Galak dan gemuruhnya Jakarta luluh teredam oleh simfoni yang dialunkan Jakarta City Philharmonic (JCP) di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis (4/5) malam. Pada suguhan pertama, setelah lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”, JCP dengan pengaba Budi Utomo Prabowo menghadirkan suasana galak, gagah, tetapi elegan dan indah. Saat itu mereka tengah memainkan bagian pertama dari ”Simfoni No 2 dalam B Minor” karya komponis Rusia, Alexander Borodin.
Malam itu dalam pergelaran edisi ketiganya, kelompok ini memilih tema dan tajuk pergelaran ”Russia: St Petersburg The Mighty Handful”. The Mighty Handful atau kelompok lima merupakan semacam ”gerakan” para komponis yang berbasis di St Petersburg. Termasuk Borodin dan Rimsky-Korsakov yang karyanya juga dimainkan, yaitu ”Scheherazade”. Karya ini terdengar sangat indah, diwarnai gaya Orientalis, nuansa Timur pada melodi-melodinya.
Tak kalah dahsyatnya, pada bagian akhir pergelaran, JCP menampilkan karya komponis Indonesia, Tri Sutji Juliati Kamal, yaitu Puisi Simfoni ”Kemenangan”. Kali ini penikmat disuguhi rasa Indonesia, nuansa pentatonik Jawa dalam simfoni yang notabene musik Barat. JCP yang berdiri pada November 2016 pada pergelaran sebelumnya memilih tema lanskap Jerman dan Skandinavia. Penikmat diajak bertamasya ke beragamnya keindahan hasil pergaulan antarbudaya.
Beethoven di Bandung
Kita beralih ke Bandung, tepatnya di Soreang, ibu kota Kabupaten Bandung Barat. Di sana, Minggu (30/4) lalu, Bandung Philharmonic dengan pengaba Robert Nordling menghadirkan Beethoven. Orkes filharmonik yang dibentuk kaum muda Bandung ini memainkan ”Simfoni No 6” Beethoven. Melengkapi kehadiran Beethoven, dimainkan pula komposisi baru ”Beethoven di Bandung” karya Marisa Sharon Hartanto Utama. Komposisi ini memfantasikan ketika Kang Beethoven jalan-jalan di Bandung dan menikmati kota yang sibuk oleh bisnis, industri, dan gejolak kehidupan manusia dengan beragam kepentingan. Mereka juga menyuguhkan ”Es Lilin”, lagu Sunda karya Ni Mursih yang diaransemen Fauzie Wiriadisastra. Rasa ”Es Lilin” Sunda dihadirkan lewat angklung dan orkestra. Suasana ayem tentrem alam Pasundan menaungi karya ini.
Suasana teduh damai juga hadir di Balai Resital, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, dalam pergelaran Musik Senja, 23 April lalu. Saat Jakarta macet parah pada jam-jam pulang kerja dan saat sebagian warganya bergerilya dalam kebisuan lewat media sosial, Jakarta Concert Orchestra dan Batavia Madrigal Singers menghadirkan lagu-lagu indah. Dengan pengaba Avip Priatna, mereka suguhkan ”La Zingarella” dari Opera Il Trovatore karya Verdi. Mereka juga dentingkan gitar pada ”Cavatina”, lagu lembut, bening dari film keras The Deer Hunter.
Kebersamaan
Bandung Philharmonic dan Jakarta City Philharmonic adalah dua orkes filharmonik yang belakangan hadir di tengah hiruk-pikuk kehidupan di negeri ini. Mereka menambah jumlah orkes simfoni yang bisa dihitung dengan jari. Sebelumnya sudah ada Twilite Orchestra dengan pengaba Addie MS dan Jakarta Concert Orchestra. Bandung Philharmonic (BP) dibentuk Januari 2016 oleh Airin Efferin, Fauzie Wiriadisastra, Putu Sandra Kusuma, dan Rony Gunawan. Kaum muda Kota Bandung mendirikan BP dengan landasan semangat harmoni antarperbedaan melalui dialog antara kekayaan musikal internasional dan khazanah lokal.
Itu mengapa dalam setiap pergelaran, BP selalu menampilkan masterpiece seperti karya Beethoven, Mozart, dan Mendelssohn. Berdampingan dengan karya itu selalu hadir pula karya baru dari komponis Indonesia, antara lain komponis Singgih Sanjaya ”Negara Kertagama”, Budi Ngurah dengan ”Borobudur”, dan Marisa Sharon Hartanto, ”Beethoven di Bandung”. Seperti halnya karya Trisutji Kamal, pada karya Singgih dan Budi terasa sekali nuansa keindonesiaan dalam berbagai aspek, termasuk motif-motif melodi. Juga pelibatan alat musik lokal di tengah instrumen Barat. Pada karya simfonik ”Negara Kertagama”, Singgih melibatkan kentongan, Budi mengusung gamelan seperti demung, slenthem, bonang, dan saron. Trisutji Kamal menggunakan gong. ”Keindonesiaan dalam bahasa musik saya selalu saya pertahankan. Dan akan saya selalu kembangkan lebih sempurna,” kata Trisutji Kamal.
Di belakang orkes filharmonik itu ada idealisme untuk membangun hubungan antarmanusia dalam bekerja sama meraih keindahan lewat musik. ”Bandung Philharmonic melatih intelektual, batin kami untuk mengapresiasi estetika. Juga melatih kami bekerja sama di tengah begitu banyak perbedaan. Ada satu yang kami cintai bersama dan perjuangkan bersama, dan ini terlihat oleh semua orang di panggung,” kata Airin.
Avip Priatna, pendiri dan pengaba Jakarta Concert Orchestra, Batavia Madrigal Singers, juga mengedepankan kebersamaan, kerja sama, dan sikap menghargai orang lain. Avip memberi contoh, dalam paduan suara ada banyak solis hebat. Namun, ketika berada dalam satu grup, mereka harus menghargai orang lain guna membentuk harmoni dan keindahan. Anggota paduan suara atau juga musisi dalam orkestra tidak bisa main dengan tempo dan dinamikanya sendiri. ”Kita harus satu suara dan juga satu hati. Ini salah satu faktor penting dalam musik, yang egois tak bisa berada di situ. Jangan merasa yang paling bener,” kata Avip.
”Kami datang dari latar belakang yang berbeda-beda untuk membunyikan lagu yang sama,” kata Avip yang berhasil membawa harum Indonesia di ajang festival dunia.
Anto Hoed, musisi dan Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta yang ikut menggagas lahirnya Jakarta City Philharmonic, berpandangan kota seperti Jakarta perlu mempunyai orkes filharmonik. Ia menjadi semacam simbol keberadaban yang merekatkan berbagai pihak dengan cara berbudaya. ”Dalam musik tidak ada benturan politik. Musik mempersatukan kita semua secara baik,” kata Anto.
Dalam pengantar konser, Anto menyebutkan, JCP dibentuk untuk membangun budaya bangsa yang bertutur sopan dan berbudi luhur. ”Kami tidak ingin masyarakat hidup dalam kekasaran,” kata Anto.
Peradaban batin
Dalam catatan pengantar pergelaran Bandung Philharmonic, Guru Besar Estetika Bambang Sugiharto yang juga anggota dewan BP menuliskan, Bandung Philharmonic mengejar sebuah peradaban yang lebih ideal, peradaban batin yang lebih halus dan canggih. Peradaban batin yang bukan pada taraf primitif. Rendahnya tingkat peradaban batin dipengaruhi berbagai faktor, antara lain kemampuan reflektif yang dangkal, wawasan yang sempit, dan kurangnya perhatian pada pendidikan hati.
”Seni adalah siasat ’pendidikan hati’ yang paling strategis untuk memupuk ’peradaban batin’ agar ber-evolusi. Seni bukan hanya keindahan, keterampilan unik, hiburan, melainkan soal komunikasi tentang inti pengalaman personal-manusiawi. Komunikasi yang menyentuh rasa, batin terdalam,” kata Bambang.
Musik, terutama art-music, tari, seni rupa, puisi, misalnya, penting untuk membukakan secara imajinatif seluk-beluk perasaan manusia yang paling pelik terhadap lingkungan, manusia lain, ataupun dirinya sendiri. ”Musik menyeret kita kembali ke pusat energi positif di kedalaman batin kita yang paling rahasia.”
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.