logo Kompas.id
Gaya HidupEmpuk-empuk Liar
Iklan

Empuk-empuk Liar

Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
· 4 menit baca

Bara yang menyala seketika membuat daging merekah. Sebentar-sebentar kilat kecil seperti menyambar. Malam seolah beringsut dari perempatan jalan. Pelan-pelan merasuk aroma hutan yang khas dan liar. Sementara di balik baluran rempah diam-diam menyeruak tekstur daging yang memerah indah.Proses membakar sate telah dilakoni Lim Sio Ing (64) sejak tahun 1970-an. Tangannya sangat cekatan dan terlatih membolak-balik tusukan- tusukan daging di atas pemanggangan. Indera penciumannya juga tampak begitu fasih mengendus tingkat kematangan daging sate-satenya. Khusus untuk bakar sate, Koh Ing, begitu sapaan warga Banjarmasin kepadanya, tak pernah menyerahkan kepada dua asistennya di Depot Sate Maranggi. "Sering terlalu gosong. Pelanggan selalu minta saya yang bakar," kata Koh Ing, akhir Mei 2017. Malam itu bersama beberapa sastrawan Kalimantan Selatan, kami memesan beberapa jenis sate. Ada sate kambing, sate sapi, sate ayam, tak ketinggalan menu khas di depot ini, sate kijang. Koh Ing bahkan menulis di dinding depotnya: Sate Kijang Borneo Rain Forest. Keliaran segera jadi penarik minat para penikmat. Daging kijang tak hanya diolah jadi sate. Koh Ing melengkapinya dengan sop iga, tongseng, gulai, dan iga goreng. Begitu juga dengan daging lain, seperti sapi dan kambing. "Sate tetap jadi primadona," kata Koh Ing. Pelanggan yang kesetanan, seperti penyair Sandi Firly, rela menempuh sejam perjalanan dari Banjarbaru ke Banjamasin cuma untuk menyantap sate kijang. Sebenarnya sate kijang baru menjadi menu utama di depot di Jalan Pangeran Samudera 14, Banjarmasin, pada era 1990-an. "Kebetulan seorang kakak saya di Hulu Sungai memberi saran. Saya coba dan disukai," ujar Koh Ing. Sebenarnya sangat mudah membandingkan daging kambing, sapi, dan kijang. Tekstur dan warna ketiga daging ini secara kasatmata sangat berbeda. Daging kambing cenderung lebih putih dan berlemak, daging sapi bertekstur tebal dan berserat kasar, sedangkan daging kijang warnanya merah hati dengan tekstur yang lembut. Ketika dipanggang, daging kijang, kata Koh Ing, cenderung lebih empuk dan nyaris tanpa minyak. "Rasanya kesat, tetapi empuk," kata Sandi. Bumbu maranggiHal yang selalu membuat konsumen datang, menurut Koh Ing, bukan hanya suguhan daging dari alam liar bernama kijang, melainkan karena racikan bumbu Koh Ing yang menawan hati. Potong- potongan daging kijang setelah ditusuk lidi bambu, dilumuri rempah yang disebut Koh Ing sebagai bumbu sate maranggi. "Itu khas Purwakarta katanya, tetapi saya belajar dari internet," katanya merendah. Koh Ing cuma menyebut inti bumbu sate maranggi seperti gula merah, bawang merah dan putih, sedikit garam, serta ketumbar. "Nanti kalau sudah matang boleh dioles bumbu kacang atau bumbu kecap plus cabe rawit. Tidak sulit," katanya. Pada saat disajikan, Koh Ing menambahkan acar berupa potongan mentimun, cabe, dan bawang merah dengan kuah cuka. Kesederhanaan bumbu memang kemudian membuat menonjol rasa daging kijang. Pada embatan pertama Anda akan merasakan sentuhan manis. Namun, begitu tergigit dagingnya, amat pelan mulai tecerna sensasi empuk, kemudian seluruh cairan yang berdiam dalam daging, samar-samar memberi imajinasi tentang keliaran. Pada gigitan berikutnya, Anda sudah berada dalam kondisi siap untuk melahap semua sajian di atas meja. Selain sate, yang pantas dijajal iga kijang bakar. Meski tampak kenyal, daging cukup dipotong dengan sendok dan garpu. Ada serat-serat yang lebih kasar dibandingkan daging bagian paha kijang untuk sate. Cuma iga kijang sama sekali tidak memiliki lemak seperti pada daging sapi. Oleh sebab itu, ia didominasi oleh serat dengan kandungan minyak daging yang mengantarkan rasa liar tadi. Dalam seminggu depot ini disuplai daging kijang dari Kalimantan Tengah antara 20 kg dan 50 kg. Namun, itu pun tak menentu, tergantung pengiriman dari Kalteng. Lantaran pasokannya yang sulit, daging kijang cenderung lebih mahal dibandingkan sapi dan kambing. "Yah, mentahannya bisa lebih dari Rp 100.000 sekilo," kata Koh Ing. Itulah sebabnya harga setusuk sate kijang lebih mahal dibandingkan sate sapi atau kambing. Jika sate kijang seharga Rp 6.500 per tusuk, sate sapi dan kambing Rp 4.500 per tusuk. Meski mahal, ada saja pelanggan yang memesan sate kijang sampai 200 tusuk. "Biasanya itu pelanggan dari jauh, seperti Balikpapan. Mereka telepon dulu," tutur Koh Ing. Beberapa pejabat di Banjarmasin dan kota sekitarnya juga menjadi pelanggan tetap depot kecil di sudut jalan itu. Tentu saja di sini Anda tak hanya bisa "mabuk" sate, Koh Ing juga jago membuat sop dan tongseng. Bahkan, ia melengkapi jualannya dengan soto banjar dan nasi goreng. Boleh dibilang ini depot serba ada. "Karena pemiliknya akan mencarikan ke warung lain kalau di sini tidak ada," ujar pengusaha muda Hajri, yang jadi pelanggan tetap Depot Sate Maranggi. Perlu diketahui, seluruh proses memasak dikerjakan sendiri oleh Koh Ing. Bahkan, ia tak segan-segan memulainya dari menusuk sate sampai menghidangkannya di atas meja pelanggannya. "Prinsip dagang, kan, harus melayani yang terbaik," katanya. Baiklah. Ini beberapa porsi sate sudah terhidang di atas meja. Izinkan saya menyantapnya tanpa harus memikirkan bagaimana menuliskannya untuk Anda. Karena sudah pasti, gigitan langsung jauh lebih menyentuh ketimbang "menggigit" lewat tulisan. Hem.dahsyat. Empuk-empuk liat....

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000