Tetirah Srihadi, Rumah Tanpa Lukisan
Di dekat kolam renang, Srihadi Soedarsono (85) duduk di kursi kayu. Namun, bukan untuk menikmati kemilau pantulan air kolam renang di siang hari. Ia bertutur, hal yang paling disukainya di situ bisa menikmati tumbuhnya pepohonan di pinggir kolam. Ketika malam, ia sangat suka berdiam lama-lama menikmati aroma harum bebungaan.
"
Di sini ini tempat yang paling saya suka, tidak ada tempat lainnya di rumah ini," ujar Srihadi, Selasa (22/8), di rumahnya di Kemang, Jakarta Selatan. Senyum pelukis senior ini mengembang. Rumah tetirah di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, itu ia tempati ketika sedang berurusan di Jakarta. Srihadi dan keluarga lebih banyak tinggal di Bandung.
Pada tahun 1952, dari Solo, Jawa Tengah, Srihadi memutuskan untuk menuntut ilmu seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Lembaga pendidikan tersebut dirintis sejak tahun 1947 sebagai Universitaire Leergang voor de Opleiding van Tekenleraren.
Setelah lulus tahun 1959, ia kemudian menjadi salah satu pengajar di ITB. Srihadi memiliki riwayat panjang sebagai pelukis. Ia dianggap pantas menyandang julukan sebagai salah satu maestro pelukis Indonesia. Hasil penjualan lukisannya pun memberi kelimpahan. Termasuk untuk membeli sebidang tanah di Kemang, yang dijadikan rumah tetirahnya di Jakarta. Sebidang tanah Srihadi membentuk huruf U di ujung jalan sebuah kompleks perumahan yang terbilang cukup elite. Satu kapling rumah di situ biasa berukuran 600 sampai 800 meter persegi. Dengan bidang tanah berbentuk huruf U itu, minimal dapat dibangun sampai tiga kapling rumah.
Pohon-pohon besar menjadi penaung halaman. Rumah di sisi kanan dihuni salah satu dari tiga anak Srihadi. Rumah di sisi kiri menjadi rumah tetirah Srihadi. Pada bagian ujung jalan, terdapat pintu gerbang tertutup. Terlihat halaman terbuka luas. Pepohonannya cukup asri.
"Di sini saya tidak melukis. Jangan sampai ada lukisan yang mengingatkan pekerjaan saya melukis," ujar Srihadi.
Ia benar-benar menjadikan rumahnya itu sebagai tempat tetirah, tempat sementara untuk beristirahat, menyegarkan hati dan pikiran. Selanjutnya, kembali lagi ke Bandung. Di Bandung, ia sebagai pensiunan pengajar di ITB tetap masih aktif melukis.
Terbayang lukisan
Ketika pertama kali memasuki halaman rumah Srihadi, terbayang akan karya-karya lukisannya. Tetapi, bayangan itu segera sirna karena Srihadi memang tidak menempatkan karya-karyanya di situ.
Pintu masuk ke rumah itu melalui halaman di muka garasi, kemudian menaiki tangga. Di antara jeda anak tangga, ditempatkan sebuah patung batu kuda pacu beserta penunggangnya.
Selepas anak tangga teratas, tiba di teras rumah dan terasa sejuk disertai suasana alami gemercik air yang jatuh ke kolam ikan. Di teras ada seperangkat kursi taman.
Srihadi dikenal dengan karya lukisan putri-putri penari, Candi Borobudur, atau lanskap.
Ketika memasuki ruang tamu, bayangan akan karya-karya itu lenyap. Tidak ada satu pun. Inilah yang dimaksudkan Srihadi, supaya di rumah itu jangan sampai ada lukisan yang mengingatkan dirinya akan pekerjaan melukis.
Begitu pula di ruang-ruang berikutnya. Benar-benar tidak ada karakter lukisan Srihadi. Ketika merasakan keteduhan hati dengan duduk di kursi kesayangannya di dekat kolam itu, Srihadi tampak getir. Ia menceritakan sebuah ruang yang ditutup dengan gebyok kayu jati yang ada di belakangnya. Sebuah kamar yang cukup luas.
Ruang itu pernah disiapkan sebagai tempat untuk merestorasi sebuah karya lukisannya yang dikoleksi Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1975. Lukisan itu berjudul "Jayakarta", cat minyak di kanvas, dengan enam panel masing-masing berukuran 275 x 200 sentimeter. Ketika digabung, lukisan itu panjangnya 12 meter dengan 2,75 meter. Lukisan yang besar. Tetapi, ditunggu sampai sekarang juga lukisan itu tidak pernah direstorasi kembali oleh sang kreatornya. Itu yang membuat Srihadi getir.
Enam panel lukisan "Jayakarta" bertutur tentang riwayat Jakarta. Secara keseluruhan, lukisan ini bercorak ekspresif realis. Srihadi melukiskan langit Jakarta dengan warna biru tua yang gelap. Daratannya dari warna kuning tua mendekati kecoklatan berubah menjadi warna kuning cerah di panel terakhirnya.
"Warna kuning cerah itu karena ada pantulan sinar matahari pagi," kata Srihadi.
Panel pertama, Srihadi menafsir dan melukiskan Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1527. Di situ masih ada sedikit bangunan kolonial. Berbeda dengan panel berikutnya, bangunan-bangunan kolonial Hindia Belanda mulai bertaburan di pinggir pelabuhan.
Hingga di panel lukisan kelima, tampak perubahan dengan adanya Tugu Monumen Nasional (Monas). Di panel berikutnya, Srihadi melukiskan air mancur yang ada di dekat silang Monas. Air mancur itu ada di titik pertemuan Jalan Medan Merdeka Barat dan Selatan.
Dicoret-coret
Ada kisah di balik air mancur ini. Pada tahun 1973, Srihadi melukis air mancur yang sama dengan judul "Air Mancar", cat minyak di kanvas, 130 x 130 sentimeter (1973). Suatu ketika, pada masa itu lukisan tersebut ditempatkan di anjungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk suatu acara di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang akan dihadiri Presiden Soeharto.
Waktu itu, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada pagi harinya menginspeksi kesiapan anjungan DKI Jakarta dan marah-marah ketika menjumpai lukisan "Air Mancar" karya Srihadi.
Ali Sadikin pun mencoret-coret dengan kata-kata umpatan di lukisan tersebut. Ternyata, Ali Sadikin tidak suka dengan lukisan Srihadi yang menampilkan kesemrawutan kota Jakarta dengan papan-papan reklame produk dari Jepang.
"Setelah marah-marah itu, keesokan harinya saya dipanggil Ali Sadikin. Beliau pun minta maaf dan meminta saya melukis Jakarta yang bersih. Maka jadilah lukisan \'Jayakarta\' itu," tutur Srihadi.
Lukisan "Jayakarta" semula dipajang di gedung Balai Kota DKI Jakarta lantai 23. Kini, lukisan itu menjadi bagian dari koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik di Jakarta Kota, milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Yayasan Mitra Museum Jakarta kemudian berinisiatif menggalang dana untuk perawatan museum-museum di bawah kewenangan pemerintah DKI Jakarta. Momentum penggalangan dana pun dilangsungkan. Srihadi menyumbangkan sebuah karya lanjutan dari lukisan "Air Mancar" sebelumnya.
Lukisan itu diberi judul "From Jayakarta to The Glorious Maritime Nations", dengan media pastel krayon di atas kertas, 122 x 244 sentimeter (2017). Karya inilah yang kemudian dilelang secara tertutup pada 23 Agustus 2017. Dana dari lukisan Srihadi itu pun berhasil digalang Yayasan Mitra Museum Jakarta.
"Saya berharap bisa terkumpul dana banyak untuk perawatan koleksi-koleksi museum kita," ujar Srihadi.
Rumah tetirah. Selain untuk berdiam istirahat sejenak, di situlah energi inspirasi dan harapan terus berputar. Srihadi pun terus berkreasi tak kenal henti.