Berperan Tanpa Embel-embel
Reza Rahadian baru saja terpilih sebagai aktor terbaik dalam Festival Film Asia Pasifik 2017. Penghargaan tertinggi yang pernah ia raih. Namun, bagi aktor yang telah bermain di 38 film dan serial ini, penghargaan bukanlah motivasi terpenting dalam berakting. Meski demikian, penghargaan ini ia persembahkan untuk masyarakat (pencinta film) Indonesia.
Dalam balutan kemeja biru dan celana denim, Reza tiba di Redaksi Harian Kompas lebih awal dari yang dijanjikan. Entah bagaimana mulanya, pembicaraan langsung meluncur deras tentang keprihatinannya saat itu pada isu kontroversi permintaan penurunan patung di suatu daerah. "Dulu kita enggak pernah kayak begitu. Kenapa sekarang kita sulit menerima perbedaan?" katanya.
Obrolan kemudian beralih ke cerita tentang film-filmnya hingga pemikirannya tentang perlunya revisi Undang-undang Perfilman. Reza menginginkan kehadiran pemerintah untuk menjembatani kalangan perfilman demi membenahi kondisi yang masih kurang. Di tengah membaiknya kepercayaan terhadap film Indonesia yang ditandai dengan adanya 10 film dengan jumlah penonton di atas 1 juta orang tahun lalu, masih ada lubang-lubang yang menghambat perkembangan dunia film Indonesia.
Reza mengaku sebagai tipe pemikir. Segala sesuatu ia pikirkan mendalam. Beruntung kemudian ia berprofesi sebagai aktor yang menurut dia menjadi wadah yang sangat pas untuk menuangkan kesukaannya merenung dan berpikir. Kebiasaan lainnya adalah mengkhayal dan berimajinasi yang ternyata sangat membantunya mendalami karakter yang akan ia perankan.
Reza sering disebut "gila" oleh teman-temannya karena asyik ngomong sendiri ketika membayangkan gambaran tokoh yang akan ia perankan. Begitulah salah satu caranya menghayati peran, selain riset khusus, seperti wawancara atau membaca literatur. Sebagian besar risetnya tentang karakter tokoh sudah terekam dalam memorinya lewat kesukaan mengobrol dan berdiskusi.
"Saya orangnya suka mengkhayal, storytelling, ngobrol, mengamati orang. Kalau lagi ngobrol sama orang baru, saya bisa mengamati orang ini sampai bisa menemukan satu hal yang menarik darinya. Semua terekam di kepala saya seperti photographic memory dan suatu saat akan jadi referensi saya dalam memerankan tokoh tertentu,"? kata Reza.
Rambutnya yang mulai panjang bergelombang di satu sisi terayun-ayun. Ia minta izin menyantap siomay di hadapan. Sekotak kue yang dihidangkan sudah habis disantap. Wawancara langsung di sebuah stasiun televisi pagi-pagi membuatnya belum sempat sarapan.
Reza dikenal akan keandalannya berakting. Cukup banyak filmnya yang populer dan masuk jajaran film laris sehingga muncul komentar "dia lagi... dia lagi?" karena terkesan hampir semua film melibatkannya. "Saya cuma main rata-rata empat film setahun. Teman lain ada yang main 6 kali, bahkan ada yang main 11 kali, tetapi kok yang disebut saya,"? kata Reza dengan matanya yang mendelik lucu.
Aktor yang cair
Untuk menghindari kejenuhan penonton dan menjawab keinginannya yang selalu haus tantangan dalam berakting, Reza sengaja memilih peran yang bervariasi. Ia pernah menjadi pemuda kribo nyentrik, suami jahat, aktor bayaran, bos pelit, dan memerankan tokoh nasional, seperti Habibie dan Tjokroaminoto. "Saya ingin jadi aktor yang fluid, cair, mudah berubah-ubah. Enggak mau masuk stereotip, \'Oh Reza hanya bisa peran itu-itu saja\',"? kata penyuka buku-buku biografi aktor ini.
Bagaimana ia bisa dengan cepat beradaptasi dari satu karakter ke karakter lain yang tidak jarang bertolak belakang?
"Saya selalu menjaga diri berakting secara sadar, enggak mau terlalu dalam sehingga masuk ke keseharian. Ketika datang ke tempat shooting, ya saya siap bertransformasi menjadi tokoh yang saya perankan. Ketika pulang ke rumah, ketemu ibu saya, ya saya jadi Reza lagi. Lagi pula ada waktu cukup untuk mendalami peran, selesai shooting, keluar dari peran itu dan siap untuk peran lain di film baru,"? ujar pria yang suatu saat ingin menjajal diri sebagai sutradara dan produser ini.
Akting merupakan hasrat jiwa (passion) yang ia temukan "tidak sengaja"? semasa remaja. Semula, Reza ingin menjadi atlet renang. Ketika SMP dan tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur, Reza adalah atlet pelajar yang cukup sering menggondol medali emas dan perak. Catatan rekornya cukup bagus sehingga ia ingin bergabung dengan Pelatnas. Apalagi ibunya kemudian pindah tugas ke Jakarta. Namun, ternyata Reza gagal masuk Pelatnas. Ia juga batal masuk SMK Penerbangan untuk menjadi pilot. "Enggak pernah pengin belajar apa-apa, seperti ekonomi dan lainnya, kecuali ingin jadi pilot,"? katanya.
Reza akhirnya teringat kesukaan lamanya semasa SMP, main teater. Lomba pemilihan model ia jadikan batu loncatan ke dunia sinetron yang dalam pikiran mudanya merupakan dunia peran yang ia inginkan. Tentu tidak ada kesuksesan yang instan. Perjalanan Reza dipenuhi serangkaian penolakan dan kegagalan ketika mengikuti casting. Ia sempat bermain dalam dua film horor sebelum akhirnya mendapat peran di film Perempuan Berkalung Sorban yang membawanya menggondol Piala Citra untuk kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik (2009).
"Bersyukur dapat penghargaan sudah pasti. Tetapi, piala atau penghargaan tidak saya jadikan motivasi tertinggi. Saya pengin main tanpa embel-embel. Saya pengin main ya karena saya jatuh cinta dengan karakternya. Motivasi terbesar saya adalah bermain sebaik mungkin sehingga orang puas nonton film saya karena mereka mengeluarkan effort untuk nonton ke bioskop," kata peraih empat Piala Citra ini.
Jika popularitas dan penghargaan bukan menjadi tujuan utama, maka daya tahan Reza di dunia ini disumbang oleh rasa cinta dan penghargaannya pada profesi aktor. Sesuatu yang ia ingin juga dimiliki pemain muda penerusnya. "Kalau cuma mengejar popularitas, setelah populer lalu apa. Akhirnya kita tidak berkembang dan terlibas oleh yang lebih bagus,"? kata pembaca buku-buku teori akting ini.
Reza juga menemukan bahwa menjadi aktor bukan sekadar memerankan seorang tokoh. Ia bisa menitipkan pesan lewat peran yang ia bawakan, seperti saat berperan dalam film Kapan Kawin?. Dengan sedikit kebebasan dialog, ia bisa menyisipkan kritiknya terhadap nasib aktor.
Di saat senggang, kini Reza lebih suka di rumah. Tidak jarang, ia melakukan pekerjaan rumah tangga sebagai pelepasannya dari rutinitas. "Saya kan enggak punya asisten rumah tangga. Jadi, kalau pas di rumah enggak ada kerjaan, bisa tiba-tiba, ah, kepengin nyuci baju sendiri atau ngurusin tanaman atau ikan-ikan," katanya tergelak.
Begitulah Reza Rahadian. Di panggung, ia bisa menjelma menjadi apa saja. Di rumah, ia mempertahankan jati dirinya sebagai seorang Reza.