logo Kompas.id
Gaya HidupJalan Buntu
Iklan

Jalan Buntu

Oleh
SAMUEL MULIA
· 4 menit baca

Buntu berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tertutup (tidak dapat terus tentang pintu, jalan, pipa, dan sebagainya); tertutup salah satu ujungnya (jalan, pipa, dan sebagainya); terhalang (oleh sekatan dan sebagainya); tersekat; tersuntuk (tentang akal, pikiran, dan sebagainya). Maka, istilah jalan buntu itu berarti jalan yang tidak ada terusannya (buntu atau tertutup) pada ujungnya atau masalah yang tidak dapat dipecahkan atau diteruskan hingga selesai.SempoyonganSeperti saya tuliskan dua minggu lalu, saya masih dalam keadaan terpuruk, bahkan sampai hari di mana saya menulis artikel ini. Tak hanya sudah terpuruk, sekarang mengalami jalan buntu. Kan katanya kalau terpuruk, saya harus bangkit lagi. Saya kemudian berusaha bangkit. Eh. setelah tak lama bangkit, dan mulai memasang strategi agar tak terpuruk lagi, saya mengalami jalan buntu. Waktu saya mau bangkit, ada saja kejadian yang membuat saya nyaris jatuh lagi. Seperti dalam pertandingan tinju. Mau berdiri dihajar lagi, mau berdiri dihajar lagi sampai sempoyongan.Maka, di suatu hari Minggu saya ke rumah ibadah. Entah mengapa setelah cukup lama absen, satu hari sebelum waktunya beribadah, saya berbicara dengan diri sendiri, kalau hari Minggu besok, saya akan mengikuti ibadah yang pertama. Ibadah pertama itu pukul 06.00, jadi harus bangun satu jam sebelumnya. Itu buat saya beratnya setengah mati. Yah. Anda tahu sayalah. Kalau untuk kebaikan, malasnya tak tertolong. Tetapi, hari itu saya seperti menjadi manusia yang berbeda dari biasanya. Saya ngotot bangun pagi, memasang weker supaya tidak terlambat. Singkat cerita, saya berhasil melawan rasa malas dan kantuk yang luar biasa. Bahkan, mandi sesubuh itu pun saya lakukan. Setibanya di rumah ibadah, saya duduk kemudian membaca tema khotbah hari itu. Saya kagetnya setengah mati ketika membaca tema khotbah itu. Bagaimana kalau hidup saya mengalami kebuntuan? Maka kemudian saya berpikir, jangan-jangan itu yang menyebabkan saya ngotot datang beribadah setelah absen yang cukup panjang. Nurani saya langsung nyeletuk. "Huh cukup panjang? Panjang banget kali.." Sepoi-sepoiWaktu saya membaca tema khotbah pagi itu, saya berbicara dalam hati. "Kok bisa pas banget ya dengan situasi yang tengah saya hadapi?" Penjelasan khotbah itu diakhiri dengan kalimat Tuhan itu tak pernah meninggalkan kita.Sepulang dari rumah ibadah, di dalam taksi yang membawa saya pulang, pikiran saya mulai melayang kepada sejuta peristiwa yang menghantam kehidupan saya dalam tiga bulan terakhir ini. Pada saat saya memikirkan semua itu, saya baru ngeh kalau belakangan ini dua teman saya tanpa mereka mengetahui keadaan saya sangat gencar mengirimkan pesan yang memberi solusi kalau sedang menghadapi jalan buntu. Itu adalah bentuk bantuan Yang Mahakuasa. Masalahnya saya tidak peka membaca bantuan-Nya. Mengapa saya tidak peka? Pertama, saya memiliki hubungan vertikal yang hidup tidak, mati pun tidak. Setengah hidup dan setengah mati. Saya itu menganggap kebutuhan doa dan memiliki hubungan vertikal yang intens itu kalau ada perlunya saja. Seperti pergi ke pasar swalayan. Kalau lagi kehabisan pasta gigi, baru beli. Kalau masih tersedia, ya. enggak usah pergi. Kalau lagi sehat walafiat dan berkecukupan doa saja seenaknya, nanti kalau lagi ada perlunya baru ngotot.Kedua, ketidakintiman itu membuat jarak yang renggang menjadi semakin renggang dan berakhir dengan lubang yang kosong. Dan lubang atau ruang kosong yang menganga itu dengan mudah diisi dengan kemampuan otak yang terbatas. Dan ketika sudah melampaui batas kemampuan otak, lahirlah jalan buntu dan berakhir dengan keterpurukan dan putus asa. Itu mengapa ketika hubungan vertikal itu suam-suam kuku, ruang kosong itu gampang sekali dimasuki dengan pemikiran manusiawi yang terbatas itu, dan mencari jalan keluar yang gitu deh.Mengapa hubungan vertikal itu penting? Karena membantu mencegah terjadinya ruang kosong yang menganga dan membantu melahirkan kepekaan. Untuk apa kepekaan itu? Untuk mendengar bantuan-Nya dan solusi yang harus dilakukan karena acapkali bantuan dan solusi-Nya hadir seperti angin sepoi-sepoi. Tak bisa didengar, tetapi dapat dirasakan. Merasakan itu membutuhkan kepekaan. Merasakan itu tak bisa dilakukan dalam kondisi yang ingar-bingar karena panik. Merasakan itu tak bisa dilakukan kalau ada jurang kosong yang menganga sangat besar dan memisahkan.Maka, istilah jalan buntu itu adalah istilah saya sebagai manusia yang menggunakan otaknya yang terbatas dan kemudian ambruk tak tahu harus bagaimana memecahkan masalahnya. Jalan buntu bukan istilah yang diciptakan Tuhan untuk umat-Nya. Ia adalah pembuka jalan di setiap keadaan sesuai dengan waktu-Nya dan dalam bentuk jalan-jalan yang berbeda dengan jalan yang saya harapkan. Satu hal yang harus saya lakukan adalah menggiatkan kembali hubungan vertikal itu sehingga ketika bantuan datang saya dapat mendengarnya dengan benar meski dengan suara yang sepoi-sepoi.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000