Lari Tak Lagi Murah
Semua peserta tiba di tempat sekitar pukul 02.00, padahal waktu start pertama untuk kategori lomba maraton penuh (FM) baru dimulai pukul 04.30. Namun, wajah para peserta tampak bersemangat dan semringah.
Sebagian dari mereka melakukan pemanasan bersama, sementara beberapa lainnya asyik mengobrol, saling sapa, atau bahkan sibuk berswafoto. Suasana terasa sangat optimistis, bersemangat, ceria, dan gembira.
Yang penting gaya
Kebanyakan dari mereka, pelari perempuan, tampil modis, sporty, dengan warna kostum, sepatu, dan sejumlah perlengkapan lain yang penuh warna cerah: mulai dari topi peneduh, jersey (pakaian), celana lari jenis compression untuk mencegah cedera, sampai sepatu lari.
Seolah tak cukup dengan semua kelengkapan tadi, beberapa pelari, tak terkecuali pria, mengenakan beragam peralatan tambahan, seperti jam tangan khusus pelari, earphone, serta aksesori pemanis, seperti kacamata, tali sepatu berpengaman, dan ikat pinggang berkantong untuk menyimpan gawai atau perbekalan lain.
Andre Ismangun (53), salah seorang pendiri perkumpulan pelari Run for Indonesia (RFI), melihat banyak pelari yang memang enjoy dengan mengenakan beragam apparel dan aksesori mahal. Industri pakaian lari ikut tumbuh seiring banyaknya pencinta lari. Dia mengingat tahun 1980-an pelari tidak segemerlap sekarang. Waktu itu jumlah pelari juga masih sedikit. Saat itu dia berlari menemani ibundanya, Mia Ismangun, salah seorang pelari maraton senior Tanah Air.
Mari perhatikan Nurdinah (48), ibu rumah tangga peserta MBM dan beberapa event lari di luar negeri. Kali ini dia memakai sepatu Adidas jenis Endless Energy seharga 10.000 yen, setara Rp 1,2 juta, yang dibelinya saat kebetulan tengah berlibur di ”Negeri Sakura”.
Sepatu itu berpadu cantik dengan pakaian dan celana lari jenis compression untuk mencegah cedera, yang masing-masing harganya bisa dibanderol hingga Rp 2 juta per potong. Itu untuk sekali lari. Meski sudah mengoleksi tiga pasang sepatu, dia berencana membeli sepatu baru yang akan dipakai dalam Berlin Marathon bulan depan.
Soal pakaian dan perlengkapan lari, para peserta maraton sangat update. Pada suatu masa, merek Asics Gel Kayano 23 menjadi perbincangan sehingga para pemakainya seolah berada di puncak ketenaran gaya dan mode. Namun, dia akan dilupakan dan ketinggalan zaman hanya dalam hitungan bulan jika tidak segera beralih ke seri baru, Kayano 24.
Begitu juga dengan merek- merek lain, Nike Pegasus, Skechers Go Run, Saucony Kinvara, atau sepatu bersol seperti ”bantal” merek Hoka One One, yang baru belakangan ini masuk ke pasar Indonesia. Semua merek sepatu yang disebut tadi umumnya dijual hampir Rp 2 juta atau bahkan lebih.
Kelengkapan lain yang tak kalah penting adalah jam tangan khusus pelari dengan beragam fitur canggih, seperti untuk menentukan lokasi (GPS), mengukur detak jantung dan denyut nadi, serta mendata dan merekam kecepatan lari pemakainya. Semakin canggih fitur yang ada, akan semakin mahal harganya. Industri sepatu lihai memainkan selera dan mengontrol pasar pada ceruk lari.
Begitu juga industri perlengkapan lari lain, seperti jam tangan. Diana Fikri (38), yang menangani Community dan Segment Relationship sebuah perusahaan telekomunikasi, kini berganti jam tangan yang dalam satu monitornya bisa mendeteksi detak jantung, jarak, dan kalori yang terbakar. Harganya sampai Rp 6 juta. Selain memang penting, tentu juga aspek mode menjadi salah satu pertimbangan.
Puteri Indonesia 2002 yang kini juga seorang pemaraton aktif, Melanie Putria Dewita Sari (35), mengoleksi jam khusus lari, terutama yang memiliki desain serta warna cantik dan cerah. Salah satu merek favoritnya, Garmin, terbilang paling laku di pasaran dan dijual dengan kisaran harga tinggi, mulai dari Rp 3,5 juta sampai Rp 12 juta. Dia percaya pakaian dan beragam printilan lari itu bisa memompa mood dan rasa percaya diri saat berlari.
Head of Event Marketing produsen Garmin untuk Indonesia, Nata, mengatakan, potensi pasar Indonesia sangat menjanjikan. Penjualan produk jam khusus untuk keperluan maraton atau juga triatlon itu meningkat pesat, bahkan bisa naik dua kali lipat setiap tahun.
Berlari ke luar negeri
Di luar pakaian, pelari mengeluarkan biaya ekstra hingga puluhan juta rupiah, terutama saat berlari ke luar negeri. Saat ini ada setidaknya enam ajang bergengsi maraton utama dunia (WMM), yang ”wajib” diikuti setidaknya salah satunya. Ajang itu antara lain BMW Berlin Marathon di Jerman, Tokyo Marathon di Jepang, dan Virgin Money London Marathon di Inggris. Selain itu ada Boston Marathon, Bank of America Chicago Marathon, dan TCS New York City Marathon. Untuk tiket, penginapan, dan biaya pendaftaran bisa mencapai Rp 30 jutaan.
Biaya semakin membengkak jika ditambah dengan agenda jalan-jalan. Beberapa pelari yang ke Berlin membutuhkan dana dua kali lipat karena harus menginap selama sembilan malam dan belanja aneka barang setelah maraton usai.
Adalah lima sekawan Cecile Jundy Novitry, Dhina Yovita Sari, Asfianti Ahmad, Nurul Huda Arifati, dan Intan Dwianna Leilasari yang dikenal sebagai pelari perempuan modis dan sering kali tampil seragam jika berlatih atau mengikuti lomba lari. Para pelari maraton wanita asal Run for Indonesia itu juga menamakan diri mereka De Keketz. Mereka sudah menyiapkan dana charity masing-masing Rp 15 juta. Juga kostum dan beragam aksesori seharga jutaan rupiah, termasuk jam tangan seharga Rp 8 juta-Rp 10 juta.
Agar bisa mencapai finis, mereka menyewa pelatih personal (personal trainer/PT), Eduardus Nabunome, mantan atlet pelari pemegang rekor maraton nasional yang sudah 28 tahun lebih tak terpecahkan. Mereka berlatih setiap Selasa dan Kamis.
Belakangan, sejumlah pelari nonprofesional juga banyak yang memanfaatkan dan mengandalkan jasa pelatih untuk meningkatkan performa berlari mereka. Mereka rela mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar honor jasa pelatih-pelatih tadi yang besarannya beragam, mulai dari Rp 150.000 hingga Rp 500.000 per sesi yang lamanya dua jam hingga tiga jam.
Diana Fikri dan Eka Sopiani dari bagian humas sebuah televisi termasuk pengguna jasa PT atau pelatih menjelang dan setelah lari. Dari para PT inilah mereka memahami strategi dan tips lari yang sehat, termasuk teknik pemanasan dan pendinginan.
Para pelari rekreasional ini semula mengira lari adalah olahraga murah. ”Namun, semakin digeluti, ternyata biayanya tinggi,” kata Diana yang makin cinta dengan lari. Dia merasa lebih bugar, banyak teman, dan menemukan sensasi olahraga sehingga menilai lari sebagai kebutuhan.
Itu juga yang dirasakan oleh Vivin Pindensiyanti (36), profesional di bidang public relation. Semula berniat menurunkan badan, tetapi setelah meraih berbagai medali maraton, dia ketagihan. Dia lari sampai ke Singapura dan kini bersiap untuk maraton lain.
Sore itu, Eka dan enam rekannya naik turun di lahan parkir Plaza Semanggi di bawah pengawasan pelatih Beni Mustofa (54). Mereka baru saja mencapai finis di MBM serta bersiap untuk Jakarta Marathon dan Borobudur Marathon dalam waktu dekat. Mereka berlari dari maraton satu ke maraton lain, sungguh pun lari tak lagi murah....