Ketika Rock Tak Sekadar Naik Panggung
Salah satu tampilan kolaborasi unik ditunjukkan vokalis band Killa the Phia asal Aceh, Rizki Rahmadhani. Dia ber-jam session dengan Helmi, pemain bas dari band The GRGTZ asal Bekasi yang punya postur subur, tetapi lincah dan atraktif di atas panggung. Kelompok yang menamakan diri Bengkoang itu juga diperkuat dengan permainan gitar Mueq Manik dari band Equaliz asal Medan dan tetabuhan drum bertenaga dari Dary, asal band Kasino Brothers, Yogyakarta.
Warna vokal Rizki yang meraung parau tetapi berenergi ala vokalis band-band beraliran death atau trash metal macam Sepultura atau Obituary berpadu padan dengan aransemen baru bertempo lebih rapat dan garang, yang seolah menjadi semacam ”interpretasi ulang” terhadap lagu balada sarat kritik sosial, ”Bento”. Selama ini, lagu itu sudah identik dengan warna vokal ringan dan santai penyanyi balada legendaris Tanah Air, Iwan Fals.
Seleksi ketat
Kerja para juri ajang kompetisi ini terbilang berat. Mereka harus menyeleksi ketat 1.225 band peserta yang mendaftar sejak akhir Desember lalu secara daring. Ribuan band rock tersebar di hampir kebanyakan wilayah kota dan kabupaten, mulai dari Aceh hingga Papua. Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang lolos sampai ke tahap 40 besar dan sekarang delapan besar.
Antusiasme dan luasnya sebaran asal peserta di ajang kompetisi band rock skala nasional kali ini ditanggapi positif oleh pihak penyelenggara, terutama juri. Walau begitu, mereka juga melihat pergeseran peta kekuatan band rock Tanah Air. Daerah yang dulu menjadi ”lumbung” band dan musisi rock, macam Malang dan Surabaya, di Jawa Timur, misalnya, kini malah tak sukses meloloskan satu pun peserta hingga tahap delapan besar.
Kondisi seperti itu dikeluhkan salah satu dari keempat juri, sang gitaris kampiun kelompok rock legendaris God Bless, Ian Antono, yang juga asal Malang, Jawa Timur. Ian menyayangkan, salah satu band jagoannya di tahap seleksi awal, band rock asal Surabaya, justru tidak lolos ke tahap delapan besar.
Fenomena seperti itu juga ditangkap Stephan Santoso, juri lain yang juga musisi dan sound engineer band rock Musikimia yang sebelumnya bernama Padi. Stephan menilai, sepanjang era tahun 2000-an memang tak sedikit musisi dan band rock yang memilih beralih genre dan menjadi lebih pragmatis demi menuruti selera pasar. Pada era itu, genre musik lain, terutama pop dan tekno, lebih mendapat
perhatian dari penikmat musik.
Lantas apakah antusiasme yang membeludak sekarang bisa dibilang menjadi semacam era kebangkitan kembali band dan musik rock?
”Ya, sebaiknya kita tunggu saja perkembangannya. Semua itu toh juga masih akan dipengaruhi oleh selera penikmat musik serta penerimaan dari masyarakat. Dalam kompetisi, kami para juri juga mencoba selektif agar grup band-grup band yang nanti muncul benar-benar grup berkualitas, yang semoga saja bisa memperkuat generasi band rock selanjutnya,” tutur Stephan.
Saat memberikan paparannya di sesi berbagi pengalaman, Direktur Utama Megapro Communications Albert Widjaja juga menceritakan beragam kendala dalam bisnis musik, tak terkecuali untuk genre rock. Salah satu persoalan utama adalah minimnya fasilitas gedung konser yang mumpuni serta mendukung secara teknis akustik untuk dijadikan tempat menggelar konser-konser rock berkualitas seperti di sejumlah negara maju.
Sependapat dengan Albert, Ian Antono juga menyayangkan semakin sedikitnya area terbuka di kota-kota besar dan di daerahdaerah yang sebetulnya masih bisa dimanfaatkan untuk dijadikan lokasi menggelar konser musik. Sayangnya, ujar Ian, banyak lapangan kemudian disulap menjadi area gedung mal dan pusat perbelanjaan. Akibatnya, konserkonser musik terpaksa digelar di lapangan seadanya, yang sama sekali tak layak untuk konser, seperti lapangan milik instansi militer, kepolisian, atau sekolah-sekolah.
Dalam sesi berbagi pengalaman juga hadir beberapa pembicara tamu, seperti vokalis God Bless Achmad Albar, yang bercerita dan berbagi kisah pengalamannya selama empat dekade lebih bermusik. Hadir pula Ketua Sentra Lisensi Musik Indonesia Jusak Irwan Sutiono yang berbagi pengetahuan seputar isu royalti, hak cipta, dan potensi pendapatan (monetizing) yang bisa diperoleh para musisi, yaitu dari iklan, soundtrack film, atau ringback tone, dan banyak lagi.
Setelah mengikuti band camp kali ini, para peserta The Mighty Eight akan kembali tampil live di atas panggung untuk tahap seleksi akhir. Menurut rencana, panggung digelar pada awal Mei mendatang di Jakarta. Pemenang utama berhak atas hadiah uang Rp 20 juta dan kesempatan rekaman di Studios 301, Sydney, Australia. Studio itu telah dipakai sejumlah band besar dunia, seperti Metallica, Coldplay, Silverchair, dan Muse.
Lagu-lagu ciptaan kedelapan band itu juga akan direkam dan disatukan ke dalam album kompilasi SuperMusic.id Rockin Battle. Pihak Megapro Communications sebagai sponsor juga akan mengelola dan mengorbitkan kedelapan band ini.
Perjuangan dan komitmen
Harapan besar untuk bisa memenangi ajang kompetisi band rock ini juga disampaikan sejumlah peserta sepanjang band camp yang digelar 17-19 April lalu di kawasan asri perbukitan Rancamaya, Bogor, Jawa Barat. Tak hanya itu, sejumlah kisah mengharukan juga mereka ceritakan dan mewarnai perjuangan hingga tahap delapan besar kali ini.
Sebut saja band cadas asal Aceh, Killa The Phia, yang bercerita bahkan sampai dibantu penggemar berjualan merchandise demi membiayai proses rekaman lagu-lagu mereka untuk kemudian hasilnya dikirimkan sebagai prasyarat mengikuti ajang kompetisi laga band rock kali ini.
”Para penggemar setia kami juga yang ikut urunan membantu mengongkosi kami sampai bisa berangkat ke Bandung dan sekarang ke Jakarta. Keberadaan Syara (sobat dalam bahasa Aceh) Killa sangat membantu kami sehingga ada harapan besar,” ujar Rizki, sang vokalis.
Sejumlah personel Equaliz asal Medan, Sumatera Utara, bahkan sempat berutang biaya pendaftaran ajang kompetisi musik rock lokal di daerahnya. Kebetulan panitia yang juga teman mereka bersedia diutangi. Menurut Benny Tambak, sang vokalis, setelah dipotong ongkos dan utang tersebut, akhirnya mereka bisa merekam setidaknya dua lagu andalan sebagai prasyarat pendaftaran kompetisi. Lagu mereka, ”Suara Jiwa”, sukses menarik perhatian para juri.
”Saat proses seleksi tahap 40 besar di Surabaya, kami juga dibantu komunitas bermusik kami di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Ada yang meminjamkan kendaraan angkot untuk mengantar kami ke bandara demi menghemat ongkos. Kami juga mencari uang tambahan untuk beli tiket ke sana dengan mengamen bersamasama,” tutur Mueq Manik, sang gitaris, sambil tertawa.
Masih banyak kisah lain, termasuk berjibaku untuk bermusik di tengah kesibukan kuliah dan bekerja. Semua itu perjuangan demi berjaya di arena musik cadas. (WISNU DEWABRATA)