Mata-mata Versus Monster
”Bete gue, pagi-pagi udah diceramahi nyokap soal gay. Panjang banget chat-nya di Line. Gue langsung end chat,” kata Willy (28), bukan nama sebenarnya, di dalam mobil yang meluncur meninggalkan penginapan untuk jalan-jalan keliling Sydney. Willy adalah salah satu pemain band dari Indonesia yang diundang rekaman dan manggung di Sydney. Dengan wajah cemberut, dia memaparkan kejengkelannya merasa dimatai- matai ibunya yang lalu berujung pada larangan ini-itu, termasuk guyonan tentang gay tadi. Hampir sehari penuh dia mengungkit ”ceramah” ibunya itu.
Sejak hari pertama hingga ketiga di Sydney pagi itu, Willy dan rekan-rekannya kerap bercanda dengan teman gay meskipun sejatinya Willy adalah pria penyuka perempuan cantik. Namun, guyonan soal gay tadi sampai di-posting di Instagram sehingga ibunya, Jamilah (53), panggil saja demikian, akhirnya tahu.
Selama sepekan di Sydney, Willy dan rekan-rekannya kerap bikin Instagram live untuk menyapa para follower di Indonesia. Lagi-lagi, dia mendapati ibunya ikut melihat live itu.
Jamilah merasa yang ia lakukan sebenarnya hanya untuk memastikan bahwa anaknya baik- baik saja. Dia menilai Willy bukan tipe orang ekspresif, yang memperlihatkan atau mengatakan dia sedang senang atau bosan dengan keadaan. Ketika terpisah lebih dari 5.000 kilometer dari Jakarta, dia ingin tahu keadaan anak sulungnya. ”Lihat foto-fotonya bersama teman-temannya di Instagram, kan, bisa tahu dia sedang apa,” kata Jamilah.
Jamilah juga melihat akun media sosial beberapa teman serombongan Willy. Suatu saat Jamilah melihat foto teman-temannya berpose bareng, tetapi minus Willy. Dia lalu bertanya kepada Willy, kok dia tak ikutan.
Guyonan soal gay bagi Jamilah terlalu berisiko. Bisa-bisa orang lain salah paham dan menganggap serius yang nanti berujung tidak baik.
Willy sebenarnya tidak selalu jengkel diawasi orangtuanya. Baginya, itu bentuk lain dari kasih sayang. ”Seneng soalnya, ya, masih diperhatiin dan di-support. Bete-nya, males aja terlalu dikepoin (ingin tahu). Ha-ha-ha,” ungkap Willy.
Menjauhkan yang dekat
Presenter dan pembawa acara Erwin Parengkuan (47) berpedoman pada nasihat Bill Gates, bos Microsoft, untuk memberikan gawai pertama kali kepada anak saat usianya 14 tahun. Untuk anak pertama (18), Erwin mengizinkannya memiliki ponsel ketika kelas II SMP atau berumur sekitar 14 tahun. Untuk anak kedua (15), Erwin memberikan gawai padanya saat kelas I SMP.
”Nah, adiknya yang masih 11 tahun sekarang sudah merengek minta handphone. Itu karena peer pressure. Teman-teman dia semua mulai pegang HP. Ini jadi racun. Tentu saya bilang enggak boleh. Kalau mau main pakai HP papa saja, saya bilang,” tuturnya.
Namun, tak mudah meyakinkan anak-anak sekarang untuk tidak bermain dengan gawai. Erwin pun harus memberikan penjelasan panjang lebar supaya anaknya mau mengerti.
Persoalan terkait gawai yang sering dialami Erwin juga terkait gim atau permainan. Suatu kali, dia melihat anak-anaknya bermain gim. Tiba-tiba ada gambar cewek berbikini yang lewat. Lalu ada meja dengan berbagai minuman keras di atasnya.
”Akhirnya gim itu saya ganti yang lain. Anak-anak tidak sadar dengan hal-hal seperti itu. Tentu saja anak-anak resisten. Saya harus pakai banyak pendekatan persuasif, sampai menceritakan kasus di Korea Selatan bahwa ada orang meninggal karena main gim, supaya mereka paham (gim) apa yang boleh mereka mainkan,” papar Erwin.
Sebagai ibu rumah tangga, Emylia (45) pun tak lepas dari persoalan gawai anaknya. Putrinya, kini, berusia 18 tahun. Emylia kadang merasa jengkel karena si anak sibuk dengan gawai.
”Lagi di mobil, diajak ngobrol, koksepi, enggak ada respons. Ternyata dia sedang mendengarkan musik pakai headset. Kadang tangannya sibuk, katanya sedang membalas chat,” ujarnya.
Terlalu gadget freak, istilah dia. ”Kalau bisa ditempel, mungkin handphone itu sudah ditempel di tangannya. Benarlah gawai itu mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat,” lanjut Emylia.
Apa yang terjadi di dunia dan media sosial tidak boleh lepas satu pun dari anak-anak muda itu. Mata selalu terpaku pada layar gawai. Apa yang terjadi di sekelilingnya seakan lenyap. Apalagi kalau sudah selfie, heboh banget, kata Emylia.
Mereka ibaratnya tidak bisa hidup tanpa sinyal di ponsel. Begitu tiba di suatu tempat, langsung bertanya kata sandi Wi-Fi.
”Ketika liburan di Sumbawa, sinyal sulit di sana. Gegerlah dia. Kayaknya, kok, enggak bisa kalau enggak update soal hidupnya. Padahal, kami (orangtua) asyik saja ngopi-ngopi cantik,” tuturnya.
Penyanyi Yuni Shara (45) menilai anak-anak zaman sekarang jauh lebih pintar secara teknologi walau cenderung pemalas. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam dengan gawai mereka, seperti menonton tayangan-tayangan di Youtube tentang banyak hal untuk mencari informasi terbaru.
Kebiasaan sama juga dilakukan kedua putranya yang kini beranjak remaja. Cavin (15) dan Cello (13), keduanya sama-sama gemar menggunakan gawai. Mereka juga gemar bermain game online di rumah bersama teman-temannya yang datang, terutama saat libur sekolah.
”Nanti mereka kalau ditanya sedang apa dan kenapa lama sekali melihat Youtube, mereka lalu menjawab, ’Ini knowledge, Bun (bunda)’. Cavin juga selalu bilang, dia bisa tahu banyak hal dari Youtube. Kebetulan dia tertarik menonton tayangan memasak dari chef terkenal dunia macam Gordon Ramsay,” ujar Yuni.
Tanpa dia tahu, tiba-tiba Yuni melihat si sulung sudah bisa memasak sendiri. Meniru tontonan tayangan masak-memasak di internet. Sementara si bungsu, menurut Yuni, lebih menyukai situs-situs pengetahuan umum, seperti National Geographic.
”Pandangan matanya tetap melihat ke arah gawai. Entah lagi di jalan atau saat sedang berkunjung ke tempat atau rumah keluarga. Buat saya, yang hasil didikan orangtua masa lalu, yang seperti itu pastinya dianggap tak sopan. Belum lagi melihat mereka sepanjang perjalanan asyik bicara dengan temannya lewat telepon, padahal sedang diajak mengobrol,” ujar Yuni.
”Monster” di rumah
Menurut Erwin, bagaimanapun orangtua tetap harus punya akses terhadap apa yang diakses anaknya di dunia digital. Sebenarnya bukan memata-matai, melainkan lebih kepada menjaga agar mereka tetap berada di jalur yang benar. ”Orangtua harus cerdas. Jika tidak, kita akan menciptakan ’monster’ di rumah,” katanya.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Sumaryono, menjelaskan, memata-matai merupakan cara dan ekspresi waspada serta sayang. Sepanjang tidak berlebihan, cara itu sehat. Hal yang perlu diingat, pengalaman generasi X dalam memandang kehidupan sudah teruji dan mampu menaklukkan kehidupan. Itu bisa digunakan sebagai referensi bagi generasi Y; yang terkadang masih melihat permasalahan dari satu sudut pandang.
Kolaborasi adalah prinsip bagus. Pasti suatu saat akan muncul saling pengertian. Bagi Sumaryono, kesenjangan komunikasi antara generasi Y dan X terjadi karena perbedaan kebiasaan cara mengatasi permasalahan. Generasi Y yang terbiasa dengan teknologi mampu menggunakan teknologi informasi untuk solusi hidup dan menggairahkan hidup. Sementara generasi X cenderung menggunakannya sebagai media komunikasi semata. Lambat laun penyesuaian akan terjadi. Tidak menjadi soal kapan kita lahir, yang penting ada hasrat mencoba memahami generasi yang berbeda dan berdamai dalam gawai.
(MOHAMMAD HILMI FAIQ/ WISNU DEWABRATA/FRANSISCA ROMANA Ninik)