Enggak Macam-macam
Seperti biasa, tepat pukul 09.00, sang pelanggan istimewa akhirnya tiba. Dalam kurun 60 tahun lebih, ia kerap menyambangi kedai kopi ini. Dulu dengan ayahnya, kini dengan teman-temannya sesama lansia. Di sini mereka bergurau dan saling ledek. Bahkan, sering kali ia tak minum kopi, malahan membawa teh sendiri dan menyeduhnya di kedai.
"
Suka-suka dia aja. Meja di pojokan itu enggak ada yang berani menempati selain mereka. Lihat tuh, pada kayak anak kecil tingkahnya," ujar Koh Akong, yang berjaga di kasir, mengomentari para tamu istimewa itu.
Salah seorang dari mereka yang sudah berusia 70-an tahun bangkit dari kursinya. Sambil tertawa-tawa, ia dengan lihai bergoyang pinggul ala Ricky Martin. "Belum minum obat dia," ledek Koh Alok, pelanggan setia yang sejak kecil kerap diajak ayahnya ke kedai kopi ini, Tak Kie, di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat.
Siapalah di Jakarta ini yang tak mengenal Tak Kie. Kedai yang kopinya sudah dijual sejak tahun 1927 ini didirikan Liong Kwie Tjong. Kini pengelolanya adalah keturunannya generasi ketiga, Koh Ayauw, kakak dari Koh Akong.
Jauh sebelum fenomena Es Kopi Susu meledak di Jakarta, kedai ini sudah dikenal dengan jualannya es kopi susu ataupun es kopi hitam. Bahkan, di papan nama di dalam kedai yang terpasang sejak lama tertulis "Kopi Es Tak Kie", lalu diikuti deretan aksara mandarin yang artinya justru menunjukkan awalnya kedai ini juga sebagai tempat untuk minum teh. Tak Kie sendiri artinya sederhana, bijaksana, apa adanya, enggak macam-macam, dan mudah diingat orang.
Yang menarik, susunan kata yang digunakan di papan itu adalah "kopi es" bukan "es kopi". Frase "kopi es" sebenarnya lebih tepat karena mengikuti kaidah DM (diterangkan-menerangkan) dalam bahasa Indonesia. Sementara istilah masa kini "es kopi" tampaknya terikut sebutan dari bahasa Inggris ice coffee.
Pagi itu, kedai didominasi para lansia yang sarapan nasi campur dan sudah minum es kopi susu atau es kopi hitam. Lewat pukul 10.00, beberapa anak muda mulai berdatangan dan memesan minuman yang sedang ngehits: es kopi susu. Ketika minuman itu tiba di meja mereka, tak ada yang segera menyeruputnya. Mereka lebih dulu sibuk memotret gelas berisi es kopi susu itu dari berbagai sudut.
Menurut Koh Akong, Tak Kie berarti bijaksana, sederhana, enggak macam-macam. Kebersahajaan itu yang mereka rawat di kedai ini, yang dulu diam-diam juga kerap disambangi Jokowi berkali-kali saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Di tengah fenomena es kopi susu yang berkemasan trendi di Jakarta saat ini, sebagian anak muda Jakarta pun teringat pada es kopi susu ala Tak Kie dan ikut-ikutan memesannya melalui jasa ojek daring. Namun, meski dipesan melalui jasa ojek daring ini, es kopi susu Tak Kie tetap tak mengemasnya secara khusus. Cukup dikemas dengan bungkus plastik biasa, plus sedotan.
Kesetiaan. Itu sepertinya menjadi kata kunci bagi penggemar kopi susu ala kopitiam. Tak hanya di Jakarta dengan Tak Kie, tapi juga di Kedai Kopi Ahok di Jambi. "Paling tidak sudah 40 tahun saya akrab dengan suasana di warung ini," kata Eddy (59).
Hampir setiap hari Eddy mampir di Kedai Kopi Ahok sejak di masa remajanya. "Kopi dan kopi susunya istimewa. Tapi yang lebih istimewa lagi suasananya," imbuhnya.
Kedai Kopi Ahok sudah berdiri sejak 1950, dirintis oleh mendiang Akua. Kini, penerusnya adalah sang putra pertama bernama Ahok. Ciri khas kopi racikan kedai kopi ini adalah serba tebal. Baik seduhan kopinya yang pekat maupun susu kental manisnya yang mencapai sepertiga gelas yang biasanya diaduk sendiri oleh pemesan. "Bubuk kopinya harus agak kasar, agar aromanya cepat keluar," kata Ahok.
Kopi yang digunakan jenisnya arabika dari perkebunan kopi di wilayah Curup, Bengkulu. Menurut Ahok, proses pengolahan kopi menjadi bubuk semula mereka lakukan sendiri. Namun, seiring kian ramainya pengunjung, pesanan kopi tambah banyak. Ahok akhirnya menitipkan pengolahan kopi pada pabrik kopi AAA. "Prosesnya tidak ada yang berubah, biji kopinya masih disangrai dengan sumber api dari kayu bakar," kata Ahok.
Gaya seduh saring
Satu hal yang khas pada racikan kopi susu ala kopitiam adalah kopi seduhannya tidak berbasis mesin espresso, tetapi dengan cara seduh-saring. Hal itu berlaku di kedai Tak Kie di Jakarta, Kedai Kopi Ahok di Jambi, dan Kedai Kopi Kok Tong di Medan, Sumatera Utara.
Semua diseduh secara tradisional. Kopi dimasukkan dalam saringan kain yang panjang, disiram dengan air mendidih, air ditampung dalam cangkir atau gelas. Tak lupa tangan si pembuat bergerak naik-turun. Susu kental manis sudah lebih dulu dimasukkan dalam gelas sebelum kopi dimasukkan.
"Kami tak pakai mesin. Kalau mesin, semua orang bisa meracik kopi, kami meracik secara tradisional," kata Helbert, generasi ketiga pemilik Kopi Kok Tong.
Anehnya, jika orang yang meracik berbeda, ada saja pelanggan yang tahu bahwa kopi tidak diracik oleh orang yang biasanya meracik. "Maka kami terus melatih karyawan," kata Helbert,
Kopi Kok Tong menggunakan kopi robusta dari Pematang Siantar-Simalungun dan sekitarnya yang diolah di Pematang Siantar. Dari Pematang Siantar, kopi yang sudah berupa bubuk dikemas dalam kantong plastik kedap udara per 1 kilogram lalu didistribusikan ke berbagai gerai. "Kami tidak pernah membuka lama-lama, satu hari dibuka langsung habis," kata Helbert.
Berkreasi
Berbeda dengan kedai ala kopitiam lainnya, Kok Tong memilih berkreasi seiring zaman.
Kedai Kok Tong didirikan Lim Tee Kee tahun 1925 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Kok Tong terkenal dengan kopi hitam kentalnya yang pahit. Namun kini menu favorit di gerainya di Lantai 4 Sun Plaza, Medan, mal di pusat Kota Medan berkembang menjadi es kopi susu dengan jeli yang disebut kopi jeli.
Saat diseruput, rasa manis susu menyeruak di lidah, tetapi begitu diteguk, terasa pahit kopi tertinggal di kerongkongan. Jeli yang berbentuk sulur pendek menyerupai rumput laut terasa kenyal dan lembut. Paduan itu menimbulkan rasa segar yang membuat mulut terus ingin menyeruput. "Ini menu favorit kami, para ibu dan anak muda menyukainya," kata Helbert, Manager Kopi Kok Tong Sun Plaza dan Medan Fair.
Ada tiga menu utama yang disajikan di Kok Tong, yakni kopi O atau kopi hitam, kopi dingin atau kopi dengan gula, es dan topping buih di atasnya, serta kopi jeli. Namun, varian minumannya ada belasan.
Kedai ini pertama kali didirikan di Pematang Siantar, sekitar 130 kilometer dari Medan, mengadopsi kedai ala kopitiam di China. Usaha itu diambil alih oleh anak Lim Tee Kee, yakni Lim Kok Tong, pada 1978, yang namanya digunakan sebagai nama kedai. Kini kedai dijalankan oleh anak Kok Tong, yakni Paimin Halim atau Aktiong.
Saat dipegang Aktiong, kedai berkembang di sejumlah tempat dan masuk ke mal di Medan. Helbert mengatakan, sebenarnya pengembangan di Medan awalnya hanya sederhana. Banyak orang di Pematang Siantar datang ke Medan dan bingung mencari tempat minum kopi yang cocok dengan selera mereka. Beberapa orang kemudian berkongsi dengan Aktiong membuat gerai kopi di Sun Plaza, mal besar di pusat kota Medan, lebih sebagai tempat nongkrong warga Pematang Siantar yang ada di Medan.
Gerai lantas berkembang menjadi 15 gerai kedai tersebar di banyak kota, seperti di Sibolga, Padang Sidimpuan, Bagan Batu, Rantau Prapat, Tebing Tinggi, Pekanbaru, Jakarta (di Pantai Indah Kapuk 2 dan Pluit), bahkan sampai Bali.
Buat yang kangen kopi susu ala kopitiam, yuk seruput....