Siang itu kami bertemu di Studio Ananda Sukarlan Centre di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Mariska yang memang tinggal di Surabaya, Jawa Timur, sore itu akan tampil bersama sang pianis kondang Ananda Sukarlan, di suatu hotel berbintang di Jakarta.
Mariska Setiawan
Lahir:
Surabaya, 6 Desember 1990
Pendidikan:
SMAK St Louis 1, Surabaya, Jawa Timur
Pekerjaan:
Penyanyi sopran
Album:
An Essay on Love (permintaan BJ Habibie untuk mengenang istrinya, Ainun)
Love and Variations karya Ananda Sukarlan
Beberapa Penampilan:
Pentas solo perdana dalam The World Culture Forum 2016 di Bali
Ubud Writers & Readers 2016, membawakan karya-karya Ananda Sukarlan yang mengadaptasi puisi karya penyair Spanyol, Miguel Cervantes dan Federico Garcia Lorca
Rangkaian Rahasia untuk Mariska, dari puisi karya Adimas Immanuel
</aside
Ia lalu menyeret kopernya, membuka ransel dan merogoh maskara dari kantong make up . Sambil terus berceloteh, Mariska mematut dirinya di depan cermin, merapikan bulu matanya dengan sikat maskara. ”Tetapi, sempet mikir, mau naik ojek aja dari bandara. Tetapi baru inget ada koper gede ini,” ujarnya.
Waduh, ayu ayu kok naik ojek dari bandara, Mbak, piye....
Mariska mungkin bisa dibilang representasi ”ganjil” dari generasi milenial. Salah satu sisinya memberikan gambaran khas cewek muda milenial masa kini; pandai berdandan, dinamis tetapi santai, fleksibel, kasual, dan ceplas-ceplos. Di sisi lain, ia menjalani dunia yang jauh dari cecapan orang awam; musik klasik.
Bolak-balik Jakarta-Surabaya seperti hari itu dijalani Mariska dengan gembira. Ia sedang dalam lakon yang dulu diimpikannya, menjadi penyanyi sopran, penyanyi dengan suara tertinggi dalam klasifikasi vokal musik klasik Barat. Padahal, dunia seni vokal musik klasik baru dimasukinya di usia remaja. Menurut dia, itu sebenarnya terlambat.
Bagaimana awalnya?
”Cuma gara-gara ikut ekstrakurikuler paduan suara waktu di SMA dulu,” ujarnya dengan mata berbinar. Mariska sebelumnya mengira, bernyanyi hanyalah sekadar bernyanyi. Ketika kemudian dia mengkhususkan diri untuk kursus vokal musik klasik di Surabaya, ia menyadari bernyanyi menawarkan ruang eksplorasi yang bisa begitu luas dan dalam.
Akses yang mahal
Lulus SMA, Mariska berminat melanjutkan kuliah untuk mendalami seni vokal musik klasik. Sayangnya, karena biaya yang begitu tinggi, ia pun terpaksa menunda keinginan itu. Mariska lantas memilih mendalaminya melalui jalur non-formal, lewat kursus privat intensif dan mengikuti master class , misalnya dengan penyanyi seriosa kenamaan, Aning Katamsi.
”Sayangnya, di Indonesia belajar musik klasik formal itu aksesnya memang belum begitu terjangkau, mahal. Jadi, aku intensif jalur non-formal. Kalau di Surabaya, guru vokalku, Evelyn Merrelita, salah satu soprano terbaik Indonesia,” kata Mariska.
Mariska sendiri kini juga menjadi pengajar vokal selain menjalani profesi sebagai penyanyi sopran. Menurut dia, banyak penyanyi seriosa merangkap sebagai pengajar vokal karena lahan pementasan masih sedikit.
Kiprahnya sebagai soprano cukup kerap berkolaborasi dengan Ananda Sukarlan. Bersama Andandalah, Mariska menemui minat kekhususannya dalam bernyanyi: art song atau tembang puitis.
Tembang puitis diartikan sebagai karya lagu yang dicipta berdasarkan respons kreatif terhadap suatu karya sastra. Ananda sendiri memang dikenal piawai merespons karya-karya sastra menjadi komposisi musik nan indah. Dalam hal sastra inilah, Mariska lantas menemukan kesesuaian minat dalam berkolaborasi dengan Ananda.
Ia lalu menjelaskan soal dunia vokal dalam musik klasik yang terbagi menjadi dua peminatan, yakni art song dan opera. Dalam opera, penyanyi juga berperan sebagai tokoh dalam cerita yang dipentaskan. Sementara dalam art song , tidak selalu penyanyi bermain peran. Menurut dia, penyanyi bisa dibilang sebagai pembawa pesan, bergantung pada teks yang diracik.
”Aku sendiri sebenarnya tumbuh dewasa lebih dulu dengan sastra daripada musik. Papaku senang sekali baca buku-buku sastra, aku dikenalkan buku-buku sastra sama Papa sejak SD (sekolah dasar). Mulai dari yang tipis-tipis dulu, seperti Bukan Pasar Malam -nya Pram (Pramoedya Ananta Toer), Ronggeng Dukuh Paruk (karya Ahmad Tohari),” ujar Mariska.
Menelan sastra
Ayahnya, Moyong Setiawan, yang menggemari sastra Indonesia gemar menghujani si putri bungsu ini dengan buku-buku. Meski kadang Mariska kecil tak paham 100 persen setiap isi buku, ia menelannya saja. Pemahamannya atas isi buku-buku itu akhirnya terbentuk seiring usianya bertambah dewasa.
”Keluargaku itu sederhana, jadi aku tergolong terlambat kenal internet karena di rumah dulu enggak langganan internet. Punya gadget , hape , juga pas sudah besar. Jadi enggak lengket juga sama gadget , pelariannya jadinya ke buku-buku,” kata Mariska.
Dari buku-buku sastra Indonesia karya sastrawan-sastrawan lama, Mariska mengaku belajar menikmati dan menghargai hal- hal kecil yang dekat dengan kehidupan orang kebanyakan sehari-hari. Menurut dia, gaya sastra dahulu berbeda dengan kisah fiksi masa kini yang kadang gemar mengumbar mimpi. Misalnya, kencan yang romantis itu di Paris, Venesia, dan berbagai kolong langit lainnya.
”Buku-buku sastra dulu itu kan memotret yang serba sederhana aja ya. Ya kayak misalnya gambaran kalau orang Jawa itu seneng ngingu manuk , perkutut. Hal-hal kecil gitu aja. Itu jadinya yang aku hargai. Makanya, aku punya logat surabaya gini, wis sebisa mungkin aku pertahankan aja ,” celotehnya riang.
Nuansa dan hati
Percakapan kami diselang-selingi dengan sesi pemotretan. Kami lalu menjajal latar pemotretan di lantai teratas tempat anak- anak berlatih balet. Deretan poster pentas balet tempo doeloe yang tergantung di dinding lantas menarik perhatiannya. ”Coba lihat poster yang itu. Poster pentas zaman dulu lebih menghargai petikan-petikan kalimat berbahasa Indonesia. Kalau sekarang, poster balet pasti pakai kata-kata bahasa Inggris melulu,” ujarnya.
Mariska menunjuk poster pentas balet di Gedung Kesenian Jakarta tahun 1992 berjudul ”Burung Gelatik”. Dalam poster itu ada kalimat ”tak sangkar beremas tak umpan yang lezat dapat menggantikan rasanya merdeka”. ”Bagus ya kata-katanya...,” ujarnya.
Mariska memang peka dengan kata-kata. Pengagum penyair Hasan Aspahani ini punya pendekatan tersendiri setiap kali akan membawakan tembang puitis. Mariska mengatakan selalu membaca karya asli dari puisi atau literatur sastra yang akan diadaptasi ketimbang langsung mempelajari syair lagu hasil adaptasi saja. Dengan demikian, dirinya menjadi punya kesempatan memaknai dan menghayati sendiri karya asli sastra yang diadaptasi menjadi lagu.
Cara seperti itu membantunya mendekatkan hatinya dengan karya asli. ”Musik itu dalam hal ini membantu memberi nuansa, atmosfer. Seperti misalnya kata-kata ’aku mau hidup seribu tahun lagi’ jika dibawakan dalam iringan nada yang garang akan beda kalau pakai nada lembut...,” katanya sambil mencontohkan dengan menekan beberapa tuts piano.
Puisi ”Aku” karya Chairil Anwar yang dikutipnya itu mungkin memang bisa menjadi garang sekaligus lembut. Jangan-jangan seperti dirimu juga ya, Mariska.