Hingga Keringat Bercucur dan Bedak Luntur
Keringat sudah membasahi wajah Hana Liem. Bedak wajahnya mulai luntur. Namun, sensasi berfoto di atas Batu Gerbang di kawasan Taman Batu Pasir Pawon, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, terlalu sulit dilewatkan.
Ia merangkak naik ke puncak Batu Gerbang setinggi 15 meter. Tangannya menggenggam kuat batu kapur, mencegah sepatu yang penuh lumpur terpeleset. Sekitar 15 menit kemudian, ia sampai di puncak.
Segera ia berpose sembari meminta rekannya mengabadikan momen menggunakan telepon selulernya, selain berswafoto. Tak terlihat rasa takut di wajahnya berdiri di ketinggian.
Posenya bermacam-macam, mulai dari merentangkan tangan, duduk di bawah batu kapur basah, hingga meraih dahan pohon kering. Dalam semua posenya, ia tak pernah lepas dari topi lebar dan kacamata hitam besarnya.
Delapan atau sepuluh tahun lalu, orang akan menilai Hana Liem ”gila” karena rela memanjat ketinggian lalu gonta-ganti gaya dengan topi lebar dan kacamata besarnya itu. Kini, orang justru akan mempertanyakan kewarasannya jika sampai tidak berpose di tempat-tempat unik seperti di kawasan Taman Batu Pasir Pawon tadi. Bahkan, tidak sedikit yang rela membawa beragam kamera agar ”kegilaannya” terekam baik dan dapat disebarluaskan di media sosial.
Lihatlah keribetan yang rela dialami Inul Susiyanti dan rekan-rekannya yang tergabung dalam Penggemar dan Penikmat Fotografi saat berkunjung ke hutan Pinus Sari, Mangunan, Bantul, DI Yogyakarta. Satu per satu berusaha naik ke atas bentangan kain hammock warna-warni yang kedua ujungnya diikat di dua batang pohon pinus.
Ibu-ibu usia paruh baya itu membawa beragam kamera, mulai DSLR, mirrorless, sampai drone. Sambil mengarahkan rekan berpose, Inul menyiapkan drone. Mereka juga berswafoto dengan kamera ponsel masing-masing saat direkam kamera dari drone.
”Kalau kamera telepon, kan, bisa langsung diunggah ke medsos,” papar Inul sambil asyik menerbangkan drone, sementara para rekannya melambai-lambaikan tangan sambil pasang wajah semringah.
Salah satu keunggulan perempuan yang banyak mengundang pujian adalah kemampuan multitasking-nya, melakukan banyak hal secara bersamaan. Ketika kemampuan itu digunakan saat berfoto ria, hasilnya seperti Inul dan rekan-rekannya. Keceriaan, kehebohan, dan kekompakan mereka yang tak terbeli.
Inul dan kawan-kawannya dua bulan sekali jalan-jalan ke berbagai penjuru Nusantara untuk berfoto ria. Dalam waktu dekat mereka akan ke Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur.
Demi eksistensi
Sekitar 197 kilometer dari Bantul, persisnya di Waduk Penjalin, Kabupaten Brebes, Malfi (21) dan Elisa (21) bergantian saling potret di tepi waduk. Berlatar belakang air waduk yang tenang dan hiasan kayu bentuk hati, mereka benar-benar menikmati senja sore itu. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, sepasang lumba-lumba dan seekor anaknya melompat. ”Lumba-lumba itu yang menarik saya datang ke sini,” kata Malfi.
Lumba-lumba itu hanyalah patung semen yang sengaja dipasang untuk menarik perhatian pengunjung. Lumba-lumba dan beragam properti dipasang agar foto-foto pengunjung lebih indah dan layak diunggah ke media sosial.
Beberapa menit setelah dari Waduk Penjalin, Malfi mengunggah lima foto terbarunya dengan caption puitis di Instagram. ”Bila habis sudah cinta ini,” begitu keterangan foto dia saat berpose dengan latar belakang batu warna-warni berbentuk hati.
Itu pula yang dilakukan Funi Dyah (16) dan Devi (16). Mereka rela bangun pagi, lalu mengendarai sepeda motor menuju Waduk Penjalin untuk mendapatkan foto bagus. Sayangnya, saat itu mendung sehingga fotonya tak sebagus yang diharapkan. Meski begitu, Funi tetap mengunggah fotonya dengan caption, ”mengapa terlalu manis di awal jika untuk pahit di akhir.”
Dia mengatakan, perpaduan foto unik dan kata-kata puitis dapat menarik follower untuk memberikan tanda suka (like), bahkan menambah follower. ”Kalau follower enggak nambah-nambah, buat apa foto jauh-jauh, he-he-he,” kata Funi yang belum genap 10 bulan memiliki akun Instagram ini.
Orang-orang seperti Funi ini mengukur eksistensi dari jumlah like dan follower. Karena itu, tidak heran mereka kerap menghapus foto-fotonya jika dirasa respons follower kurang bagus atau jumlah like tak seberapa.
Bagi Hana Liem, eksistensi di media sosial penting. Makanya, dia rajin mengunggah fotonya di media sosial. Dengan cara itu, dia merasa bisa menikmati hidup.
Selain menyukai wisata alam, eksis di dunia maya adalah tujuan utama mengunjungi berbagai tempat wisata di Indonesia. Sejak tiga tahun lalu, 1-3 bulan sekali ia pergi ke tempat wisata. Mulai dari Gunung Ijen di Jawa Timur hingga Tanjung Benoa di Bali. Dari panasnya matahari Palangkaraya hingga ademnya musim dingin di Korea Selatan. ”Sejak divonis diduga menderita tumor, saya doyan jalan-jalan. Hidup cuma sekali dan saya pilih menikmatinya,” katanya.
Uniknya, dia tak ruwet saat berwisata. Ia tak segan pergi dari Bandung ke Bali menggunakan bus umum, menginap di homestay murah, hingga makan di warung pinggir jalan.
”Tujuan saya hanya sampai tempat wisata dan ambil foto. Caranya bagaimana saya tidak ambil pusing,” katanya. Siang itu, bersama rekannya ia memilih naik motor. Hujan gerimis mengguyur Bandung tidak jadi soal.
Ramai di Instagram
Cobalah sesekali telusuri foto-foto di Facebook atau Instagram tempat-tempat tadi, meruah dan menggoda mata. Di Instagram, misalnya, terdapat 2.975 foto menggunakan tagar #wadukpenjalin dan 54.885 foto dengan tagar #mangunan. Kawasan wisata alam di Mangunan terdiri atas tujuh titik tujuan wisata yang terletak di area 29,4 hektar. Itu tentu belum termasuk foto- foto yang diambil di lokasi-lokasi tersebut dan diunggah tanpa tagar.
Melihat foto-foto di media sosial, seolah diajak masuk ke negeri antah berantah. Tidak terbayang ada lumba-lumba melompat di tengah waduk atau perahu bambu mengambang di atas awan.
Itulah yang, antara lain, mendorong Ken (40), wisatawan asal Jakarta, sengaja ”mencuri waktu” datang bersama 17 rekan kantornya untuk datang ke Jurang Tembelan, Kanigoro, Bantul. Mereka datang ke sana setelah melihat foto di salah satu akun media sosial rekannya.
Mereka lalu berfoto dan mengunggah ke akun media sosial masing-masing. Baginya, menyenangkan jika ada yang memberikan komentar dan like. ”Kalau enggak ada atau sedikit yang nge-like atau komentar juga enggak apa-apa, sih. Yang penting bisa pamer foto kalau sudah pernah ke tempat bagus seperti ini,” ujar Ken sambil tertawa.
Pakar komunikasi dan budaya pop Idi Subandy Ibrahim berpendapat, fenomena di atas bisa dimaknai sebagai perayaan kedirian. Ia ingin menyatakan sudah mendatangi tempat-tempat indah. ”Ini sekaligus menunjukkan ’kekitaan’ sehingga tidak dianggap sebagai orang lain.”
Dorongan pengakuan ”kekitaan” itu lalu diperantarai pengelola tempat-tempat wisata. Muncullah komodifikasi sekaligus pencitraan atau marketing diri. Itu juga sebagai pelarian ketika hubungan di dunia nyata mendingin. Orang mencari kehangatan baru di dunia maya lewat kolom komentar atau jumlah like. Penjelasan Ken, Funi, dan Devi menguatkan hal itu.
Idi melihat, orang-orang tidak akan berhenti berfoto di tempat yang mengesankan keindahan meski sebenarnya secara makro tempat itu biasa saja. Sebab, alam bawah sadar manusia rindu keindahan ketika bumi semakin tak nyaman di mata. Mereka butuh imaji ramah di mata.
Akhirnya bisa dimaklumi tingkah Hana Liem yang merangkak naik gunung kapur. Demi perayaan kedirian, dia tak peduli keringatnya bercucur dan bedaknya luntur.