Dag-dig-dug Pekerja Ketinggian
Wanabi tinggal di Lampung, Febrian dari Bandung, Rahman dari Sukabumi, sedangkan Irawan datang dari Cirebon. Begitu pekerjaan akses tali memanggil, mereka meninggalkan semua pekerjaan di kampung halaman. Pekerjaan di ketinggian yang membutuhkan keahlian akses tali memang tidak selalu datang setiap hari. Industri biasanya lebih memilih menggunakan jasa pekerja ketinggian dengan pemasangan platform seperti gondola atau pengaman kolektif jaring karena dianggap lebih murah dengan upah pekerja Rp 150.000 per hari. Pekerja akses tali yang membutuhkan keahlian khusus ini dibayar rata-rata Rp 250.000 per hari.
Biasanya tawaran bekerja dengan akses tali hanya datang satu-dua kali per bulan, terutama untuk sudut-sudut yang sulit dijangkau pekerja ketinggian lainnya. Wanabi, misalnya, sehari-hari bekerja menggulung tali rafia di Lampung. Jika tali rafia menjadi tumpuan hidup sehari-hari, tali penahan tubuh menjadi tumpuan keselamatan dirinya ketika bergelantungan sebagai pekerja di ketinggian di Jakarta. Sudah menjajal menjadi pekerja akses tali sejak lima tahun terakhir, Wanabi mengaku jatuh hati pada pekerjaan ini dan sudah menjadi supervisor untuk pekerjaan perawatan hingga perbaikan di gedung tinggi.
Hipnotis ketinggian
Kali ini, selama lima hari, mereka membersihkan dinding dan kaca di Galeri Mon Decor, Jakarta Utara. Gedung-gedung tinggi di Jakarta terbilang akrab bagi Wanabi dan timnya. Mereka pernah memanjat di Plaza Indonesia, gedung Badan Narkotika Nasional, hingga gedung baru seperti International Financial Centre setinggi 50 lantai. ”Saya sudah pekerja level dua (dengan lebih dari 500 jam terbang), tetapi masih tetap deg-degan.
Gedung pencakar langit lebih
banyak di sini. Tingkat kesulitan bervariasi, jadi terus belajar. Yakin kalau tali ini bisa menyelamatkan saya,” kata Wanabi.
Febrian menambahkan, pengalaman pertamanya ketika memanjat gedung tinggi adalah di Plaza Indonesia. Ia merasa sudah memasang semua tali pengaman, tetapi karena grogi dan merasa badannya terlalu besar, ia sempat terjatuh 2 meter sebelum kemudian tali menahan tubuhnya sehingga tak meluncur hingga ke dasar. ”Saya ingatnya semua alat sudah dipasang. Dua meter jatuh, tetapi tali back up-nya kepasang jadi, ya, aman. Namun, tetap deg- degan. Rasa takut harus ada supaya aman,” ujar Febrian yang sehari-hari bekerja sebagai instruktur outbond atauberjualan pakaian.
Demi alasan keamanan pula, para pekerja ketinggian akses tali ini memilih bekerja dalam tim. Biasanya, mereka bekerja dalam jarak berdekatan sehingga saling mengingatkan jika ada alat pelindung tubuh yang belum terpasang. Apalagi, bekerja di ketinggian Jakarta sering kali bisa menghipnotis, terutama ketika kecantikan Jakarta mulai menyeruak dari atas ketinggian. ”Jakarta sebenarnya indah. Apalagi kalau malam. Kadang kalau posisi sudah enak, penginnya, ya, lanjut kerja terus. Jadi malas turun,” ucap Wanabi.
Kecelakaan tinggi
Kehidupan mereka tak seglamor keindahan gedung tinggi yang mereka ikut ciptakan dan pelihara. Angka kecelakaan kerja di ketinggian terbilang tinggi. Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, kasus kecelakaan jatuh dari ketinggian mencapai 30 persen dari jumlah kecelakaan kerja fatal pada 2015 dan 2016. Kasus kecelakaan kerja pada 2016, misalnya, mencapai 101.367 kasus (2.382 meninggal). Selain tingginya angka kecelakaan kerja, kehadiran para pekerja bangunan tinggi juga sering kali termarjinalkan.
Maraknya pembangunan infrastruktur di Ibu Kota, menurut Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Herman Prakoso Hidayat, mengundang hadirnya banyak pekerja ketinggian yang sama sekali tanpa pengalaman. Apalagi, dari 118,41 juta penduduk yang bekerja, lebih dari 60 persen hanya mengenyam pendidikan SD dan SMP. Kecelakaan kerja pada ketinggian biasanya didominasi pekerja kasar dan sangat jarang menimpa pekerja dengan keahlian akses tali.
Kepala Seksi Pengawasan Norma Ergonomi dan Lingkungan Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3, Muhammad Fertiaz menyebut sektor konstruksi, telekomunikasi, dan manufaktur sebagai sektor industri yang menjadi penyumbang kasus kecelakaan terbesar. Karena tingginya angka kecelakaan di ketinggian, baik Herman maupun Fertiaz mengaku sering kali merasa ngeri setiap kali lewat proyek bangunan dan membayangkan bahwa hari itu ada pekerja yang meregang nyawa di ketinggian.
Sekretaris Umum Asosiasi
Rope Access Indonesia (ARAI) Achmad Husein mengatakan, kecelakaan kerja di ketinggian menempati urutan nomor dua paling besar setelah kecelakaan lalu lintas. Angka ini tidak banyak bergerak sejak ARAI berdiri pada 2007.
Saat ini, ARAI turut menyusun modul untuk sertifikasi pekerja ketinggian yang akan segera disosialisasikan kepada setiap perusahaan penyelenggara sertifikasi bekerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan.
”Diharapkan bisa ada progres signifikan untuk mengurangi kecelakaan, terutama di sektor pekerja kasar,” kata Husein.
Perketat aturan
Untuk jaminan keamanan bekerja di ketinggian dengan akses tali, Wanabi dan rekan-rekannya sudah tersertifikasi dan memegang lisensi kerja. Tahapan paling awal bagi pekerja akses tali ini biasanya adalah pekerjaan pembersihan gedung-gedung tinggi. Selanjutnya, mereka mendongkrak kemampuan pribadi dengan mengambil sertifikat lain, seperti sertifikat pengelasan dan sertifikat pengecatan.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk menurunkan angka kecelakaan kerja di ketinggian adalah kewajiban memiliki sertifikat ataupun lisensi bagi pekerja ketika bekerja di ketinggian. Pemerintah juga telah menunjuk beberapa perusahaan jasa pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja (PJPK3) untuk menggelar sertifikasi. Salah satu perusahaan itu adalah PT Waterland Nusantara yang berlokasi di Bogor.
Pada Kamis (23/2), beberapa pekerja ketinggian, seperti Anang Aprianto (24), Ari Purnomo (27), dan Muslim (38), berusaha mengambil sertifikasi dan lisensi bekerja di ketinggian di Waterland. Anang dan Ari yang bekerja sebagai surveyor di laboratorium lingkungan PT Mitralab Buana sudah bertahun-tahun terbiasa memanjat cerobong pabrik, rumah sakit, hingga pembangkit listrik tenaga uap yang tingginya bisa 125 meter untuk pengecekan emisi gas. Tak hanya di Jakarta, mereka juga bekerja hingga pulau-pulau terpencil.
Direktur dan pemilik Waterland, Musphyanto Chalidaputra, menyebut kesadaran perusahaan untuk melengkapi pekerjanya dengan sertifikat yang berlaku seumur hidup serta lisensi yang harus diperbarui setiap lima tahun sekali mulai tumbuh terutama sejak lahirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 9 Tahun 2016 tentang K3 dalam pekerjaan pada ketinggian.
Sayangnya, tak semua perusahaan sudah punya kepedulian besar terhadap standar pengamanan pekerja di ketinggian. Apalagi, pengamanan pekerja ini membutuhkan biaya belanja alat yang sangat tinggi.
Setidaknya butuh lebih dari Rp 10 juta per orang untuk belanja alat pekerja dengan akses tali, belum lagi biaya sertifikasi yang mencapai Rp 4 juta per orang. Nyawa cenderung masih dianggap murah. Tak heran banyak dari pekerja ketinggian masih dag-dig-dug saat bekerja di keindahan atap Ibu Kota.