Darah Muda dan ”Jazz Antik”
Sesak! Belasan kursi di restoran lobi Gedung Niaga yang diberi nama Demajors Stage tak cukup memuat penonton—rata-rata berusia 20-an tahun. Arena depan panggung kecil itu dipenuhi para Penelisik, sebutan bagi penggemar Danilla (27), yang main pada hari Jumat (3/3) malam.
Biduan bernama lengkap Danilla Jelita Poetri Riyadi ini melantunkan lagu lembut seperti ”Buaian”, ”Senja di Ambang Pilu”, dan lagu teranyar ”Kalapuna”. Seorang pemuda tak henti bernyanyi sembari sesekali memejamkan mata. Mungkin hatinya gulana.
Nuansa balada yang ia usung makin syahdu kala Danilla main pianika. Vokal alto dia terasa pas dalam ayunan jazz yang agak-agak ngepop itu. Gesturnya yang agak canggung justru terlihat menggemaskan. Lewat album pertamanya, Telisik (2014), ia menjadi idola baru, terutama para cowok.
Setelah menuntaskan nomor standar jazz ”My Favorite Things”, ia dikerubuti penggemar yang minta foto bareng. Kebanyakan memang para cowok, tetapi ada juga gadis cilik. Danilla telaten melayani permintaan itu.
Mas-mas bule
Di antara penonton yang menghampirinya, ada seorang ”mas-mas bule” yang sabar menunggu kesempatan berbincang. Ternyata, dia adalah Francesco Mendolia, pemain drum grup jazz kawakan asal Inggris, Incognito. Francesco terkesan berat dengan penampilan Danilla barusan, dan merasa idola kita ini harus tur keliling Eropa. Oh, pantas saja ia berseri-seri waktu ngobrolsama Francesco.
”Wow, enggak kebayang,” seru Danilla mengomentari tanggapan penonton. Ia harus mengatur napas beberapa kali saking terkejutnya. Padahal, dulu ketika tampil pertama kali di Java Jazz 2014, penontonnya adem. ”(Dulu) yang nonton cuma orang makan. Itu pun sambil ngelirik doang,” katanya.
Ya maklum, waktu itu albumnya baru keluar. Album enak itu adalah gambaran jejak musikalitasnya. Ibu dan pamannya adalah pemusik dan penyanyi jazz. Makanya, sejak kecil Danilla banyak mendengar lagu jazz, terutama yang bergaya bossanova, seperti lagunya Joao Gilberto, Astrud Gilberto, dan Antonio Carlos Jobim. Ketiganya berasal dari Brasil, sama dengan Sergio Mendes.
Bisa dibilang, Mendes, Jobim, dan pasangan Gilberto berperan mengenalkan hasil ”persilangan” musik latin Brasil dan jazz kepada dunia, termasuk Danilla kecil. Kelak, corak ini dinamakan bossanova, yang punya arti harfiah ”irama baru”.
Danilla ingin membuat album yang lebih nge-jazz. Ia pernah membincangkan hal ini dengan kawan-kawannya, Mondo Gascaro dan Lafa Pratomo, dua pemusik yang ikut mengasah Danilla. ”Penginbanget membuat jazz versi Indonesia. Ini impian saya,” katanya.
Namun, ia sepertinya masih harus berkonsentrasi merampungkan album keduanya. ”Kalapuna”, lepasan dari album barunya, bernuansa psikadelik dalam balutan synthesizer. Gaya seperti ini mengingatkan pada karya maestro organ Dr Lonnie Smith, yang juga main di Java Jazz 2017.
Ketemu mentor
Saat karakter bermusik Danilla dipertemukan dengan tokoh perintisnya di Java Jazz 2017, drumer Rafi Muhammad (20) dipertemukan dengan ”mentornya”, Harvey Mason (70). Sepuluh tahun silam, ketika berumur 10 tahun, Rafi pernah mengeluarkan album Can’t Stop The Beat yang direkam di Amerika Serikat.
Produser album itu adalah Harvey Mason, drumer tenar dari grup Fourplay. Pada Java Jazz tahun ini, Fourplay tidak main, tetapi Mason tampil bareng Tony Monaco, Kirk Whalum, dan Perry Hughes. Pemusik kelas berat semua.
”Dia (Mason) yang duluan ngajakgue rekaman di Amerika,” kata Rafi. Mason memang terkesima menonton rekaman video Rafi pada satu acara.
Rafi main drum sejak umur enam tahun. Setahun kemudian, ia main di Java Jazz, dan jadi perbincangan. Beberapa pemberitaan menyebutnya sebagai ”drumer cilik”. Dari 13 kali Java Jazz dihelat, hanya dua kali dia absen.
Kini, ia tak lagi cilik. Musik yang ia sajikan pada Minggu (5/3) petang itu pun jauh lebih kencang dan banyak bagian solo drum yang asyik. Ia juga memainkan lagu ”Transition”, yang bakal menjadi judul album keduanya.
”Lagu itu menceritakan perpindahanku (transisi) dari zona nyaman,” katanya. Walau tak lepas dari pakem jazz, lagunya cukup ngerock. Pada lagu baru lainnya, ”Break the Rules”, ia membuat pola cepat yang konstan, seperti musik punk. Ada juga lagu yang pakai rap sehingga terdengar seperti Rage Against The Machine main jazz.
Sehabis main, ada penonton yang menanyakan album baru padanya. Ia menjanjikan album itu bakal beredar akhir Maret ini. Direncanakan, label Berita Angkasa Records bakal mengurusi penjualan album dan merchandise. Rafi adalah musisi jazz pertama di bawah label yang menaungi band rock ugal-ugalan Kelompok Penerbang Roket itu. Sepertinya ia bersungguh-sungguh keluar dari zona nyamannya.
Ragam musik
Sebelum tampil Minggu itu, Rafi mengiringi penyanyi solo Amelia Ong (26), yang main pada hari Sabtu. Seperti halnya Danilla dan Rafi, Amelia juga berkenalan dengan jazz sejak bocah. Ia dicekoki ayahnya, pemain saksofon, dengan lagu-lagu jazz klasik, big band, ataupun blues. ”Aku juga dengar dangdut, lagu jawa, dan lainnya. Dulu, aku sering jaga toko kaset punya tetangga di pasar kalau pemiliknya shalat Jumat,” kata Amelia yang lahir dan besar di Purwokerto, Jawa Tengah, ini.
Kelak, pengalamannya menjaga toko kaset itu memperkaya musikalitasnya. Amelia sempat belajar jazz pada vokalis Bertha, dan pianis Idang Rasjidi yang kebagian tampil pada panggungnya sendiri. Amelia juga pernah duet dengan Bertha di Java Jazz 2004.
Ayahnya menyarankan Amelia mengambil jurusan Jazz Performance di Western Australian Academy of Performing Arts di Perth pada 2007-2009. Di situ, kemampuannya mengomposisi lagu makin matang. Setahun lulus, ia merasa penat dengan jazz. Pikirannya penuh dengan ragam musik, notasi, partitur, yang semuanya jazz. Ia mencoba ”mengkhianati” darah jazz yang telah mengalir dalam dirinya dengan mendengar musik pop, atau rock kesukaannya.
”Setelah itu banyak banget (ide) yang keluar, tetapi semuanya tetap jazz. Tapi, untungnya karena telah banyak mendengar jenis musik, lagunya lebih berwarna,” kata perempuan bernama lengkap R Rr Amelia Tri Wardani ini.
Hasilnya bisa disimak di album berjudul namanya sendiri yang beredar pada 2015. Coba dengar lagu ”Crowded House”. Ada bagian ketika kibor, yang dimainkan Sri Hanuraga, seperti bercakap-cakap dengan saksofon tiupan Dennis Junio. Sementara pukulan drum Rafi menyalak-nyalak, betotan bas Kevin Yosua menebalkan ketukannya. Lagunya terdengar dinamis tanpa mengerutkan dahi. Seru banget.
Penampil lainnya yang banyak ditonton kaum muda di Java Jazz 2017 adalah duo dari Jepang, Good Luck Heiwa. Musik mereka bernuansa video game. Dari golongan soul/R ’n B, dan hip-hop, genre yang disebut-sebut sebagai turunan jazz, ada Ne-Yo, King, dan trio rap Naughty by Nature dari AS yang bisa menggoyang badan.
Jazz sejak dulu menghasilkan bentuk-bentuk baru. Para musisi muda ini menjamin evolusi itu terus berputar.
(JAL/HEI)