Naik Kelas di Komando Run
”If you want to run, run a mile. If you want to experience a different life, run a marathon. If you want to talk to God, run an ultra”.
(Jika kamu ingin berlari, berlarilah satu mil. Jika kamu ingin mendapatkan pengalaman berbeda dalam hidup, berlarilah maraton. Jika kamu ingin berbicara dengan Tuhan, larilah ultra).
Ucapan Dean Karnazes, seorang pelari ultra asal Amerika Serikat yang juga penulis buku laris Ultramarathon Man: Confessions of an All-Night Runner, itu melekat di ingatan mereka yang memiliki hobi lari. Padahal, sebelum menjadi pelari ultra, dan baru menjalani virgin marathon atau maraton untuk pertama kalinya, mereka dengan bangga akan memasang status ”I’m a marathoner, not a jogger” (Saya seorang pelari maraton, bukan pelari joging).
Demikianlah juga di Indonesia ketika olahraga lari menjadi tren gaya hidup sehat sejak beberapa tahun belakangan. Para pelari bermunculan. Komunitas lari pun bertumbuhan ibarat jamur di musim hujan. ”Komunitas lari sekarang mirip parpol,” ujar seorang rekan.
Ada komunitas lari yang eksklusif, terbatas dengan pola latihan yang disiplin dan rutin. Ada juga komunitas lari yang terbuka, siapa saja bisa bergabung di komunitasnya. Tidak heran jika banyak pelari bergabung dengan lebih dari satu komunitas.
Meskipun bukan keharusan, bergabung dengan komunitas lari memberikan efek dan virus yang baik. Istilahnya, untuk tetap menjaga semangat berlatih lari memang salah satu syaratnya mereka memerlukan running buddies—kawan lari—yang menyenangkan.
Di grup-grup Whatsapp komunitas, selain diisi canda, biasanya mereka juga saling menyemangati. Mereka yang baru memulai lari terus disemangati untuk lari 5 kilometer, 10 km, half marathon (21 km), sampai maraton, di mana seorang pelari harus berlari menempuh jarak 41,195 km. Tidak heran ketika Maybank Bali Marathon (MBM) yang akan digelar pada 27 Agustus 2017 membuka pendaftaran peserta, hanya sekejap hampir 7.000 slot peserta habis. MBM jadi tujuan para pelari untuk melepas ”keperawanan” maraton para pelari menjadi seorang pelari maraton pertama kalinya.
Banyak di antara pelari yang tidak hanya berhenti jadi seorang pelari maraton. Merasa kemampuan berlari meningkat, jurus-jurus sudah banyak dikuasai, mereka pun meningkatkan diri untuk menjadi pelari ultra dengan berlari lebih dari 42 km. Event-event lari dengan jarak lebih dari jarak maraton pun semakin banyak diikuti peserta.
Naik kelas
Salah satu event yang ditunggu adalah Komando Run yang telah berlangsung untuk kedua kalinya. Lomba yang diadakan untuk merayakan ulang tahun Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu terbilang unik. Selain menyediakan kategori 10 km dan 21 km, Komando Run juga menyediakan kategori ultra. Jarak untuk kategori setiap tahun bertambah sesuai jumlah ulang tahun Kopassus. Merayakan 65 tahun usia pasukan elite kebanggaan Indonesia itu, tahun ini kategori ultra menyajikan menu sejauh 65 km. Event lari itu dibuat sedemikian rupa dengan atmosfer militer sehingga para pelari mendapat pengalaman berbeda dibandingkan dengan event-event lari lainnya.
Banyak pelari maraton yang menjadikan event ini untuk naik kelas menjajal ultra maraton. Sejumlah peserta ditanya alasan ikut Komando Run, dan mereka menjawab ”Mau ikut jadi orang gila.” Di saat orang terlelap tidur, mereka mengaspal menempuh jarak 65 km dari Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, menuju Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur, dan kembali lagi untuk finis di Lapangan Banteng keesokan harinya. Bendera start dikibarkan oleh Danjen Kopassus Mayjen TNI Madsuni pada hari Sabtu (22/4) pukul 22.00.
Sejumlah komunitas menerjunkan pelari-pelarinya yang sudah siap untuk naik kelas. Komunitas BSD Running Buddies (BRB), Mega Runners, Campur Sari Runner, Run for Indonesia (RFI), Bandung Explorer (Bandrex), Fake Runners, Cibubur Runners (Burners), Hamster Bogor, Blitar, Serang Runners dan lain sebagainya mengirim pelari-pelarinya. Selain pelari perorangan dari kalangan sipil, dari sebanyak 240-an peserta, sejumlah kesatuan tentara pun mengirim pelari untuk berlomba di Komando Run.
Di kelas perempuan kategori ini pertarungan lebih seru karena pelari-pelari ultra kondang negeri ini turun gunung, seperti Eni Rosita, Lili Suryani, Mila Marlina, dan Ina Budiyani—yang dua pekan sebelumnya baru saja ikut Lintas Sumbawa 320K—serta Ruth Theresia dan Novita Wulandari dari Bandrex. Demikian juga dengan Matheos Berhitu, juara Lintas Sumbawa 320K dua tahun berturut-turut, ikut serta, tetapi sayang dia start terlambat satu jam dari pukul 22.00 sehingga tertinggal.
Sebelum mengikuti Komando Run, para peserta umumnya menggembleng diri dengan baik. ”Saya latihan rutin, tiap akhir pekan selalu long run minimal 20 kilometer,” kata Metta Lily, peserta dari Bandung. Dia juga menjadikan Osim Sundown Marathon di Singapura beberapa waktu lalu sebagai ajang latihan. ”Kondisinya sama lari malam hingga pagi, bahkan di sana lebih panas,” katanya.
Selain latihan perseorangan, mereka yang bergabung di komunitas juga berlatih bersama dengan rutin. Meski demikian, ketegangan sebagai ”pemula” atau newbie pelari ultra tecermin dari pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke panitia Komando Run. Pertanyaan terkadang menyangkut hal-hal yang ”kurang perlu”, seperti apakah peserta diberi makan, adakah tempat tidur buat istirahat di tengah jalan, termasuk mempersoalkan mandatory gears (peralatan wajib) yang harus dibawa pelari. ”Memangnya perlu lampu senter (head lamp), kan, Jakarta terang? Ngapain, bawa bladder air, kan banyak warung?” Di dunia lari, para pelari ultra biasanya sudah dikategorikan pelari next level yang sudah bisa mengurus sendiri segala sesuatunya.
”Kita memastikan para pelari malam itu berlari dengan aman dan nyaman,” kata pengarah lomba (race director) Komando Run, Safrita Aryana. Bahkan, para pelari ini dikawal marshal- marshal bersepeda dari Kopassus yang menemani para pelari.
Apresiasi umumnya diberikan mereka yang mengikuti event Komando Run kali ini. ”Komando Run 2 keren abis. Marshal, medik, panitia salam hormat utk semua YANG sudah bekerja keras atas acara ini. Kopassus idola!” kata Novita Wulandari, dari Bandrex, di laman Facebooknya.
Meski demikian, sejumlah peserta kategori 10 km dan 21 km mengeluhkan jalur lari yang tidak sesteril Komando Run sebelumnya. Peserta Komando Run kali ini, untuk seluruh kategori, mencapai 5.000 orang. ”Banyak pelari 10K yang nyasar karena ikut jalur half marathon. Marshal dan tanda mesti diperbanyak lagi,” kata Jaya, pelari dari Bogor, Jawa Barat. Lintasan lari yang memasuki kawasan hari bebas kendaraan (car free day) Jakarta di Jalan Thamrin dipastikan kurang nyaman karena banyaknya warga di jalanan. Marshal dari Kopassus bisa lebih diberdayakan untuk membuat jalur lari yang clear agar pelari lebih nyaman dan aman berlari.
Tidak ada gading yang tak retak. Komando! (USH)