Sulam tidak hanya cocok untuk mempercantik busana, tetapi dapat juga dimanfaatkan untuk memperindah ruangan. Sulam ini diaplikasikan pada taplak meja, hiasan dinding, atau tatakan gelas dan piring. Proses membuatnya yang tidak sekadar mengandalkan keterampilan tetapi jugadaya cipta membuat hasil sulam seakan "karya seni" dari pembuatnya. SRI REJEKI
Risnawati (66) membuat simpul dua kali dengan jarum sebelum kemudian menusukkan ujung jarum itu hingga menembus kain ke bagian bawahnya. Begitu terus berulang- ulang hingga simpul-simpul yang meninggalkan jejak berupa bulatan-bulatan kecil memenuhi seluruh pola yang telah dibuat sebelumnya. Butuh waktu tiga bulan untuk menyelesaikan rangkaian gambar bunga dan dedaunan pada sehelai taplak meja panjang. Sementara untuk satu sisi sarung bantal kursi yang tengah ia kerjakan, butuh dua minggu untuk merampungkan seluruh sulaman yang disebut dengan sulam kapalo sammek atau sulam kapalo peniti (french knots).
Risnawati juga mengerjakan jenis sulaman lainnya, yakni suji caiya atau suji cair (long short). Sulaman ini dikerjakan dengan cara membuat garis-garis dengan benang yang ukuran panjangnya bervariasi sedemikian rupa. Permainan warna dan panjang pendek benang menghasilkan hasil sulam seperti lukisan. Keterampilan mengatur letak warna dapat menghasilkan gradasi warna yang membuat motif lebih hidup.
"Proses membuatnya malah bisa lebih lama lagi dari sulam kapalo sammek dan harga jualnya juga lebih mahal," kata Risnawati yang ditemui di sela-sela peringatan 106 Tahun Yayasan Kerajinan Amai Setia Kotogadang di Gedung Nyi Ageng Serang, Kuningan, Jakarta, hari Selasa (28/2).
Misalnya, upah menyulam satu set seprai lengkap dengan sarung bantal dan guling untuk jenis sulaman kapalo sammek dihargai Rp 2 juta. Sementara untuk sulam suji caiya bisa mencapai Rp 2,5 juta. Harga jual seprainya mencapai Rp 6 juta-Rp 7 juta per set. "Zaman dahulu kalau mau menikahkan anak gadis, orangtua harus menyiapkan seprai yang biasanya dihias sulaman," kata Risnawati.
Sulaman ini biasanya diaplikasikan pada berbagai barang interior rumah, seperti sarung bantal kursi, taplak meja, hiasan dinding, hingga seprai. Motif yang paling populer adalah flora. Namun sebenarnya, pada zaman dahulu juga dibuat motif-motif fauna, antara lain burung dan kupu-kupu seperti terlihat pada sebuah hiasan dinding kuno yang dipamerkan pada acara tersebut.
Selain sulam kapalo sammek dan suji caiya, sebenarnya ada berbagai jenis sulam lainnya, yakni sulam terawang, filet, kelengkang, dan lainnya. Selain itu, ada pula merenda bangku yang proses pembuatannya sangat menarik karena jari-jari tangan terlihat seperti sedang menari atau melakukan sebuah permainan.
Merenda bangku
Proses merenda bangku menggunakan alat bantu berupa bangku duduk atau dingklik dengan bantal lingkaran yang melengkung di atas bangku sebagai alas merenda. Peralatan merenda, antara lain bobbin atau kelos berupa stik kayu tempat gulungan benang. Stik ini juga untuk membantu menyusun jalinan benang-benang membentuk motif.
Hasil renda bangku ini bisa dimanfaatkan untuk perlengkapan interior, seperti taplak meja, tatakan wadah makanan dan minuman, tatakan vas bunga, dan lainnya tergantung kreativitas pemakai. Di dunia mode, renda bangku yang dulunya dikenal sebagai renda bangku belgia ini juga dimanfaatkan sebagai selendang, kerah baju, atau aplikasi lain pada busana. Penggunaannya juga bisa dikombinasikan dengan bahan lain.
Sebuah tatakan dari renda bangku berukuran diameter 20 sentimeter persegi yang bisa digunakan sebagai alas vas atau wadah makanan dijual dengan harga Rp 400.000. Bagi Rukaruk (63), yang sudah sangat terampil membuatnya, hanya butuh waktu empat hari untuk menyelesaikan renda bangku tersebut. Namun, bagi Lina (56), yang baru empat bulan belajar merenda bangku, butuh setidaknya dua pekan untuk merampungkan barang yang sama.
Merenda bangku dilakukan dengan menggunakan pola sebagai patokan. Benang-benang dijalin dengan bantuan kelos mengikuti pola untuk membentuk sebuah motif. Bagian-bagian kecil pola yang sudah tersusun lantas diberi pembatas dengan bantuan jarum pentul agar tidak buyar. Dari sini, dimulai lagi membentuk bagian-bagian lain hingga keseluruhan pola tersusun.
Bagi mereka yang telah terampil merenda bangku, gerak jemarinya akan terlihat lincah saat memainkan kelos sehingga menjadi pemandangan unik tersendiri, seperti yang diperlihatkan Rukaruk. Harga kerajinan hasil merenda bangku ini bervariasi, tergantung ukuran, tingkat kerumitan, dan keindahan motif. Sebuah taplak meja berbentuk lingkaran berukuran diameter 40 sentimeter ditawarkan seharga Rp 1,2 juta. Proses pembuatannya yang membutuhkan ketekunan dan keterampilan tinggi membuat hasil jadinya sepadan dengan harga yang ditawarkan.
"Sudah semakin langka orang yang menguasai renda bangku ini. Kalau dulu, kami anak perempuan didorong untuk belajar menyulam atau merenda bangku sepulang sekolah. Kalau anak sekarang susah. Mereka enggak tertarik lagi karena ada banyak gadget selain sudah sibuk sekolah dan ikut berbagai les," kata Rukaruk yang memberi pelatihan merenda bangku di Jakarta.
Lokasi pelatihan di rumah salah satu pengurus Yayasan Kerajinan Amai Setia, yakni di perumahan Taman Gandaria City, Jakarta Selatan. Berbagai produk kerajinan, seperti sulam dan renda bangku, juga ditawarkan di sini sehingga bagi yang tidak sempat mencarinya langsung di Kotogadang dapat memperolehnya di sini.
Menurut Rukaruk, hasil renda bangku ini sangat disukai oleh orang asing. Bukan saja saat ini, melainkan sejak zaman Hindia Belanda. Saat itu, produk keterampilan para anggota Kerajinan Amai Setia sering diikutkan di berbagai pameran di dalam dan luar negeri. Kerajinan renda bangku yang ada saat ini banyak dibuat dalam warna putih sesuai tren yang sedang berlaku. "Bisa saja dibuat dengan warna lain, tetapi yang sedang digemari yang warna putih," kata Rukaruk.
Di Kotogadang, Bukittingi, yang menjadi daerah asal Yayasan Kerajinan Amai Setia, kemampuan menyulam, menjahit, menenun, dan berbagai kepandaian lainnya merupakan keterampilan yang diwariskan turun-temurun kepada anak perempuan.
Kerajinan Amai Setia yang didirikan tahun 1915 dulunya dimaksudkan sebagai wadah pemberdayaan perempuan. Organisasi perempuan pertama di Sumatera Barat ini selain mengajarkan keterampilan kerajinan dan menjualkan hasilnya juga mengajar membaca, menulis, berhitung, dan etiket kepada perempuan.