Blora
BLORA dan nama itu segera mengingatkan pada hutan jati. Tanahnya yang berkapur dan iklimnya yang termasuk kering mendorong pemerintah kolonial menanam pohon yang kayunya bernilai ekonomi tinggi itu.
Melalui deretan pohon jati yang kanpoinya saling bersentuhan menjelang senja membangkitkan imajinasi apa saja yang berada di dalam hutan tersebut saat gelap semakin merayap. Entah berapa banyak pekerja yang dipaksa membangun hutan tanaman di sana pada masa penjajahan. Tak tersedia lampu jalan sehingga sorot lampu mobil dan serpihan cahaya bulan seperempat saja yang menemani.
Banyak cerita berbau mistis menyelimuti tegakan jati-jati Blora. Salah satunya dari hutan jati di Todanan. Cerita ini menyebar dari mulut ke mulut dan akan diceritakan kepada orang yang baru pertama kali berkunjung ke Todanan.
Sekitar empat tahun lalu sebuah bus penuh penumpang dan satu truk pengangkut semen yang berjalan malam hari melalui jalan utama yang membelah hutan jati entah bagaimana bisa berada di tengah tegakan jati tanpa mengusik pohon-pohon yang ada. Semua penumpang terlelap sampai keesokan paginya mereka terkejut.
Sopir tak dapat menjelaskan mengapa bus yang dia kemudikan berada di antara tegakan jati. Penduduk juga tak kurang terkejutnya. Bus dan truk akhirnya bisa keluar dari hutan jati dan kembali berada di jalan raya dengan bantuan penduduk. Beberapa pohon terpaksa ditebang.
Jati mengisi sekitar 48 persen luas Kabupaten Blora yang 1.820,588 kilometer persegi. Dalam perjalanan darat dari Kota Blora, ibu kota kabupaten, menuju Kecamatan Todanan di ujung barat atau ke Kecamatan Cepu di bagian timur, masing-masing sekitar 40 menit, deretan pohon jati menghiasi beberapa penggalan perjalanan melalui jalan utama. Tak sedikit yang usianya lebih dari 100 tahun dengan diameter lebih dari tiga meter.
Meski demikian, jati belum memberi kemakmuran bagi masyarakat setempat. Hutan tanaman ini berada di lahan kelolaan Perum Perhutani dan masyarakat dilarang menyentuh hutan jati yang sebagian difungsikan juga untuk menjaga serapan air hujan dan mencegah longsor.
“Penduduk miskin umumnya tinggal di sekitar hutan jati. Kami sudah berkomunikasi dengan Perhutani untuk mendapat izin membuat jalan membelah hutan jati. Kami juga ingin bekerja sama mengembangkan wisata di beberapa bagian hutan jati,” jelas Wakil Bupati Blora Arief Rohman. Masalah pencurian kayu jati menjadikan Perhutani berhati-hati membuka akses ke hutan jati.
Kabupaten di Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Timur itu dapat dicapai dari Jakarta dengan pesawat terbang yang mendarat di Semarang dan dilanjutkan perjalanan darat sekitar tiga jam. Pilihan perjalanan bisa lewat utara melalui Pati atau melalui jalur tengah melewati Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan. Alternatif lain melalui Surabaya, tetapi membutuhkan perjalanan darat sekitar 4-5 jam. Pilihan lain menggunakan kereta api cepat dan turun di Cepu yang berada di sisi timur Kabupaten Blora.
Blora kini tengah berbenah diri menjadi daerah tujuan wisata. Ada banyak tempat menarik di Blora, kulinernya juga membangkitkan keinginan untuk mencoba, seperti sate khas Blora, soto klethuk yang mendapat namanya dari taburan irisan singkong goreng, pecel, hingga lontong opor ayam Pak Pangat di Desa Ngloram Kecamatan Cepu, yang pedasnya bikin keringat bercucuran.
Sebagai daerah yang menjadi pusat kebudayaan tua, Blora menyimpan sejumlah situs sejarah. Situs di Desa Jipang , Kecamatan Cepu, diyakini merupakan pusat Kadipaten Jipang, tempat Adipati Arya Jipang atau Arya Penangsang. Kadipaten ini dulu berada di bawah Kesultanan Demak.
Kita tahu dari pelajaran sejarah betapa berdarahnya perebutan kekuasaan antara Jipang, Demak, dan Pajang pada abad ke-15. Arya Penangsang membunuh sunan ketiga Demak karena membunuh ayah Penangsang dan di sendiri menjadi raja kelima Demak. Arya Penangsang kemudian tewas di tangan orang-orang suruhan Sutawijaya, penguasa Pajang. Bekas kadipaten tersebut kini menjadi tanah persawahan rakyat, tetapi cerita tentang Arya Jipang tetap hidup dan ditandai oleh petilasan Kadipaten Jipang.
Tentu saja kita tidak bisa melewatkan kunjungan ke rumah kelahiran penulis tetralogi Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer, di Jalan Sumbawa, Kota Blora. Adik Pram, Soesilo Toer (80), kini menjaga perpustakaan itu bersama istri dan putranya.
Waktu 24 jam cukup memadai untuk awal menjelajahi Blora dan Cepu bila tidak punya terlalu banyak waktu.
Kamis, 29 Juni
14.00 Opor Ngloram
Perjalanan dari Kota Blora menuju Cepu melalui jalan provinsi yang membelah hutan jati. Tujuan adalah warung lontong opor “Pak Pangat” di Desa Ngloram. Meski bernama Pak Pangat, yang paling menentukan keberhasilan rumah makan ini adalah Sutinah Supangat (50), istri Pak Pangat. Rasa lontong opor ini gurih karena santan dan memakai ayam kampung, tetapi sekaligus ringan. Yang menambah sulit melupakan rasa opor Ngloram adalah rasa pedas dari cabai rawit kuning utuh dan memasaknya yang memakai kayu bakar. Jangan lupa memesan lebih dulu sebelum datang atau akan ditolak.
16.30 Wisata Edukasi
Sumur minyak Desa Ledok, Cepu. Untuk memasuki kawasan sumur-sumur tua yang sebagian dioperasikan koperasi milik rakyat dan sebagian oleh perusahaan swasta kerja sama operasi (KSO) dengan Pertamina, perlu izin khusus. Di Desa Ledok, Kecamatan Sambong ini terdapat 251 sumur. Setelah Pertamina menganggap tak lagi menguntungkan dan menghentikan operasi, warga setermpat akhirnya dibolehkan mengambil minyak dari sumur-sumur tua di sana. Caranya sederhana.
Pipa panjang yang ujungnya berfungsi mirip timba dimasukkan ke dalam lubang, menekan katup penutup dan minyak menyembur ke atas dan dialirkan ke lubang penampung. Sedangkan sumur yang dioperasikan KSO PT Geo Cepu Pertamina menggunakan pompa angguk yang bekerja 24 jam.
Sumur-sumur ini berada di kawasan hutan lindung yang dikelola Perhutani. Suasana senyap melingkupi. Ketua Badan Perusyawaratan Desa Ledok Suntoro (66) menjelaskan, yang pertama kali menemukan minyak (lantung dalam bahasa setempat) adalah Pengeran Jati Kusumo pada abad ke-16 saat mencari pusaka milik Kesultanan Pajang yang hilang. Ketika hendak salat magrib dia menancapkan tongkat ke tanah dan saat tongkat dicabut keluar cairan lantung.
Masyarakat setempat menyebut lubang pertama itu Sumur Magung, ditandai dengan bangunan kecil terbuka beratap cungkup. “Sumur” inilah yang menjadi petunjuk bagi pemerintah kolonial Belanda ada minyak mentah di Ledok. Tahun 1870 Belanda menggali sumurnya yang pertama dan tahun 2004 warga menimba kembali sumur itu yang ternyata masih menghasilkan minyak.
18.00 Desa Adat Sedulur Sikep
Perkampungan masyarakat adat Samin atau Sedulur Sikep, Dukuh Blimbing, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, berpenghuni 600 keluarga sangat bersih. Tak terlihat satu pun sampah tercecer. Jalan desa diberi bata conblock, jarak antarrumah lebar dan letaknya teratur. Kandang kambing dan kandang sapi tidak mengeluarkan bau tak sedap kotoran.
Di sini kita bisa menginap di rumah penduduk dan belajar membatik dengan corak khas bergaya naïf mengambil bentuk hewan dan tumbuhan dalam warna cerah di atas latar hitam. Tinggal bersama penduduk sambil belajar kearifan lokal adalah daya tarik desa ini.
Ketua Peguyuban Kerukunan Sedulur Sikep di Indonesia Pramugi Prawiro Wijoyo (60) dengan sudut pandang berbasis kearifan lokal bersedia menjawab semua pertanyaan kritis.
20.00 Sate Blora
Sate ayam dan sapi “Pak Daman” di Jln Sindoro, Kota Blora, dianggap sebagai sate Blora yang orisinal. Pak Daman membuka tempat makannya 26 tahun lalu dan sejak enam tahun terakhir dikelola putrinya, Mutia (32). Sate ayamnya terasa manis karena diberi bumbu kecap sementara sate sapi dibiarkan polos. Yang unik, makan sate di Blora tidak berdasarkan porsi melainkan dari berapa tusuk sate yang kita makan. Di sini kejujuran konsumen diuji.
Jumat, 30 Juni
10.00 Gua Terawang
Gua Terawang di Desa Kedungwungu, Kecamatan Todanan, berada di kawasan hutan jati Kawasan Pemangku Hutan Blora. Gua batuan karst ini mendapatkan namanya karena cahaya matahari yang masuk melalui lubang-lubang menganga di langit-langitnya menghasilkan cahaya yang memberi kesan menerawang. Waktu paling baik datang ke goa ini adalah pukul 09.00-10.00 dan pukul 15.00-16.00. Gua yang terbentuk dari batuan kapur selama jutaan tahun itu cukup luas, memiliki enam kamar yang buntu. Gua ini menjadi favorit para fotografer yang berburu obyek foto khas.
Kompleks gua seluas 13 hektar ini dikelilingi pohon jati tua, termasuk yang berusia 102 tahun. Keliling batang jati itu sekitar empat pelukan tangan orang dewasa. Kawanan kera menjaga di dekat mulut gua, meski mereka tidak sedekat kera di Sangeh dalam berinteraksi dengan manusia. Sayang fasilitas di obyek wisata ini belum memadai, terutama jalan setapak di dalam gua yang berupa tanah basah dan licin.
12.00 Perpustakaan Pramoedya
Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) di Kota Blora kondisinya memprihatinkan. Koleksi buku, foto, dan beberapa benda milik Pramoedya, Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer, adik-adik Pram, ditumpuk seadanya di meja dan rak di ruang utama. Buku-buku karya dan koleksi Pram disimpan di sebuah lemari di ruang dalam, juga disusun seadanya.
Selalu saja ada yang datang untuk mempelajari pemikiran dan karya Pram. Menurut Soesilo Toer yang menunggu Rumah Pataba itu, beberapa waktu lalu ada wartawan dari Jepang berkunjung, bertanya tentang perjalanan hidup Pram.
Soesilo yang doktor lulusan Universitas Plekhanov, Rusia, ini juga menulis buku, di antaranya tentang Pram dan keluarga Toer. “Pram menulis tetratologi, saya membuat pentalogi,” papar Soes, panggilannya, diiringi tawa. Dia juga ingin hidup lebih lama dari usia yang dicapai Pram yang meninggal pada usia 81 tahun lebih hampir tiga bulan.
13.15 Soto Blora
Soto klethuk “Pak Galo” di Jl Sindoro, Kota Blora, mendapat namanya dari taburan irisan singkong yang digoreng kering. Saat menyantap soto berbahan ayam kampung ini dan tergigit kepingan singkong goreng itu akan keluar bunyi kletuk-kletuk. Almarhum Pak Galo disebut sebagai yang mengawali soto klethuk dan kemudian diikuti sejumlah penjaja soto.
Blora memang masih akan mengandalkan perekonomiannya dari pertanian seperti selama ini Sebagai daerah yang sudah masuk dalam percaturan sejarah menjadi Indonesia sejak abad ke-15, Blora memiliki potensi wisata alam dan budaya. Pariwisata yang fasilitas pendukungnya sedang terus dikembangkan diharapkan suatu saat akan menghapus kemiskinan dari Blora.