Penampung Cerita Kenangan Jay Subyakto
Kesan pertama yang akhirnya menjadi magnet terkuat bagi Jay Subyakto (57) untuk membeli dan tinggal di rumah itu adalah keteduhan rumah ditutupi dedaunan pohon merambat yang lebat terawat. Dinaungi serta dikelilingi hijau dedaunan, Jay menebar banyak kisah di rumah yang dibangun melalui benda-benda seni dan antik khas Nusantara yang dikoleksinya.
Ketika saya menata artistik panggung, inspirasi-inspirasinya saya jumpai dari benda-benda antik ini. Ini lampu gantung dari Aceh dan Padang. Bentuknya artistik, pernah menjadi inspirasi saya dalam suatu penataan panggung," kata Jay, Sabtu (22/7), di rumahnya di kawasan Jati Padang, Jakarta Selatan.
Bagi Jay, rumah dan seisinya selalu ada cerita. Rumah bukan sekadar untuk rehat, pergi, pulang, rehat, pergi, dan seterusnya. Rumah untuk menampung cerita. Rumah untuk membangun kenangan. Kenangan dihadirkan melalui perjumpaan dengan benda-benda antik.
"Dalam penataan artistik panggung, saya selalu berusaha menggali inspirasi dari benda-benda antik yang saya kumpulkan di rumah. Lebih khusus lagi, benda-benda antik itu berasal dari Nusantara. Kita memiliki kekayaan seni yang luar biasa," tutur Jay.
Lampu gantung dari Aceh dan Padang itu digantung persis di atas meja makan panjang di tengah ruang. Di antara lampu-lampu itu ada pula yang berasal dari luar negeri, yaitu India dan Nepal, yang tak kalah antik.
Dari deretan lampu gantung, ada pula kandang burung berukuran cukup kecil. Kandang burung antik itu dibeli Jay di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Dari sebuah meja saji yang menempel di dinding, benda-benda antik lain terpajang. Di situ ada papan-papan reklame kuno. Ada pula papan dengan gambar kesatria wayang orang. Papan itu dari sebuah reklame toko emas pada masa lalu.
Di kabinet di atas meja saji dan pantry terdapat instalasi seni karya Jay berupa tulisan "Who is The Pithecanthropus Behind Pollycarpus?". Karya seni ini pernah ditampilkan dalam pameran seni di Jakarta untuk merespons peristiwa terbunuhnya aktivis kemanusiaan Munir.
Dari ruang makan saja sudah hadir narasi yang panjang. Itulah Jay. Ia lulusan pendidikan arsitektur Universitas Indonesia. Selain ahli di bidang penataan artistik panggung, Jay juga sutradara film. Film terbarunya berjudul Banda: The Dark Forgotten Trail akan dirilis pada 3 Agustus 2017.
"Banda itu titik nol Indonesia, titik pertama genosida, titik nol kolonialisme Barat di Nusantara. Dari Banda, Indonesia sejak dulu diincar dan dijarah kekayaan alamnya oleh bangsa lain sampai sekarang," kata Jay.
Film itu berkisah tentang sejarah Nusantara yang kaya rempah, yang akhirnya mengundang imperialisme dan kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa. Penjelajahan bangsa Eropa menuju Nusantara menghadirkan jalur rempah yang penuh kisah.
"Untuk membuat film ini, saya meriset banyak naskah tentang Banda, termasuk catatan Mohammad Hatta sewaktu dalam pengasingan di Banda," ujarnya.
Dari catatan Hatta di Banda, Jay menemukan cerita menarik. Hatta pernah mengecat sebuah kapal dengan warna merah dan putih. Serdadu Belanda curiga akan simbol kebangsaan merah putih tersebut.
Hatta pun menjawab, ketika ada di laut, kapal akan bertemu warna laut yang biru. Akhirnya, kapal itu membentuk warna merah putih biru, tak lain warna bendera Belanda. Serdadu itu pun bungkam.
"Melalui film Banda, melupakan masa lalu sama dengan mematikan masa depan," ucap Jay.
Selain mengoleksi benda-benda antik yang dikumpulkannya sendiri, Jay juga menyimpan beberapa lukisan maestro yang pernah dikoleksi ayahnya, R Soebijakto (1917-1999), mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (1948-1959). Lukisannya antara lain karya Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Srihadi Soedarsono.
Bentuk sederhana
Selain naungan dedaunan pohon merambat, Jay juga terkesan terhadap rumah karya arsitek Antony Liu dan Ferry Ridwan ini karena bentuknya yang sederhana. Setiap ruang berbentuk persegi panjang. Dinding terluar rumah tidak terbuat dari batu bata, tetapi kaca transparan.
Rumah dibangun di atas lahan seluas 420 meter persegi. Rumah dua lantai ini memiliki luas 320 meter persegi. Jay bersama sang istri, Elvara Jandini, dan anaknya, Kaja Anjali, menghuni rumah itu lebih dari tiga tahun.
Masuk dari garasi mobil, sudah terasa teduh oleh rimbun dedaunan pohon merambat. Lukisan ukuran besar karya Eko Nugroho dipajang di dinding belakang garasi. Di sisi kanan ada lorong masuk menuju ruang tamu.
"Ruang tamu ini sekaligus ruang keluarga," ujar Jay.
Di ruang berdinding kaca itu terdapat batang pohon rambutan berdiameter sekitar 60 sentimeter. Pohon itu ternyata dipertahankan tetap hidup, tumbuh menembus lantai dua dan atapnya.
"Kalau pas berbuah, rambutannya sering jatuh ke atap. Suaranya keras," katanya.
Jay menunjukkan tembusan batang pohon rambutan tersebut di lantai dua, persisnya di teras kamar tidur utama.
Jay juga piawai melukis sketsa wajah. Di ruang tidur utama terpampang sketsa wajah istri dan anaknya dalam ukuran besar. Jay mengatakan belajar melukis sketsa secara otodidak. Ia mencintai seni berkat dorongan dari ayahnya.
Di rumah Jay ada lagi batang pohon lain yang dipertahankan tumbuh menembus lantai dua. Letaknya persis masuk ke kamar mandi di lantai dua. Ukurannya hampir separuh dari batang pohon rambutan di ruang tamu.
"Kalau ada angin kencang, pohon-pohon itu sedikit bergerak tertiup angin," kata Jay.
Kamar mandi di lantai dua cukup lengang. Sampai-sampai di dalamnya dipajang karya seni patung religius berupa patung Yesus disalib. Yesus berambut cepak dan keriting serta mengenakan koteka.
"Saya menyukai karya seni patung ini karena bernuansa religius," ucapnya.
Karya seni patung bertema sama juga ada di ruang tamu lantai satu, yaitu seni patung karya Noor Ibrahim. Di sana ada figur orang disalib hingga terkulai dan bergelantungan hanya dengan satu tangan terpaku. Masih ada satu lagi seni patung bertema senada berupa helm Yesus bermahkotakan duri karya Antonio Sinaga.
"Ada tamu saya dari negara lain melihat karya-karya seni patung ini. Pada saat Natal, mereka mengirimkan ucapan selamat Natal, padahal saya tidak merayakan Natal," ujar Jay.
Dalam mengoleksi karya seni, Jay menangkap kesan religius tanpa memandang sekat agama. Ini salah satu kisah harmoni yang dibangun dari dalam rumahnya.
Jay menempatkan seni patung karya Noor Ibrahim di ruang tamu, sedangkan karya Antonio Sinaga ada di ruang kerja. Selain koleksi buku, ruang kerjanya juga dipenuhi koleksi benda antik dari sejumlah wilayah di Indonesia ataupun dari luar negeri.
"Di sinilah ruang untuk mengumpulkan ide untuk karya-karya seni saya," kata Jay.
Mengenai lingkungan di sekitar rumahnya, ia merasa nyaman dengan adanya banyak pohon dan hewan liar, seperti bajing atau tupai. "Pohon randu yang besar itu menjadi rumah bagi bajing," ungkapnya.
Sebuah pohon randu besar tumbuh tidak jauh dari rumahnya. Pohon itu tumbuh di tanah kosong yang dijadikan taman dan ladang sayuran.
Jay menemukan ruang nyata yang terindah. Di situlah Jay menebar ragam kisah ke dalam rumah yang teduh diselimuti dedaunan.