BERHASIL menemukan dan mendapatkan bongkahan emas berukuran besar (gold nugget) adalah impian abadi setiap petambang emas, baik profesional maupun partikelir, di mana pun serta di masa kapan pun mereka berada di dunia ini.
Tak terkecuali para petambang emas lokal di salah dua subdistrik kecil di kota Queenstown, Selandia Baru, Arrowtown dan Macetown, yang sekarang juga menjadi tujuan utama wisata petualangan, andalan kota di ujung barat daya kepulauan selatan ”Negeri Kiwi”.
”Kalau ini beberapa hari lalu dijual seorang pemuda. Dia datang ke sini setelah sekitar hampir seminggu mencoba mencari dan mendulang emas di beberapa lokasi sepanjang aliran sungai (Arrow) ujar Justin Eden, Minggu (21/6), pemilik toko emas The Gold Shop di kota tua, Arrowtown.
Eden menunjukkan satu kantong plastik kecil bening berisi remah-remah butiran logam mulia 24 karat, dengan berat 20-an gram, kepada wartawan Kompas, Wisnu Dewabrata, yang berkesempatan datang ke Queenstown memenuhi undangan badan perlancongan (Tourism Board) Selandia Baru.
Menurut Eden, berhasil mendapatkan 20-an gram emas terbilang sudah sangat lumayan bagi seorang pemuda, yang dia kenal memang tak punya pekerjaan tetap itu. Pemerintah setempat memang tak melarang aktivitas mendulang emas di kawasan bersejarah itu.
Praktik itu bahkan menjadi salah satu aktivitas yang bisa dilakukan para wisatawan yang datang selain bertualang dengan mengendarai jip-jip jenis 4WD, melintasi jalur sempit di sepanjang lereng area pegunungan, setinggi 2.500-an meter di atas permukaan laut itu.
Para wisatawan bisa ”mengadu nyali” berkendaraan di jalur-jalur off road yang sempit dan terjal di pinggir jurang dalam serta melintasi puluhan anak-anak aliran sungai demi menuju area bekas tempat bermukim para pemburu emas, yang kini telah menjadi semacam ”kota hantu” dan menyisakan satu dua rumah yang terbuat dari batu.
Sejarah
Pada tahun 1863 hingga awal 1900-an, ratusan orang, kebanyakan para imigran asal ”Negeri Tirai Bambu”, China, berbondong-bondong datang dan menetap saat ”demam emas” melanda wilayah itu tak lama setelah semakin banyak temuan emas di sepanjang aliran Sungai Arrow. Beberapa lokasi permukiman juga dibangun di lokasi-lokasi terpencil di beberapa area puncak pegunungan, yang bahkan saat ini pun hanya bisa didatangi dengan susah payah dalam dua jam perjalanan kendaraan jip khusus off road, milik perusahaan operator wisata petualangan, Nomad Safaris.
Di masa lalu, para petambang imigran memang sengaja bermukim di beberapa area terpencil tadi lantaran mereka juga mencari emas dengan cara merontokkan punggung-punggung bukit dan pegunungan selain sepanjang aliran sungai, yang diyakini kaya mengandung logam mulia.
Mereka memanfaatkan teknologi sederhana, dengan cara memanipulasi dan mengalirkan air anak-anak sungai ke dalam pipa-pipa, yang semakin lama semakin berukuran kecil sehingga menghasilkan tekanan. Saat emas semakin langka didapat, ratusan petambang tradisional, baik imigran maupun orang Selandia Baru, pergi meninggalkan begitu saja area itu menjadi semacam ”kota hantu” kecil.
”Kalau sekarang sih masih ada orang mendulang dan mencari emas. Saya sendiri kadang suka iseng, sekadar hobi. Sesekali ikut festival mendulang emas, yang memang sudah jadi agenda wisata tahunan,” ujar David Gatward Fergusson, gaet sekaligus pengemudi jip Nomad Safaris.
Pemerintah hanya melarang perusahaan-perusahaan besar beroperasi menambang emas di area itu. Hal itu, menurut dia, lantaran uang yang didapat dari sektor wisata jauh lebih besar. Untuk itu pemerintah berkepentingan untuk merawat dan bahkan mempercantik kawasan itu sealami mungkin sekaligus melengkapi fasilitas demi menarik wisatawan agar berdatangan dari luar negeri. Tak sedikit orang malah berani berinvestasi dengan membeli seperangkat alat pendeteksi logam atau emas, yang harganya bisa mencapai ribuan dollar AS. Akan tetapi, peluang mendapatkan gold nugget dengan alat itu diyakini Fergusson jauh lebih besar ketimbang sekadar secara manual mendulang emas di tepian sungai.
Eden sendiri di tokonya menyimpan, mengoleksi, dan bahkan memamerkan sejumlah gold nugget, yang berhasil ditemukan dan dijual kepada dirinya. Bongkahan emas mulai dari yang seberat belasan gram hingga yang mencapai setengah kilogram dia tunjukkan kepada Kompas, yang bahkan baru kali itu memegang dan menimang langsung emas 24 karat dalam bentuk aslinya. ”Banyak orang datang menawar, malah lebih mahal daripada harga seharusnya karena masih berbentuk asli. Namun, sampai sekarang saya belum tertarik (menjualnya). Bongkahan-bongkahan emas ini sering membawa saya berpameran berkeliling beberapa negara atas permintaan Tourism Board Selandia Baru,” ujarnya sambil tersenyum.
Eden memamerkan sejumlah koleksinya dan bahkan membolehkan Kompas memegang langsung bongkahan-bongkahan emas yang kebanyakan berbentuk tak beraturan, tetapi harga jualnya bisa bernilai tinggi, bahkan hingga ratusan juta rupiah. Sebuah pengalaman unik yang sekaligus juga menakjubkan. (DWA)