Pusaran Kehidupan Rama "Nidji"
Gitaris Nidji, Ramadhista Akbar (32), senang berlama-lama di dalam ruangan khusus di rumahnya yang dipenuhi gitar-gitar koleksinya. Di ruangan itu, sekadar memandang atau mengelus gitar-gitar kesayangannya pun sudah bisa membuat hati Rama, panggilannya, merasa nyaman, tenteram, dan bahagia.
Rama menyebut ruangan khusus itu Studio Gemini, sesuai bintangnya yang Gemini. Ruangan berukuran 3,5 meter x 11 meter itu berbentuk memanjang, tersembunyi di salah satu bagian rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Selain gitar yang jumlahnya cukup banyak, di ruangan itu juga terdapat rak berisi buku-buku musik, dan berbagai pernak- pernik aksesori, seperti efek-efek gitar. Ada juga seperangkat komputer tempat Rama biasa mengedit video untuk video blog-nya, Dapoer Gear, serta piala-piala penghargaan selama 15 tahun kariernya bersama Nidji.
"Kalau gitar sih udah berkurang. Sekarang tinggal 20 unit dari yang tadinya 30 unit. Terus berkurang karena mau enggak mau harus ada yang di-korbanin," kata Rama, Kamis (20/4/2017) siang, sepulang siaran dari I-Radio.
Gitar-gitar kesayangan Rama itu umumnya gitar secondhand. Baru enam bulan terakhir ini saja, Rama membeli beberapa gitar baru.
"Gitar second, selain harganya di bawah pasaran, kayunya biasanya juga udah mantep. Jadi suaranya sudah lebih enak. Mainin gitar second main ya main aja, beda sama gitar baru, harus ati-ati," kata Rama.
Salah satu gitar yang menjadi kesayangan Rama adalah gitar Epiphone buatan Korea yang dipakai Rama sebelum bergabung dengan Nidji hingga melahirkan album pertama Nidji, Breakthru\'. "Ini gitar yang penuh sejarah. Dulu beli second sama orang tahun 2000 di Kaskus," ujarnya.
Satu lagi adalah gitar mandolin yang digunakan Rama di lagu "Laskar Pelangi", soundtrack film Laskar Pelangi. "Ini mandolin keluaran Ibanez tahun 1979. Dapet dari Kaskus juga. Belinya enggak sengaja gara-gara Laskar Pelangi. Waktu itu Ariel (gitaris Nidji lainnya) udah bikin, terus dia bilang seru kalo ada suara mandolin. Ya udah nyari-nyari mandolin. Belajarnya malem sebelum rekaman," kata Rama.
Kapan pun ada waktu, Rama nyaris selalu ada di ruangan itu. "Entah mau ngapain. Mau bikin lagu, mau enggak, cuma ngulik, main gitar, ngapain efek, nyari-nyari referensi, pasti larinya ke studio," kata Rama.
Dia biasa mengulik gitar-gitarnya itu hingga dini hari. Apabila jadwalnya tengah padat, Rama bahkan tetap punya ritual khusus. "Kalau jadwal lagi padet, kadang juga masuk doang, nyalain AC, nyalain gitar sebentar doang, udah kayak ah... stress release banget. Aku enggak ada yang lain sih, cuma musik, musik dan musik. Syarat rumah buat aku, paling enggak ada tempat buat aku berkreasi," kata Rama.
Satu-satunya hal yang bisa "menghentikan" Rama menenggelamkan diri di studio adalah kesadaran bahwa dia sudah berkeluarga, terutama apabila dia libur di akhir pekan. "Pas mood-nya pengin ngulik di rumah tapi kita punya keluarga yang pengin jalan, pengin libur juga. Nah ini, ngelawan rasa itu yang susah," ujarnya sembari tertawa.
Dari Studio Gemini, lahir karya-karya pribadi Rama berupa jingle dan vblog Dapoer Gear, termasuk karya-karya Rama untuk Nidji berupa soundtrack dan album terbaru Nidji Love, Fake, Friendship. "Kan kalo di sini enggak kejar waktu, sama tenang. Jujur aja di Jakarta kita yang harus adaptasi karena macet enggak kenal waktu. Kalau keluar ke studio, mood bisa ilang di jalan. Jadinya kerja doang, enggak pake hati. Bukannya di studio enggak enak, cuma di sini enggak in the rush aja," kata Rama.
Minimalis
Rama tinggal di rumah yang ditempati bersama istrinya, Revi, dan anak semata wayangnya, Rana (8), sejak sekitar lima tahun lalu. "Dulu pas awal-awal nikah, tahun 2009, pernah kontrak 1 blok dari sini. Rumah kecil aja buat tinggal berdua. Sempat mikir, bisa enggak punya rumah di sini, kan waktu itu budgetnya hanya untuk ngontrak. Tapi ya mimpi aja. Terus ya udah, kerja kerja aja," katanya.
Setelah punya cukup uang, Rama dan istrinya membeli rumah di Bintaro yang sesuai budget mereka. Tapi mimpi untuk kembali lagi ke Pondok Indah tetap ada. Menurut Rama, yang sejak kecil tinggal di kawasan Jakarta Pusat, kawasan Jakarta Selatan memberi suasana baru juga akses yang lebih mudah. Dia pun terus menabung untuk mewujudkan mimpi memiliki rumah di Pondok Indah.
"Alhamdulillah, akhirnya jodohnya di sini. Petugas satpamnya udah kenal, lingkungan kenal karena dulu ngontrak di sini. Ada banyak temen manajemen juga di kawasan ini, jadi kalau ada apa- apa ada backup-nya," kata Rama yang mendapatkan lokasi rumah impiannya berkat bantuan teman-temannya dari Band Samsons.
Tanah seluas 250 meter persegi di ujung jalan itu lantas dibangun menjadi rumah tinggal tiga lantai seluas 500 meter persegi. Pembangunannya memakan waktu hingga 1,5 tahun karena menyesuaikan budget. "Ini juga karena bapakku arsitek, jadi mengurangi dana untuk biaya bangun juga," kata Rama.
Awalnya, Rama bermimpi memiliki rumah ala rumah-rumah di Inggris yang didominasi bata dan kayu. Namun, ia urungkan karena menurut sang bapak, di Indonesia banyak rayap. Akhirnya Rama pun memilih rumah bergaya Amerika dengan sentuhan minimalis.
"Yang penting tetap ada satu ruangan khusus buat aku, sama ruangan yang blong gede-gede aja," ujar Rama.
Lantai bawah diperuntukkan bagi studio, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruangan untuk menyimpan koleksi-koleksi piringan hitam milik Rama dengan pemutarnya, serta dapur basah dan kering. Lantai dua berupa kamar tidur, sementara lantai tiga dibuat tanpa peruntukan khusus. Baru tiga tahun terakhir, ruangan di lantai tiga digunakan sebagai tempat kegiatan yang bahkan bisa disewa.
"Aktivitas sehari-hari, kalau lagi enggak di studio, biasanya kita lakukan di lantai satu. Kita baru naik ke atas kalau ke kamar atau menjelang magrib," kata Rama. Di lantai bawah, Rama bersama Revi dan Rana melakukan banyak hal, mulai menonton televisi, ngobrol, makan, hingga meracik kopi dan menikmatinya sembari mendengarkan musik dari piringan hitam.
"Aku suka proses bikin kopi gara-gara temen yang di rumahnya dia bikin senyaman mungkin jadi enggak perlu ke mana-mana. Ada mesin espresso, syphon, dan V60 yang waktu itu aku belum ngerti. Pas di-bikinin, gila rasanya kayak di kafe-kafe," kata Rama.
Favorit Rama adalah kopi-kopi lokal light roast dengan cita rasa fruity. Salah satu favoritnya adalah Solok Minang. "Aku bikin sehari paling enggak sekali. Sambil belajar juga karena kalau pour over hasilnya beda-beda. Ternyata tiap biji treatment-ya beda," katanya.
Siang itu, Rama mempraktikkan keahliannya meracik kopi Minang Solok. Dengan telaten, Rama melakukan semua proses meracik kopi, mulai dari menjerang air, mengiling biji kopi, memasang kertas saring, hingga menuangkannya ke dalam teko saji. Hasilnya mencengangkan. Serupa petikan gitar yang keluar dari tangan-tangan ajaibnya, begitu juga kopi racikannya.
Malah tak cuma di rumah, saat keluar kota pun, Rama rela bersusah payah mencari kedai kopi yang menyediakan kopi single origin. Dia memanfaatkan berbagai aplikasi untuk mendapatkan info tentang kedai kopi yang memiliki mesin roasting, lantas menyambanginya. Rama bahkan sering kali meminta izin membuat kopi pesanannya sendiri.
"Sekarang aku menghindari kopi instan. Padahal, tadinya nunggu di belakang panggung aja pasti bikin kopi instan pakai gelas bekas air mineral," katanya.
Baginya, kopi memberinya perasaan gembira yang membuat inspirasinya mengalir lancar karena mood yang lebih baik. Seperti gitar-gitar kesayangannya, kopi kini juga memberinya energi baru di rumah yang menjadi tempat pulang untuk mengembalikan energi.
Dan seperti halnya rumah yang menjadi muara kebahagiaan, begitu pula dengan Nidji, band yang telah menjadi bagian hidup Rama selama 15 tahun ini. Pada 5 Mei, perjalanannya bersama Nidji akan dituangkan dalam konser bertajuk "Arti Sahabat" di Balai Kartini.
Gitar, kopi, dan Nidji adalah rumah, sekaligus pusaran kehidupan Rama.