Rangda di Rumah Luh Ketut Suryani
Waktu sudah larut malam ketika Profesor Luh Ketut Suryani, MD, PhD, (73) membuka pintu rumah. Psikiater senior yang pernah menjadi Ketua Departemen Psikiatri Universitas Udayana ini selalu terbuka menerima siapa pun. Malam tak menyurutkan energinya, yang seolah tidak ada habis-habisnya.
Dalam perjumpaan itu, Suryani menunjukkan layar telepon selulernya yang terbuka menerima curahan hati (curhat) dari pasien dengan gangguan jiwa hingga dini hari. Sambil menjaga suaminya, Prof Dr dr Tjokorda Alit Kamar Adnyana, SpFK, yang sedang sakit, biasanya Suryani baru bisa terlelap setelah dini hari.
Bersama bunga anggrek kesukaan.Kali ini ia mengungkapkan keprihatinannya tentang masih tingginya angka bunuh diri di Bali. Selama dua bulan pertama memasuki 2017 saja, sudah ada 23 kasus bunuh diri di Bali. Keterpanggilan membuatnya terus turun ke masyarakat. Penyebab utama kasus bunuh diri, terutama karena gangguan jiwa berat, lalu hubungan sosial tidak bagus, gangguan fisik, dan yang terakhir baru mengeluh enggak punya uang.
"Ketika berkunjung ke rumah sakit jiwa di Sacramento (Amerika Serikat), saya enggak bisa membedakan antara dokter, perawat, dan pasien. Saya punya pemikiran, mendidik mahasiswa hanya boleh pegang pasien Senin sampai Kamis supaya berjarak. Tetapi, kalau memang diperlukan darurat, ya, jam berapa pun saya bisa ditelepon," kata Suryani.
Tak hanya teleponnya yang siap sedia menerima pasien, rumahnya di Jalan Gandapura, Denpasar, juga selalu terbuka bagi pasien. Selain rumah tersebut, Suryani juga memiliki tempat praktik sekaligus kantor Suryani Institute for Mental Health yang berada tidak jauh dari rumahnya. Ia selalu menyediakan waktu untuk mewawancarai pasiennya minimal dua jam tiap perjumpaan.
Rumah tempat tinggalnya mudah dikenali dari hiasan rangda yang bergelantungan di atas gerbang. Dibandingkan dengan menyebutnya sebagai rangda atau ratu dari para leak dalam wujud menyeramkan, Suryani lebih suka menyebut rangda sebagai perwujudan dari Ratu Ayu Sakti.
"Orang mengatakan, jalan di depan rumah itu jalan hantu. Mereka bilang seperti ada topeng hidup. Kok berani sama rangda? Itu enggak rangda, itu Ratu Ayu. Rangda dipakai untuk black magic, kalau Ratu Ayu yang menjaga masyarakat," ujarnya.
Ia juga membawa rangda dari rumah orangtuanya di Jalan Belimbing, Denpasar, untuk kemudian ditempatkan di ruang praktiknya. "Enggak ada pasien yang merasa takut," kata Suryani yang mendapatkan lebih dari 10 penghargaan, termasuk untuk membebaskan dan mengobati pasien gangguan jiwa yang dipasung.
Rumah meditasi
Sehari setelah pertemuan di Jalan Gandapura, Suryani mengajak ke rumah masa kecilnya di Jalan Belimbing, Denpasar. Setiap Minggu pagi, ia mengajak masyarakat umum mencecap meditasi selama dua jam. Di ruangan yang dulu merupakan tempat Suryani pertama kali belajar meditasi pada usia 14 tahun, ia membagikan tentang pentingnya meditasi.
Duduk di tepi ruangan yang muat 50 orang itu, Suryani memandu peserta meditasi yang sebagian di antaranya adalah pasien gangguan jiwa yang sudah mulai pulih. Bagi pasien, mereka harus sudah tidak mengalami halusinasi baru bisa meditasi. Lewat meditasi, peserta belajar berkonsentrasi hanya pada satu fokus sehingga dapat memecahkan segala masalah hidup dan meraih kebahagiaan.
Di kamarnya, Suryani berkenalan dengan meditasi dari usia sangat belia. Ia mengurung diri dari malam hingga siang hari selama sebulan sekali, lalu sepekan sekali. Suryani lalu mengawali kelas meditasinya pada 1996 di rumah tinggalnya. Seiring makin banyaknya peserta meditasi, mereka sempat memanfaatkan ruangan di kantor DPRD sebelum kemudian pindah ke rumah di Jalan Belimbing.
"Saya dibesarkan di sini. Mendapat ilmu meditasi juga di sini. Saya belajar di kamar sana tadi. Melakukan pemahaman diri, saya melakukan percobaan untuk memahami manusia mulai kelas 2 SMP," kata Suryani.
Lahir di Buleleng, Suryani sempat ikut bapaknya yang seorang pejuang kemerdekaan berpindah-pindah ke Singaraja, lalu ke Klungkung. Sempat dibuang ke Pemuteran dengan tujuan agar mati dimakan penyakit malaria, sang bapak ternyata bertahan hidup dan berjuang hingga dipenjara di Klungkung sebelum kemudian dibuang ke Denpasar pada masa perjuangan kemerdekaan.
Sejak umur 6 tahun, ia mulai menempati rumah di Jalan Belimbing. Kini, hanya bangunan di bagian paling muka rumah yang digunakan sebagai kelas meditasi. Menapaki jalan setapak di rumah masa kecilnya itu, ia berjalan menuju bale dangin di sisi timur yang merupakan tempatnya dulu melakukan beragam upacara keagamaan, termasuk potong gigi. Serupa rumah khas tradisional Bali lainnya, rumah itu pun juga dilengkapi dengan bale daja untuk tidur.
Bunga anggrek
Sembari duduk berbincang di anak tangga, Suryani menunjukkan bunga anggrek yang ditanamnya mulai bermekaran di setiap sudut halaman. Ia sengaja menanam kembali pohon anggrek yang merupakan bunga kesukaan ibunya. Di rumah yang kini ditinggalinya pun, Suryani menanam anggrek di halaman muka rumah.
Anggrek itu digantungkan di cabang pohon kamboja. Ketika salah satu anggreknya sempat tak berbunga selama dua tahun, Suryani mengajaknya berbincang. "Saya ngomong, kalau mau berbunga, saya akan carikan teman. Suami saya ketawa. Tak lama kemudian, keluar tangkai dan berbunga. Saya penuhi. Saya carikan teman," katanya.
Ketika buka praktik psikiater era 1973-1990-an, ia memperoleh pendapatan dari berjualan bunga anggrek. Kala itu, 80 persen dari pasiennya masih belum ada yang membayar. Seiring waktu, Suryani bisa dibilang menjadi psikiater dengan bayaran termahal, tetapi ia tetap membantu pasien yang tak mampu dengan subsidi silang. Suryani sempat menuai kontroversi ketika menegaskan bahwa pasien jangan tergantung dari obat seumur hidup.
"Jangan tabu dengan orang gangguan jiwa. Gangguan jiwa bisa menimpa siapa saja. Coba enggak tidur tiga hari, akan muncul mimpi buruk, lalu bayangan aneh-aneh," kata Suryani yang menulis lebih dari 20 buku dan puluhan tulisan dalam antologi dan jurnal internasional tentang keterkaitan spiritualitas, kebudayaan, agama, kesehatan mental, pola asuh, dan perubahan sosial.
Suryani mulai mempelajari ilmu kejiwaan karena ingin lebih tahu tentang dirinya sendiri. Kala memulai belajar psikiatri, banyak orang yang menganggapnya aneh. Di banyak rumah sakit di seluruh dunia, bagian psikiatri masih ditaruh di dekat kamar mayat. Seiring waktu, ia membuktikan bahwa profesi psikiater mulai dihargai dan tidak dianggap aneh.
"Sehingga muncul teori baru dalam menangani gangguan jiwa: mind, body, spirit-sosio cultural process. Bahwa saya menjadi orang bukan karena saya diajari, melainkan kemampuan menggunakan spirit itu yang sudah dimiliki sejak dalam kandungan. Budaya Bali sudah menghargai bahwa setiap orang punya spirit, roh, atau atma. Waktu memperkenalkan spirit inilah. Saya dianggap bukan psikiater bukan ilmuwan, melainkan hanya dukun," ujarnya.
Dalam penelitian doktoralnya, Suryani menemukan bahwa orang sembuh bukan hanya cukup karena obat, tetapi harus dipahami sosio budaya agama dan paling penting adalah roh yang sangat besar peranannya. Ia percaya pada teori memori bahwa ketahanan terhadap gangguan jiwa bisa dibentuk dari sejak di dalam kandungan ibu serta cara pengasuhan selama 10 tahun pertama. Jika janin berada dalam rahim ibu yang sehat dan bahagia, ditambah pola asuh 10 tahun pertama yang baik, gangguan jiwa bisa dicegah.