Memahami Estetika Foto Jurnalistik
Berpikir beda
Pedoman yang diberikan almarhum KR sebenarnya masalah estetika. Seorang jurnalis foto harus selalu berpikir untuk menghasilkan foto menarik, berbeda dengan karya fotografer lain yang memotret acara yang sama. Bayangkan kalau semua koran memasang foto yang mirip. Sangat membosankan.
Foto Candi Borobudur yang dipotret dari Punthuk Setumbu bisa dikatakan dipopulerkan harian Kompas setelah dimuat sebagai headline pada 2 Januari 2004. Sebelumnya, Candi Borobudur umumnya hanya dipotret dari tempat terdekat. Setelah pemuatan itu, sangat banyak telepon datang ke redaksi menanyakan tempat pemotretan yang kini makin populer setelah muncul di film Ada Apa dengan Cinta 2.
Demikian pula suasana bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 2003 pasca penyerangan Amerika Serikat ke Timur Tengah pada Perang Teluk 2. Pemotretan dengan sudut rendah dengan latar belakang matahari, menghasilkan foto yang tidak sekadar tampak itu suasana bongkar muat.
Akan halnya foto pertandingan voli yang dipotret dari atas di Istora, Senayan, Jakarta, sesungguhnya tidak selalu bisa dilakukan karena tergantung adanya tangga yang tersedia. Tangga hanya tersedia biasanya setelah terjadi proses perawatan, dan hanya fotografer yang jeli yang memanfaatkannya. Almarhum Julian Sihombing telah memakai tangga itu sejak awal 1990-an, terutama untuk memotret pertandingan bulu tangkis.
Tak bisa dilupakan suasana demo mahasiswa pada peristiwa Mei 1998 karya Eddy Hasby yang memakai teknik backlight. Demo yang biasanya tampil ”menyeramkan”, justru tampil indah. Foto ini juga menjadi sampul sebuah buku tentang peristiwa 1998 itu.