Titip Indonesia kepada Para Sineas
Langkah kaki agak gontai akibat guncangan seusai menonton "120 Battements Par Minute" di Grand Theatre Lumiere, Festival Film Internasional Cannes 2017, Perancis, Sabtu (20/5). Saat melangkah menuju Paviliun Indonesia, sambil mencoba merenungkan film karya Robin Campillo itu, tiba-tiba ada panggilan mengagetkan dari sutradara Yosep Anggi Noen.
Seusai berbalas sapa, kami berbalik arah ke Paviliun Korea Selatan untuk memberikan belasungkawa terkait kematian sineas Kim Ji-seok di Cannes. Kami lalu berjalan ke Paviliun Indonesia dengan rencana awal mengikuti diskusi film yang dipandu pejabat teras Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Paviliun Indonesia, dekat Dermaga Le Vieux yang dihiasi deretan perahu layar, dipenuhi oleh sineas Indonesia. Mereka, antara lain, Mouly Surya, sutradara Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak yang filmnya diputar perdana di Cannes; sutradara Wregas Bhanuteja yang tahun lalu meraih penghargaan di Cannes berkat film pendek Prenjak; sutradara Riri Riza; serta produser Mira Lesmana, Meiske Taurisia, Yulia Evina Bhara, Fauzan Zidni, dan Rama Adi.
Keberadaan sineas muda Indonesia di festival film paling bergengsi sedunia itu tentu bukan sekadar untuk menonton deretan film yang diputar perdana di hadapan publik. "Di sini itu kerja, cari dukungan," kata Anggi dengan santai menjawab pertanyaan Kompas.
Pertanyaan serupa ditujukan kepada kalangan sineas tersebut. Jawabannya serupa. Kerja! Cari dukungan. Untuk apa? "Kalau saya dengan Anggi, ya, untuk proyek film berikutnya, dong," ujar Yulia, menimpali.
Mouly, Rama, dan Fauzan agak berbeda. Selain mempersiapkan pemutaran perdana Marlina, mereka juga mencari peluang jalur distribusi. Seusai pemutaran di kategori Quinzaine Des Realisateurs (Directors\' Fortnight), mereka tentu ingin Marlina diputar secara luas di dunia, termasuk di Indonesia, dan mendapat apresiasi positif.
Marlina merupakan film ketujuh dari Indonesia yang diputar di Cannes. Marlina adalah film panjang yang diputar di Cannes setelah Tjoet Nja\' Dhien (1989), Daun di Atas Bantal (1998), dan Serambi (2006). Selain film panjang, tiga film pendek Indonesia yang pernah diputar di Cannes adalah Kara, Anak Sebatang Pohon (2005), The Fox Exploits The Tiger\'s Might (2015), dan Prenjak (2016).
Mereka bukan sekadar bekerja, melainkan bergerilya. Bukan berbagai bioskop di Cannes yang mereka datangi, melainkan paviliun, pesta, atau pertemuan para sineas atau panitia festival film dunia. Rapat, rapat, dan rapat menjadi kata yang sering mereka ucapkan ketika ditanyai saat berjumpa kembali, misalnya saat makan, bersantai, atau tidak sengaja berpapasan di jalan-jalan kota pantai Laut Mediterania di pesisir selatan Perancis itu.
Setelah menggarap Istirahatlah Kata Kata,Anggi menyiapkan film berikutnya, yakni The Science of Fictions. Ceritanya tentang astronot dari Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Film ini memasuki tahap praproduksi. "Ini pertama kali saya ke Cannes dan saya berusaha mendapat dukungan untuk film itu," katanya.
Wregas juga senada. Digandeng Mira, ia menyiapkan film panjang pertamanya, An Extraordinary Life, yang masih dalam pengembangan. Di Cannes, Wregas mencari co-producer ataupun agen pemasaran internasional untuk distribusi saat karyanya selesai dan siap diputar. "Kalau sempat, ya, lihat film di sini, Mas. Kalau enggak sempat, ya, sudah. Memang tujuan ke sini bukan untuk menonton film, kok," ujarnya dengan santai.
Riri juga membawa proyek Humba Dream yang dalam tahap praproduksi. Adapun di paviliun, Bekraf menaruh beberapa brosur sejumlah proyek film Indonesia yang sedang mencari dukungan. Misalnya, You and I yang disutradarai Fanny Chotimah, The Autobiography karya Makbul Mubarak, dan Yuni dengan sutradara Kamila Andini.
Gerilya
Hanya di festival, kalangan sineas itu dapat bertemu dan menjalin kerja sama. Cannes, yang merupakan kiblat festival film dunia, tentu menjadi magnet tersendiri bagi sineas untuk mencari peluang perbaikan penyusunan skenario, pendanaan produksi, distribusi, dan promosi.
Pertemuan dengan sineas dunia bisa terjadi di mana saja. Di kafe atau restoran sambil makan atau sekadar mengopi, pesta yang diadakan secara khusus, diskusi atau acara khusus di paviliun, bahkan di kamar hotel atau apartemen di Cannes. Jika sukses mendapat dukungan, jalan untuk produksi dan distribusi menjadi terbuka. Misalnya, The Autobiography lolos seleksi untuk program inkubasi di Torino Film Lab.
Menurut Yulia, produser The Autobiography, dengan masuk ke program inkubasi, suatu proyek film akan digarap dengan lebih baik. Seluruh proses seakan terpantau oleh kalangan sineas dunia yang aktif di berbagai festival. Boleh jadi film itu ditunggu pemutarannya di festival, sekaligus dengan kritik yang menyertainya. Jika cukup baik, film itu akan lebih mudah mendapat jalur distribusi. "Festival, terutama Cannes, merupakan tempat yang tepat untuk membuka, menjaga, dan meningkatkan kerja sama dengan dunia luar," katanya.
Mirip seperti itulah yang dilakukan Mouly dalam Marlina. Ide film ini berasal dari sutradara Garin Nugroho yang kemudian ditulis Mouly dan Rama. Hampir dua tahun, Mouly mencari dukungan untuk Marlina dari satu festival ke festival lain, termasuk di Cannes. Di Cannes, tahun lalu, skenario Marlina tembus seleksi dan mendapat dukungan dari Cinéfondation L\'Atelier. "Dari sana, kami bekerja sama dengan co-producer mancanegara untuk proses selanjutnya sampai produksi," ujar Mouly.
Dengan mendapat dukungan dan diputar di festival dunia, film Indonesia secara otomatis akan mempertahankan nama Indonesia di perfilman internasional. Untuk itu, kedatangan para sineas ke berbagai festival, apalagi untuk mempersiapkan pemutaran perdana atau bahkan memenangi penghargaan, merupakan capaian positif bagi bangsa dan negara. Dengan tampil di mancanegara, nama Indonesia, termasuk kalangan sineasnya, akan dikenal, bahkan mungkin juga ditunggu kelanjutan karya-karyanya.
Tidak hanya sekali Indonesia membuat catatan di Cannes. Keberadaan film-film yang pernah diputar di Cannes patut menjadi penyemangat para sineas untuk membuat film-film yang bagus, bermutu, serta mampu mengangkat nama Indonesia dan sineasnya.
"Film bukan sekadar produk bisnis, melainkan produk kebudayaan," kata Mouly.
Kepada kalangan sineas juga nama Indonesia dititipkan. Ya, mungkin hanya masalah waktu ada film Indonesia yang meraih penghargaan paling bergengsi, misalnya di Cannes.