Perburuan Para Seniman
Para kolektor dan pengelola galeri dari dalam dan luar negeri, Jumat (19/5) siang, diberi kesempatan khusus menilik karya dan senimannya yang sudah bersiap-siap di ruang pamer ArtJog. Pada malam hari, pameran secara resmi dibuka di Jogja National Museum, Yogyakarta. Para undangan khusus itu kemudian terlihat sibuk berburu karya seni rupa, sekaligus berburu para senimannya.
”Sebentar, saya akan tanyakan dulu ke pengelola galeri yang selama ini ’memegang’ karya saya,” ujar Mulyana Mogus (33), seniman asal Bandung, Jawa Barat, salah satu dari 59 seniman peserta Pameran ArtJog ke-10.
Ketika itu, Mulyana memperoleh penawaran dari seorang kolektor yang juga menjadi pengusaha properti di Jakarta. Kolektor itu ingin membeli dan memajang karya Mulyana di salah satu gedung yang dikelolanya. Mulyana tak bisa langsung mengiyakan tawaran itu.
Tidak seberapa jauh dari Mulyana, berdiri seorang pria asal Perancis, Guillaume Levy-Lambert. Guillaume ini yang dimaksud Mulyana sebagai pengelola galeri yang selama ini ”memegang” karyanya.
Mulyana menyampaikan perihal keinginan salah satu kolektor tersebut kepada Guillaume. Guillaume memberikan respons dengan senyumannya. Pengusaha yang berburu karya Mulyana itu sepertinya mafhum. Ruang pamer Mulyana yang sudah ramai dikunjungi para undangan khusus itu kurang nyaman untuk memperbincangkan harga ataupun bentuk-bentuk kontrak lainnya. Pengusaha properti itu pun beranjak, meninggalkan Mulyana dan Guillaume.
Guillaume mengelola galeri seni rupa kontemporer Art Porters di Spottiswoods Par Road, Singapura. Pertemuannya dengan Mulyana diawali pada 2015 ketika Mulyana untuk pertama kalinya mengikuti Pameran ArtJog.
”Guillaume waktu itu ingin membeli karya saya, tetapi kolektor dari Australia sudah terlebih dahulu membelinya,” kata Mulyana.
Pada waktu berikutnya, Guillaume mengikat kontrak untuk memasarkan karya-karya Mulyana ke sejumlah negara. Karya seni rupa Mulyana berupa karya tiga matra dengan teknik rajutan benang sintetis (akrilik atau polister). Benang sintetis lebih tahan lama dan memiliki warna lebih cerah dibandingkan dengan benang berbahan katun atau wol.
Di ArtJog 2017, Mulyana menampilkan karya ”Silent Prayers” atau ”Para Pendoa yang Diam”, berupa instalasi rajutan berbentuk koral dengan bahan benang putih. Koral-koral berwarna putih itu kiasan untuk koral-koral yang mati (mengalami pemutihan atau bleaching), menjadi pengingat diri bahwa alam telah rusak dan tidak pernah kembali menjadi baik.
”Karya Mulyana ini berbeda dengan karya-karya seni rupa kontemporer lainnya. Ini termasuk istimewa,” kata Guillaume.
Fenomena serupa juga terjadi di ruang pamer lainnya. Para kolektor lain juga terlihat mengelilingi karya tiga dimensi ”Fashion as a Weapon” karya Hendra ”Blangkon” Priyadhani (36) asal Ponorogo, Jawa Timur.
Satu di antaranya tampak kolektor dan pengusaha tekstil Nasir Tamara. Nasir juga mengelola Galeri Natan Royal Heritage di Yogyakarta.
”Karya Hendra Blangkon memiliki perubahan yang sangat cepat. Tahun lalu, saya sempat memamerkan karya-karyanya. Namun, sekarang saya melihat perubahan dan banyak sekali kemajuannya,” ujar Nasir Tamara.
Hendra memajang instalasi ”Fashion as a Weapon” yang dirakit dari berbagai potongan atau bagian-bagian barang bekas, seperti mesin jahit, mesin ketik, maneken, dan patung-patung figur manusia berbagai ukuran. Hendra kemudian memoles rakitannya itu dengan warna terakota.
”Ini bukan patung, tetapi kolase dari barang-barang berbentuk tiga dimensi,” ujar Hendra, yang sudah dua kali diberi kesempatan menjadi peserta ArtJog.
Mulyana ataupun Hendra sama-sama memperoleh berkat ArtJog. Berkat keikutsertaan di ArtJog, karya mereka makin dikenal kolektor dari dalam dan luar negeri. Di antara sekian banyak peserta Pameran ArtJog, tentu banyak pula yang mengalami hal yang sama.
”Setelah ikut ArtJog pertama kali tahun 2015, saya mulai diundang memamerkan karya di Singapura, Melbourne (Australia), dan Hongkong,” ujar Mulyana.
Kesegaran karya
Kurator Pameran ArtJog, Bambang ”Toko” Witjaksono, mengatakan, melalui pameran ini selalu diupayakan menampilkan hal-hal baru, baik dalam hal konsep acara maupun karya yang ditampilkan. Pada akhirnya, ArtJog mampu menampilkan inovasi dan kesegaran karya-karya seni rupa.
”Antusiasme masyarakat juga tidak berkurang meski pihak penyelenggara memberlakukan tiket masuk Rp 50.000,” kata Bambang.
Menurut Bambang, ArtJog berhasil menjadi agen yang memublikasikan karya-karya seniman muda. Pada akhirnya, karya seniman pemula itu memperoleh kesempatan untuk berkembang.
”ArtJog ada yang mengatakan sebagai batu lompatan seniman muda, ya, enggak apa-apa,” kata Bambang.
ArtJog 2017 atau ArtJog yang ke-10 ini mengambil tema ”Changing Perspective”, menyasar pada perubahan sudut pandang individu yang profan menjadi tidak melulu profan melalui seni rupa. Bambang bersama tim kurator lainnya merumuskan rasionalitas otak yang dijadikan sumber nalar atau logika untuk memastikan kebenaran dan akurasinya. Kegagalan logika dinilai akan terjadi ketika kita menyandarkan satu-satunya perspektif pada hal logis.
Tim kurator ArtJog 2017 menetapkan seni instalasi bola-bola mata gigantik ”Floating Eyes” karya seniman Wedhar Riyadi untuk mengubah halaman muka gedung pameran. Bola-bola mata sebagai kiasan mata publik yang selalu mengawasi siapa saja yang berkreasi.
Bola-bola mata gigantik itu ditempatkan di kolam berair. Ada gemercik diciptakan untuk menimbulkan gelombang atau riakan kecil. Dari situlah terpantul bayangan bola-bola mata atau pantulan diri sendiri yang melihatnya. ”Floating Eyes” ditujukan sebagai permainan visual yang merangkum komponen-komponen ArtJog selama satu dekade (2008-2017).
Salah seorang peserta ArtJog 2017, seniman muda Syaiful A Garibaldi (31), berharap keikutsertaannya untuk pertama kali ini sekaligus sebagai pengalaman untuk membaca perkembangan seni rupa Indonesia. Seniman muda lainnya, Suranto ”Kenyung” (36), menganggap ArtJog sudah menjadi barometer seni rupa Indonesia.
”Salah satu buktinya, kalau ada ArtJog, semua galeri di Yogyakarta ikut menggelar pameran,” kata Suranto.
Amelberga Astri, salah satu anggota panitia Pameran ArtJog 2017, menyebutkan, di wilayah Yogyakarta hingga Magelang, Jawa Tengah, berlangsung sekitar 140 pameran seni rupa. Waktu penyelenggaraannya hampir bersamaan atau beririsan dengan waktu penyelenggaraan ArtJog, yakni pada 19 Mei-19 Juni 2017.
Satu di antaranya Pameran Bakaba ke-6 bertema ”Indonesia” dari Komunitas Seni Sakato di Jogja Gallery. Sebanyak 76 seniman memamerkan karya masing-masing. Anugerah penghargaan atas karya terbaik kategori umum diberikan untuk seniman Gusmen Heriadi. Sementara karya terbaik seniman pemula diberikan kepada Ridho Rizki. Pameran Bakaba ke-6 ini berlangsung pada 18-31 Mei 2017.
”Pameran ini bersamaan dengan ArtJog. Namun, ini justru bisa saling bersinergi,” ujar Gusmen di sela pameran.
ArtJog dan sekitar 140 kegiatan serupa di Yogyakarta sampai Magelang menjadi ajang besar pertunjukan seni rupa atas inisiatif swadaya masyarakat, bukan pemerintah. Ini tidak sekadar menyuguhkan hiburan bagi wisatawan yang kebetulan singgah di Yogyakarta. Sebab, ArtJog dan sekitar 140 kegiatan lainnya kian tumbuh menjadi magnet pasar seni rupa dunia, menjadi ajang perburuan karya seni rupa dan senimannya oleh para kolektor ataupun pengelola galeri di sejumlah negara.