ternyata adalah pendekatan paling tepat untuk menyampaikan pesan. "Ketika kita bikin event, selalu harus ada musik, baik itu event politik maupun event entertainment murni. Hal ini karena musik adalah bahasa universal. Orang rupanya enggak bisa lepas dari musik," katanya.
Dari situ, tahun 2011, Anas memutuskan lebih serius menggarap divisi musik. Namun, Anas tak mau sembarangan. Dia menekankan beberapa syarat. Pertama, tak mau sama sembarangan membuat event musik.
"Harus beda. Kalau orang bikin CD, ternyata konsernya juga mirip, mending dengerin CD-nya saja. Atau, kalau di TV sering lihat terus di konser live-nya juga begitu, ya, percuma," kata CEO Rajawali Indonesia Communication ini.
Kedua, Anas juga lebih peduli menggelar konser di luar Jakarta. Baginya, kota-kota di luar Jakarta juga punya hak menikmati konser berkualitas. Pengalamannya harus berburu konser hingga ke sejumlah kota jadi alasannya.
"Saya, kan, pemburu konser sejak mahasiswa. Pokoknya bagaimana caranya bisa nonton. Dulu paling sering nguber God Bless dan Gong 2000, juga Dewa 19 yang waktu itu lagi booming," ujar pria kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur, ini.
Pemburu konser
Masuk dunia kerja, Anas semakin rajin berburu konser, bahkan sampai ke luar negeri. Pernah dia mengejar Sting yang sedang tampil di Singapura. Juga menyambangi festival musik di Melbourne, Australia, yang menghadirkan musisi-musisi dunia, seperti Red Hot Chili Peppers dan Metallica. "Ketika nonton itu saya mikir, kalau bisa bikin kayak gitu kenapa enggak," ujar Anas.
Cita-cita itu terealisasi setahun kemudian. Anas "iseng" menghelat konser penyanyi Glenn Fredly yang kala itu sedang naik daun dengan lagunya "Januari". "Saya bikin di Yogyakarta dan ternyata sold out," kenangnya.
Sukses dengan konser pertama itu, tahun 2011 Anas kembali mengulang sukses kala menyandingkan Glenn dengan Tompi di satu panggung hingga tur ke tiga kota, Solo, Yogyakarta, dan Malang. Disusul konser trio Glenn, Tompi, dan Sandhy Sondoro yang tiketnya terjual habis satu bulan sebelum konser digelar.
"Akhirnya kami bikin tur 12 kota, pakai nama Trio Lestari. Sejak itu, saya memutuskan promotor musik harus diseriusi dan memang harus ke daerah karena daerah juga butuh musik dan konser berkualitas. Jangan melulu Jakarta," tegasnya.
Selain musisi-musisi dalam negeri, Anas juga memboyong musisi luar negeri. Michael Learns to Rock, Boyz II Men, Rick Price, hingga Air Supply. Bulan April nanti, Anas juga memboyong David Foster ke Yogyakarta. Anas juga menggagas Prambanan Jazz Festival yang mendatangkan musisi-musisi jazz dunia dan Festival Mocosik yang digelar Februari lalu.
"Selama ini orang cenderung takut membawa artis luar negeri ke daerah. Padahal, sebenarnya tidak harus takut karena kita bisa berhitung," ungkap Anas.
Jika yang dibawa artis yang sedang naik daun, menurut dia, memang agak berat. Selain fee-nya mahal, daya beli di daerah juga rendah. Solusinya, bisa ambil artis besar yang sudah legend. "Orang kenal lagu-lagunya, daya belinya juga ada karena pasti penggemarnya rata-rata sudah mapan," katanya.
Tahun ini, Anas masih terus membuka berbagai kesempatan menghadirkan musisi-musisi Tanah Air dan musisi dunia terbaik ke Yogyakarta. Sebuah pertemuan dengan agen penyanyi dunia yang tengah naik daun pun siap dijabani Anas di London, Inggris.
Paling nyaman
Dengan kesibukan yang tinggi, rumah adalah kenikmatan pulang, di mana Anas bertemu orang-orang tercintanya, istri dan keempat anaknya. "Anak saya masih kecil-kecil, tetapi sudah sekolah semua. Jadi, kalau mereka sekolah, sepi. Begitu mereka datang kayak pasar. Di situ letak kenikmatannya," kata Anas.
Rumah yang ditinggali Anas dan keluarga kecilnya itu baru saja direnovasi. Ini adalah renovasi kedua kalinya. Saat membeli rumah itu pada 2009, Anas memasang joglo di teras depan.
Kini, rumah dua lantai dengan luas tanah 283 meter persegi dan luas bangunan 400 meter persegi itu ditata dengan gaya semimodern, memadukan gaya klasik favorit Anas dengan gaya rustic. Fasad rumah tampil lebih modern dengan pintu gerbang terbuat dari potongan-potongan kayu jati tua.
Sisi depan rumah didominasi kaca sehingga memungkinkan cahaya matahari masuk bebas ke dalam ruangan. Begitu pula dengan langit-langitnya yang tinggi, memberi kesan luas.
"Saya ini penggemar antikan, tetapi sekarang pendekatannya lebih ke rustic, agak modern. Jadi, dikolaborasikan kayak vintage-rustic. Sebelum ini sangat klasik. Pintu depan pakai gebyok. Barang-barang juga tua semua, didominasi furnitur berat," kata Anas.
Sebagai aksen, Anas memajang sejumlah lukisan yang menjadi koleksinya. Salah satunya karya Rismanto berupa pesawat dan burung yang dilukis di atas kanvas berukuran 3 meter x 2,5 meter.
"Lukisan ini menarik karena filosofinya cocok seperti saya yang melesat ke udara, banyak burung, warna-warni. Kayak Rajawali Indonesia," ujar Anas yang juga kolektor mobil dan motor antik.
Di bagian depan rumah, Anas membuat ruang kerja agar dia bisa bekerja di rumah dan tetap memberi perhatian kepada anak-anaknya. Anas pun membebaskan mereka bermain di sana, melakukan apa pun yang mereka suka.
Ruang keluarga ada di bagian tengah dengan televisi yang menjadi satu-satunya televisi di rumah itu. Begitu juga dengan kamar mandi yang hanya berjumlah satu buah. "Saya biasakan mereka sharing dan ngantre," ujarnya.
Segala riuh-rendah dan "kekisruhan" itulah yang membuat Anas merasa berada di rumah. Di lingkungan yang dihuni banyak pensiunan dan di Yogyakarta, kota yang menambat hatinya sejak pertama menjejakkan kaki di tahun 1992.
"Saya sangat percaya dengan deja vu. Daerah ini, setiap hari, bertahun-tahun lamanya saya lewati pakai bis sejak SMA," katanya. Di situ, Anas melabuhkan cintanya.