Lirik untuk Hati yang Tercabik
Baru satu petikan gitar dan dua dentuman drum, teriakan penonton seketika melantang. Tangan terangkat ke udara, mulut tak sabar ingin menarik suara. Tanpa membuang waktu, Barasuara pun berlagu. Lirik-lirik serupa mantra membahana, berpadu dengan musik rock yang menggelora. Hawa malam pun serasa meleleh puitis.
Satu demi satu, meluncurlah lagu-lagu andalan grup band tersebut. ”Hagia”, ”Tentukan Arah”, ”Nyala Suara”, ”Tarintih”, dan ”Mengunci Ingatan” mengalir di panggung di Kampus Perbanas Institute, Kamis (18/5).
Dengan fasih penonton yang hampir semua mahasiswa menyanyikan semua lagu tadi. Mereka hafal setiap katanya. Kepala terangguk-angguk mengikuti irama yang dinamis, diselingi teriakan histeris menyaksikan aksi panggung Iga Massardi dan kawan-kawan.
”Pertama kali dengar Barasuara, saya langsung suka. Liriknya unik. Kata-katanya enggak biasa. Musiknya juga asyik. Langsung nyantol semua di kepala,” ujar Ucha, mahasiswi Fakultas Ekonomi di Perbanas.
Barasuara dikenal salah satunya karena lirik lagunya yang dalam, penuh makna, tidak secara lugas dan banal dalam mengungkapkan sesuatu. Misalnya, dalam lagu ”Nyala Suara”. ”Baramu padam, baramu padam/Lara menyala tanpa suara/Bara dalam sekam.”
Iga, vokalis dan gitaris Barasuara, menuturkan, semula dia ragu apakah ada orang yang memperhatikan band tersebut karena liriknya bukan bahasa yang digunakan sehari-hari.
”Waktu menulis lirik, perasaan seperti itu memang tidak ada. Namun, setelah didengarkan lagi, saya berpikir, bakal mengerti atau tidak ya. Ternyata, penonton paham saja. Keraguan saya berbalik 180 derajat. Malah Barasuara menjadi band yang dikenal lewat liriknya. Penggemar justru sebegitu intensnya untuk tahu soal liriknya,” tutur Iga.
Beresonansi
Lirik memang bisa menjadi kekuatan penting sebuah lagu. Kini, band-band indie yang bertumbuhan, seperti Barasuara, Dialog Dini Hari, Payung Teduh, dan Frau, menjadikan lirik sebagai elemen lagu yang sangat dipikirkan dalam-dalam. Lirik bisa menguarkan resonansi yang kuat ke pendengarnya.
Lantas, bagaimana gambarannya ketika lirik-lirik lagu seperti itu berhasil merasuk ke dalam alam batin seseorang?
Isnatul Chasanah (22), mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, misalnya, gemar mengutip potongan lirik lagu sebagai keterangan foto di akun Instagram-nya. Misalnya, lirik dari lagu ”Angin Pujaan Hujan” dari Payung Teduh berikut ini:
”Sang pujaan tak juga datang,
angin berembus bercabang.
Rinduku berbuah lara.”
Isnatul bercerita, suatu hari dirinya tengah duduk di pinggiran jembatan melihat ke arah Waduk Karangkates, Kabupaten Malang. Pikirannya lantas melayang, membayangkan tengah menunggu seseorang, tetapi tak kunjung datang. Momen pribadi itu diresonansikannya pada lirik lagu Payung Teduh tadi.
Begitulah yang terjadi dalam ruang-ruang batin pribadi seseorang ketika lirik lagu berhasil beresonansi secara intim dengan pendengarnya. Tanpa harus sedang mendengar lagunya, tanpa harus sedang menonton konsernya, lirik lagu itu berhasil menghantui dan tiba-tiba saja bisa hadir dalam momen-momen pribadi setiap orang. Begitu ”mengerikan” bukan kekuatan lirik?
Lain lagi dengan Ira Humairah (33), pekerja di pabrik cokelat. Dia menemukan lirik lagu yang cocok dengan pengalaman hidup dan suasana batinnya. Dia berpisah dengan buah hatinya, Langit (7), sejak awal 2012 karena dibawa oleh mantan suaminya.
Sebagai seorang ibu, dia kerap rindu anaknya, tetapi tidak bisa leluasa bertemu. Ketika mendengar lagu ”Lengkung Langit” dari album berjudul sama milik Dialog Dini Hari, Ira merasa menemukan kalimat yang pas mewakili kegundahan hatinya.
”Padamu langit
Menatapmu bersemi damai terdalam
Merawat rindu cinta yang terurai air mata”
Di awal berpisah dengan sang anak, Ira hampir setiap hari mendengarkan lagu itu. Bahkan, dia menggunakan tagar #LengkungLangit setiap mengunggah foto atau tulisan tentang anaknya di Instagram yang juga terhubung ke Facebook. Ira pun kian menyukai band Dialog Dini Hari karena lirik-lirik puitik itu yang sedikit banyak mengobati hatinya yang tercabik.
Leilani Hermiasih atau dikenal sebagai musisi dengan nama beken Frau bercerita, tak jarang penggemarnya memang merespons lagunya karena liriknya. ”Pernah ngobrol dengan orang, laki-laki usia 20-an yang ngaku gandrung dengan musik saya. Saya tanya kenapa. Terus dia bilang, ’Karena liriknya itu lho, kayak paham aku banget!’ Saya sih sejujurnya kaget ya,” kata Frau.
Peran komunitas literasi
Apresiasi terhadap lagu berlirik indah nan puitik juga menjadi roh yang dihadirkan di Kedai Buku Jenny di kompleks Wesabbe di sekitar Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Di kedai ini, album dari band-band indie yang mengusung lirik indah itu terpajang berikut poster-poster band. Koleksi keping album itu berjejer di dinding berangkaian dengan tumpukan buku tentang musik, politik, hingga filsafat. Tentu saja tak sekadar dipajang, tetapi lagu-lagu dari album itu juga kerap diperdengarkan di kedai bersahaja tersebut. Lagu yang diputar langsung dari album aslinya, bukan dari internet.
”Sejak akhir 2014, kesadaran pentingnya lirik sebagai alat penyampaian pesan tumbuh di Makassar. Lagu dengan lirik yang memiliki pesan sosial selalu bersamaan dengan acara diskusi di komunitas dan kampus,” kata Zulkhair Burhan, pendiri Kedai Buku Jenny (KBJ).
Dalam agenda rutin Panggung Kecil yang digelar tiga kali sebulan oleh KBJ dan komunitas literasi lainnya, misalnya, mereka mendiskusikan tentang musik dan perkembangan kota. Dalam acara itu juga kerap menampilkan band indie. Gratis, tanpa pungutan biaya.
Fajar Merah, anak aktivis dan penyair Wiji Thukul, yang membentuk grup band Merah Bercerita, misalnya, pernah tampil di KBJ. Dia membawakan lagunya, ”Bunga dan Tembok”, yang liriknya dari puisi Wiji Thukul. Lirik itu mengisahkan masyarakat kecil yang diumpamakan sebagai bunga yang dicerabut dari tanahnya oleh penguasa angkuh yang dimetaforakan sebagai tembok.
Penetrasi lagu-lagu berlirik puitik di kalangan anak muda Makassar kian meluas juga berkat komunitas literasi yang memperkenalkannya—yang juga bermunculan. Selain KBJ, komunitas lain yang berperan misalnya Rumata Art Space, Kampung Buku, dan Cara Baca.
Kesadaran ”baru”
Penyair kondang Joko Pinurbo memperhatikan, belakangan seperti ada kesadaran di kalangan musisi Indonesia untuk meningkatkan kualitas lirik lagu. Dia mencontohkan musisi Bob Dylan yang berkat kekuatan lirik lagunya berhasil meraih penghargaan Nobel Sastra 2016.
”Kekuatan lirik lagu-lagu Bob Dylan sangat menggugah. Bukan sekadar menyampaikan isi, melainkan juga mengolah kata-kata. Meski tidak berpretensi sebagai penyair, lirik lagunya dikerjakan dengan penuh pertimbangan cermat,” terang Jokpin, sapaan akrab Joko Pinurbo.
Jika hal semacam itu menjadi kecenderungan serius dalam bermusik, kata Jokpin, bakal luar biasa. ”Daya sentuh musik lebih luas. Kekayaan dalam bahasa Indonesia semestinya diolah menjadi ekspresi artistik yang punya kekuatan sosial,” katanya.
Jika masih ingat, sebenarnya dua dekade sebelum ini, lirik lagu-lagu berbahasa Indonesia pun pernah cukup puitik. Sebut saja era kejayaan musisi seperti Fariz RM, KLa Project, atau Chrisye. Lirik-lirik lagu mereka cenderung menyimpan makna berlapis dan tersirat, tidak mentah-mentah. Lantas lagu bergaya lirik demikian sempat bergeser menjadi lagu berlirik lugas, langsung, terang-terangan. Untuk mengungkapkan kerinduan, misalnya, diungkapkan dengan kalimat harfiah ”aku kangen kamu”.
Pemerhati bahasa Indonesia sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Ibnu Wahyudi, mengatakan, band-band yang menyuguhkan lirik puitik punya kesadaran, cara berkomunikasi memerlukan kesantunan. Bagi mereka, komunikasi tidak harus dilakukan dengan kata-kata vulgar, apalagi yang penuh amarah.
Jadi, jika hati Anda tengah membara di tengah panasnya isu politik identitas saat ini, cobalah guyuri kalbu dengan lagu-lagu berlirik puitik. Biar nyesss.... (Dwi As Setianingsih/Fikri Ashri)