Rehat di Australia Barat
Suzanne mengajak kami menengok batu mirip kepala anjing, juga batu tertinggi di taman itu. Perdu kadang tumbuh di antara bebatuan. Di atas semuanya, terbentang langit biru jernih dengan kilasan-kilasan awan putih. Ingatan tentang kehidupan kota yang bising dan sesak langsung sirna, digantikan rasa lengang. Tiba-tiba meruap perasaan: betapa kerdil manusia di tengah semesta.
Kami lantas bergeser ke Kalbarri National Park, yang berjarak sekitar 590 kilometer utara Perth. Rabu pagi, kami menjajal Kalbarri Abseil, atraksi menuruni tebing setinggi sekitar 25 meter dengan tali dan dilengkapi beberapa alat pengaman. ”Selamat pagi!” sapa Colin Anderson, instruktur yang ramah dan lucu, begitu mengetahui saya berasal dari Indonesia.
Colin pintar mengambil hati pengunjung, termasuk mereka yang awalnya enggan turun. Saat bergelantungan di bebatuan, kami diminta melompat-lompat dengan dua kaki. ”Jump like a kangaroo!” pintanya.
Kepincut sensasi ini, sejumlah pengunjung menjajal atraksi itu sampai dua kali. Asyik memang. Apalagi sejauh mata memandang, terpampang tebing bebatuan berlapis-lapis hasil proses alam.
Pesona serupa juga kami nikmati saat menyambangi Nature’s Window, masih di kawasan Kalbarri, dengan puncak batu mirip jendela yang bertengger di atas Murchison River. Tak hanya susunannya yang memikat, warna-warni bebatuan itu cerah: oranye, coklat, kuning, merah, atau putih gading. Para pengunjung tak bosan berswafoto.
Batu purba dan sungai kuno itu meresapkan kesadaran bahwa dunia ini sudah tua. Sepanjang- panjangnya usia manusia, masih tak seberapa dibandingkan umur semesta. ”Masa lalu dan masa sekarang menyatu di sini,” kata Victoria McLoughlin, perempuan lincah yang menjadi sopir sekaligus pemandu wisata.
Pantai biru
Australia Barat juga memikat dengan laut indahnya. Salah satunya, pantai dengan gugusan tebing batu yang unik, Red Bluff dan Pot Alley, di Kalbarri. Wisatawan bisa memelototi bebatuan tua yang tersusun unik di pinggir laut seraya mendengarkan cerita petualang dari Eropa yang menjelajahi tempat itu beberapa abad lalu. Namun, angin bertiup kencang, pengunjung mesti hati-hati.
Bergerak ke arah Hamelin Road, ada Shell Beach. Air lautnya biru jernih, dingin, dan asin. Kami sempat nyebur sebentar, tetapi segera kedinginan. Pantai ini populer berkat miliaran cangkang kerang kecil putih yang terhampar bagai pasir. ”Pasir” itu demikian luas sehingga dari kejauhan, pengunjung tampak sebagai titik-titik mungil di tengah lapangan yang elok.
Di kawasan Shark Bay, ada beberapa pantai yang tak kalah indah, antara lain Cape Peron dan Skipjack Point. Pasirnya merah. Tentu saja lautnya juga biru-hijau jernih. Saat duduk di Skipjack Point, turis memperoleh sudut pandang luas untuk menelusuri lekuk-lekuk garis pantai dengan tebing merah berlekuk- lekuk.
”Dulu, saat pertama datang ke sini, orang-orang Eropa tak punya bahasa untuk berkomunikasi dengan kaum Aborigin. Mereka baru bisa berinteraksi setelah menari bersama. Jadi, bahasa awalnya adalah tarian,” kata Ralf Jaehrling, lelaki asli Jerman yang sudah lama tinggal di Australia dan fasih menguraikan sejarah Shark Bay. Ngomong-ngomong, dia pernah mengunjungi Bali dan mengaku kapan-kapan ingin kembali melancong ke ”Pulau Dewata” itu lagi.
Tak jauh dari situ, di Shark Bay Road, ada pantai Monkey Mia yang dilengkapi resort dan restoran yang menghadap ke laut. Kami sempat menginap semalam di sini. Suasananya santai. Pagi hari, kami sarapan di restoran sambil menatap laut lepas, kapal bersauh, burung pelikan yang mondar-mandir di pasir, dan dolfin.
Memberi makan dolfin
Dolfin menjadi atraksi memikat di Monkey Mia. Tak hanya kemunculannya yang bersahabat, ikan-ikan liar itu juga rutin diberi makan oleh sejumlah relawan. Pagi itu, sekitar pukul 08.00, ada delapan ekor yang mampir, beberapa masih kecil. Itu hanya sebagian dari belasan ekor pengunjung rutin pantai ini.
Setelah mengatur puluhan pengunjung agar berjajar rapi dan tidak terlalu dekat dengan dolfin, beberapa relawan turun ke air. Masing-masing membawa ember berisi ikan. Relawan menyodorkan ikan dengan tangan. Dolfin mendekat dan serta-merta menyambar makanan itu. Semua berlangsung cepat.
”Tradisi ini berjalan sejak tahun 1990-an. Kami sengaja tidak memberi banyak ikan biar dolfin-dolfin itu tetap liar dan mencari makan secara alami,” kata seorang relawan, Kayla Wordsworth.
Atraksi serupa juga rutin digelar di Kalbarri, tepatnya di tepi Murchison River di kota itu. Hanya saja, yang diberi makan adalah burung pelikan. Jumlah burung yang datang tidak menentu, kadang tujuh, lima, bahkan satu ekor. Seperti pagi itu, saat kami hadir, hanya satu ekor yang muncul. ”Tetapi, kalau nanti pulang ke negara Anda, boleh saja ditulis 10 pelikan yang datang,” canda Felicity, relawan, kepada kami wartawan.
Perempuan paruh baya itu pintar menertibkan anak-anak yang bergabung. Beberapa anak diberi ikan, diminta mengacungkannya kepada pelikan. Kadang ikan dilempar dan burung itu menangkapnya dengan cekatan.
Walhasil, mencicipi petualangan di tengah bebatuan purba, laut berwarna tosca, dan ambil bagian dalam atraksi memberi makan hewan liar di Australia Barat sungguh menyegarkan mata, hati, dan pikiran. Beberapa hari menikmati semua itu, kami serasa di dunia berbeda, dan waktu seakan melambat. Penat akibat rutinitas sehari-hari pun menguap begitu saja.