Sastra Menggema di Kebun Teh
Kebun teh Medini, lereng utara Gunung Ungaran, Jawa Tengah, yang biasanya sepi, Sabtu (14/5) malam, gaduh. Berpayung hamparan bintang dan hangat nyala api unggun, muda-mudi larut dalam perbincangan soal sastra. Bersama penulis buku dan novel, sastrawan, serta budayawan, mereka bercakap tentang jagat literasi.
”Seberapa pentingnya paragraf pertama menentukan kekuatan sebuah novel?” tanya Ian (20), mahasiswa Jurusan Sastra dan Bahasa Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, kepada Eka Kurniawan, seorang novelis.
Penulis buku Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau itu menjawab, ”Meski tidak mutlak betul, tetapi ada benarnya. Sebab, keberhasilan penulis jika mampu memikat seseorang untuk membaca tulisannya mulai dari kalimat pertama hingga terakhir.”
Diskusi menghangat. Peserta lain kembali mengomentari keberhasilan Eka menyematkan gaya pembuka bernuansa realisme magis ala peraih Nobel Sastra asal Kolombia, Gabriel Garcia Marquez, dalam Lelaki Harimau. Baginya, sejak kalimat pembuka, pembaca dibuat penasaran mengapa Margiyo, tokoh sentral dalam buku itu, tega membunuh Anwar Sadat dengan menggigit tenggorokannya.
Tidak hanya diskusi soal novel. Hawa dingin areal kebun setinggi 2.050 meter di atas permukaan laut itu menghangat dengan penampilan apresiasi seni dari sejumlah peserta, mulai dari puisi, teater, hingga musik.
Demikian sepenggal episode Kemah Sastra III yang diselenggarakan di Kebun Teh Medini, Desa Ngesrepbalong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Kegiatan ini digelar Komunitas Lereng Medini (KLM) pada 12-14 Mei 2017.
Di tengah kebun teh seluas 300 hektar, sekitar 110 mahasiswa dan pegiat sastra muda dari sejumlah daerah berkumpul bersama para penulis novel dan sastrawan. Selain Eka Kurniawan, hadir di antara mereka nama-nama seperti F Rahardi, Iman Budi Santosa, dan sastrawan Semarang, Eko Tunas.
Literasi tepian
KLM dirintis Sigit Susanto (53) dan Heri Candra Santoso (33). Awalnya, Sigit yang juga seorang penulis buku dan tinggal di Swiss prihatin melihat rendahnya akses literasi di kampungnya. Medio 2004, sembari pulang kampung, dia membangun perpustakaan kecil-kecilan di rumahnya di Desa Bebengan, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal.
”Lantas saya berpikir, perpustakaan mestinya hanya jadi wadah kegiatan, tetapi harus ada penggeraknya,” ujar penulis buku Menyusuri Lorong Dunia tersebut.
Adalah Heri, lulusan Fakultas Sastra dan Bahasa Undip Semarang, yang akhirnya digandeng Sigit menggerakkan aktivitas literasi di desa mereka pada 2007. Mereka membentuk KLM yang aktivitasnya dipusatkan di perpustakaan Pondok Maos Guyub rintisan Sigit.
Mereka mengumpulkan pelajar SD, SMP, hingga SMA untuk bersama membaca karya sastra dalam program reading group, yakni membaca karya sastra bersama-sama. Biasanya diadakan setiap Sabtu sore diikuti 10-15 pelajar dan masyarakat umum. Ada dua novel yang dibaca bersama, yakni Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan The Old Man and the Sea karangan Ernest Hemingway. Aktivitas itu difasilitasi seorang pendamping yang biasanya mahasiswa jurusan sastra.
Dalam setiap pertemuan, mereka bergantian membacakan setiap kalimat dalam novel. Selanjutnya, bersama pendamping, setiap kalimat dicari maknanya.
”Menariknya, untuk novel The Old Man and the Sea yang berbahasa Inggris, anak-anak justru lebih semangat. Secara tidak langsung, mereka sambil belajar bahasa Inggris,” kata Sigit.
Melalui tulis-menulis, anak-anak didorong mengenal lebih dalam daerahnya. KLM, misalnya, sejak 2008 juga rutin mengadakan Sastra Sepeda. Dalam kegiatan ini, anak-anak dengan mengendarai sepeda mengunjungi obyek-obyek, seperti pasar hewan, pabrik genteng, pabrik teh, goa peninggalan Jepang, dan hutan karet.
Di tempat-tempat itu, anak-anak diminta mengamati obyek, mewawancara, lalu menuliskan apa yang mereka anak dapatkan dari pengamatan itu dalam buku tulis. ”Tentu anak-anak SMA sudah menulisnya dalam sebuah catatan perjalanan. Namun, yang SD-SMP, ditulis apa adanya, bahkan ada yang hanya menggambar,” kata Heri.
Dari kegiatan itu, lahirlah buku berjudul Kumpulan Catatan Perjalanan Sastra Sepeda di Boja yang diterbitkan secara mandiri oleh Lereng Medini Pers. Sudah ada belasan buku yang telah diterbitkan komunitas ini.
Kemah sastra
Tidak hanya anak-anak, Komunitas Lereng Medini juga aktif menggelar diskusi, bedah buku, dan bedah naskah serta mengirimkan karya untuk diikutsertakan dalam perlombaan dan media massa. Program-program berskala luas mulai digelar, seperti Hajatan Sastra dan Bahasa setahun sekali untuk memperingati bulan bahasa. Mereka juga menggelar Parade Obrolan Sastra, cikal bakal Kemah Sastra.
”Kami mulai mendatangkan sastrawan dan penulis buku. Tujuannya supaya para peminat sastra di level kampung seperti kami tidak rendah diri dan bisa langsung mendapatkan masukan dari mereka yang sudah malang melintang di dunia sastra dalam suasana sederhana,” ucap Heri yang juga jurnalis tersebut.
Namun, agar lebih berkesan, sejak tiga tahun terakhir, Heri dan Sigit mengubah Parade Obrolan Sastra menjadi Kemah Sastra. Jika Parade Obrolan Sastra digelar sepekan penuh, Kemah Sastra dihelat tiga hari pada akhir pekan. Penyelenggaraan pun dipindah dari Pondok Maos Guyub ke kompleks kebun teh Medini yang hanya berjarak sekitar 3 kilometer.
Sastrawan Iman Budi Santosa mengapresiasi gerakan literasi yang dilakukan KLM. Baginya, KLM telah membumikan sastra ke pelosok kampung. Mengubah paradigma bahwa sastra merupakan klaim kalangan elite.
”Sastra itu bukan hanya yang di pentaskan atau ditampilkan di gedung-gedung megah. Dia ada di mana-mana. Itu adalah produk budaya di sekitar kita,” ucapnya.
KLM terus mengembangkan ruang-ruang literasi. Terakhir, pada 2014, mereka membangun Taman Sastra Guyub di lahan seluas 2 hektar milik Sigit. Di lahan itu, dibangun tiga rumah pohon, perpustakaan pohon, gudang buku, dan tujuh gazebo kaca. Ruang-ruang itu disediakan agar kegiatan membaca buku dan berdiskusi lebih menyenangkan.
”Kami tidak muluk-muluk menginginkan lahirnya sastrawan dari komunitas kami. Namun, setidaknya, dari kegiatan-kegiatan ini, semakin banyak orang mencintai sastra,” ujar Heri. (Gregorius M Finesso)