Lahir dan Hidup dari Dangdut
Pukul 10.00, Aliya (29) masih duduk santai di kursi teras rumahnya. Rambut panjangnya yang disemir merah tergerai. Matahari terik menerpa deretan jemuran yang menggantung di sisi samping rumahnya di daerah Jampang Prapatan, Kemang, Kabupaten Bogor. Berbalut handuk di bagian pinggangnya, kemudian penyanyi yang dikenal dengan nama Lia Owyeah di panggung dangdut itu pun bersiap mandi.
Di rumah itu, Lia tinggal bersama ibunda, seorang adik, dan anak tunggalnya Romeo Mulia Pratama (13). Suaminya telah lama pergi. Lia pun banting tulang bernyanyi dari panggung ke panggung untuk mencari nafkah.
Selesai mandi, handuk kuningnya pun melingkar di kepala seolah memeluk rambutnya yang basah setelah kramas. Dibantu sang ibu, Lia memilih-milih 2 pasang sepatu hak tinggi dan 3 buah gaun untuk pentas malam nanti dari lemari yang terletak di ruang tamu. Pagi itu, Lia sarapan mi goren instan yang dibuatkan ibunya. “Tadi sarapan mi saja karena ibu belum sempat masak,” kata Lia yang tidak makan makanan khusus untuk menambah tenaga guna tampil berjam-jam di atas pentas.
Kemudian, di kamarnya berukuran sekitar 2 meter x 2 meter, Lia pun merias wajah. Dia mengleskan sunblock dan mulai melukis alis dengan cermat dan hati-hati. “Kalau buat pentas siang ini, saya pakai sunblock dan make up sederhana saja,” kata Lia, Minggu (2/7).
Sekitar pukul 11.30, Lia pun berpamitan kepada ibu dan anaknya untuk berangkat manggung bersama Grup Musik Dangdut SK Zedag Zedug di acara sunatan di Kecamatan Teluk Naga, Tangerang. Grup tersebut manggung sejak pukul 14.00 hingga pukul 17.00, dan dilanjutkan pukul 08.00 hingga pukul 01.00 dini hari. Lia berangkat menggunakan mobil Nissan March warna putih ditemani temannya Caunk (39). “Mobilnya masih kredit, Mas,” ujarnya.
Lia mengisahkan, dirinya sudah suka dan kenal dengan musik dangdut sejak kecil. Saat itu, almarhum ayahnya adalah teman dari Supardi sebagai pemimpin grup musik Dangdut SK Zedag Zedug. Saat SD dan SMP, Lia rajin mendengarkan kaset dangdut dan mencatat lalu menghafalkannya. “Saya belajar sendiri. Otodidak saja karena sering mendengarkan dangdut,” katanya.
Sebelum bergabung dengan grup tersebut setahun terakhir, Lia adalah penyanyi freelance di sejumlah grup musik. Selain itu dia juga sudah berkeliling daerah luar Jawa seperti Kalimantan dan Sumatera untuk manggung dalam rangka kampanye di pemilu.
Menurut Lia, orangtuanya sangat mendukung dirinya bernyanyi dangdut. Hal itu ditunjukkan dengan kesetiaan almarhum ayahnya yang mengantar Lia menggunakan sepeda motor untuk manggung di sekitar Jabodetabek. “Bapak bahkan pernah jatuh dari motor. Lalu lumpuh 8 tahun dan kemudian meninggal. Setelah bapak meninggal, saya dianter umi naik angkot untuk manggung,” katanya.
Lia mengatakan, dalam sebulan rata-rata dia manggung sebanyak 15 kali. Sekali manggung, minimal dia membawa pulang uang Rp 1 juta, bahkan kadang lebih tergantung seberapa banyak orang memberikan saweran. Pemasukan itulah yang membuat Lia bertahan hidup bersama keluarganya. Mobil sengaja dibelinya secara kredit karena menurut Lia, hal itu memudahkan dia pergi manggung. “Sebelum ada mobil, saya naik motor. Kalau pulang malam kadang takut. Pernah saya dijambret,” katanya.
Selain untuk kebutuhan keluarga, kata Lia, uang hasil manggung juga digunakan untuk mendukung penampilannya. Misalnya per bulan dia perlu belanja kostum baru minimal 3 buah dengan anggara Rp 4,5 juta per bulan. “Untuk make up sekitar Rp 1 juta per bulan. Perawatan wajah seperti totok wajah dan ke salon Rp 1,2 juta per bulan,” paparnya.
Mencari nafkah dari dangdut juga dilakoni Eliz Alycia (26). Dia sejak kecil telah akrab dengan dangdut karena di rumahnya, ayah dan ibunya sering menyetel musik dangdut. Setelah lulus SMA pada 2009, Eliz menang juara dangdut di salah satu radio dan namanya makin dikenal penggemar dangdut. Dia pun menekuni dunia dangdut dengan manggung dari pentas yang satu ke pentas yang lain.
Dengan penghasilan sekitar Rp 30 juta per bulan, kata Eliz, dia bisa memenuhi kebutuhan keluarganya serta berbelanja keperluan pementasan. Misalnya, untuk kostum, Eliz memerlukan biaya Rp 2 juta hingga Rp 3 juta per bulan. Perawatan ke salon, perawatan wajah dengan suntik botox mencapai Rp 16 juta per tahun.
Di Grup Musik Dangdut SK Zedag Zedug, ada pula seorang penyanyi remaja yang baru saja lulus SD. Dia adalah Amanda (12). Amanda mengatakan, dirinya suka dangdut sejak kelas 3 SD dan belajar dari ibunya yang juga penyanyi dangdut keliling. Meski masih bersekolah, Amanda mengaku dangdut tidak mengganggu kegiatan belajarnya. “Kalau manggung saya maksimal sampai jam 22.00 saja dan selalu bawa buku pelajaran untuk dibaca di sela-sela waktu pentas,” katanya.
Amanda mengaku, uang yang didapatnya dari sekali pentas minimal Rp 350.000 di luar saweran. Ayah Amanda bekerja sebagai tukang ojek. Uang itu, katanya, untuk membantu ekonomi kedua orangtua. “Uangnya buat makan, sekolah, dan juga beli baju dan make up,” kata Amanda yang setiap kali berangkat manggung diantar oleh pamannya.
Baik Lia, Eliz, maupun Amanda sama-sama terlahir dari lingkungan penggemar dan suka dangdut. Mereka tidak pernah mengenyam pendidikan khusus tarik suara. Mendengar dan melihat lalu mencoba langsung adalah pengalaman dan guru bagi mereka. Beberapa penyanyi yang beruntung dapat bergabung dengan akademi dangdut yang digelar di stasiun televisi. Setelah bergabung di Grup SK Zedag Zedug, mereka rutin berlatih bersama para pemain musik seminggu sekali setiap hari Kamis.
Menurut Eliz, sampai saat ini dangdut masih eksis karena adanya tali silahturahmi antara pemilik grup, penyanyi, juga penggemar seperti yang terjadi pada Sabtu (1/7) di mana mereka semua berkumpul untuk silahturahmi dalam suasana Idul Fitri. Adapun menurut Lia, dangdut digemari karena hiburan itu orang-orang membutuhkan hiburan yang dapat menggoyang. “Dangdut digemari banyak orang karena menghibur dan membuat orang bergoyang,” ujar Lia. (Megandika Wicaksono)