Membaca Prasasti, Memahami Sejarah
Patung manusia dari batu andesit kehitaman itu memakai kasaya kuning atau selendang monastic diagonal memutar yang bergelayut menutupi bahu lengan kiri sampai pinggang kanan dan sebagian punggung sampai kembali ke bahu lengan kiri. Kain itu agak menutup keberadaan ukiran halus menyerupai selendang pada bagian perut pinggang kiri ke bahu kiri dan terus ke punggung pinggang belakang kiri arca itu.
Arca itu berposisi meditasi bhumiparsa mudra perlambang memanggil bumi sebagai saksi. Reca duduk bersila dengan lipatan kaki kiri di bawah lipatan kaki kanan. Tangan kiri di atas pangkuan kaki di depan perut dengan telapak menengadah. Tangan kanan menelungkup dengan telapak menutupi lutut kanan seolah ingin menyentuh bumi. Raut wajah patung itu memancarkan keteduhan dan ketenangan. Mungkin ini salah satu contoh Arca Buddha Maha Akshobhya dengan arti Yang Tidak Tergerakkan.
Patung itu berlapik atau beralas prasasti melingkar dengan aksara Jawa Kuna, tetapi berbahasa Sanskerta. Dudukan atau alas batu arca itu disebut Prasasti Wurare, diduga dibuat pada 1211 Saka atau 1289, yang merupakan syair terdiri atas 19 bait. Wurare merupakan nama sebuah daerah yang hingga kini belum disepakati di mana letaknya. Ada yang mengklaim bahwa Wurare terletak di Blora, Jawa Tengah, ada juga yang menyatakan Wurare ada di Sidoarjo, Mojokerto, atau Nganjuk di Jawa Timur.
Arca itu berada pada altar batu dan bernaung di bawah balai dengan lantai ubin berdimensi panjang dan lebar 4 meter serta memiliki enam anak tangga. Bangsal kecil itu beratap genteng ditopang empat tiang kayu bercat kuning. Dari depan, di samping tiang kanan depan diletakkan payung merah, sedangkan di samping tiang kiri depan terdapat payung kuning.
Balai itu berada dalam kompleks teduh oleh naungan empat pohon beringin besar. Di depan bangsal kecil itu tertata lebih dari 30 arca kuno. Gapura menyerupai Candi Bentar dan berpagar teralis besi. Papan putih pada kompleks itu bertuliskan Benda Cagar Budaya Arca Jokodolog adalah Perwujudan Raja Kertanegara.
Komunitas
Pada Minggu (3/9), di Arca Jokodolog, lebih kurang 20 anggota komunitas Tapak Jejak Kerajaan telah berkumpul. Mereka masih bersemangat untuk meyakini prinsip ”sejarah adalah guru kehidupan, utusan masa lampau”, seperti tertulis dalam halaman grup di media sosial Facebook. Mereka merupakan gabungan dari berbagai kelompok penyuka atau pemerhati sejarah Nusantara, antara lain Surabaya Historical Community, Pelestari Sejarah-Budaya Kadhiri (Pasak), dan Sidoarjo Masa Kuno.
Mereka datang dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Kediri, bahkan Tulungagung. Mereka tertantang untuk membaca kembali Prasasti Wurare sekaligus mempraktikkan hasil belajar bersama aksara dan bahasa Jawa Kuna serta Sanskerta selama tiga tahun terakhir di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo.
”Ke sini ini sebenarnya ingin suasana baru,” ujar Koordinator Tapak Jejak Kerajaan TP Wijoyo. Selama tiga tahun belajar bersama, komunitas tidak pernah beranjak dari Museum Mpu Tantular. Di sana setidaknya 20-30 prasasti dan atau replika prasasti dari batu atau baja telah coba dibaca kembali.
Di kompleks yang relatif tenang itu, komunitas ditantang oleh teman belajar, Gunawan Sambodo, lulusan arkeologi Universitas Gadjah Mada dengan pendalaman minat epigrafi atau pembacaan tulisan kuno, untuk mengamati kembali sajak pada Prasasti Wurare. ”Saat dibaca ulang, sejarah selalu menampilkan informasi yang menarik,” ujar lelaki yang mengaku berprofesi sebagai pedagang kerajinan dan barang antik itu.
Di komunitas, Gunawan menjadi teman belajar aksara Jawa Kuna dan bahasa Sanskerta agar pengetahuan dan ilmu yang didapat di Kampus Bulaksumur (UGM), Daerah Istimewa Yogyakarta, tak hilang seiring waktu karena jarang dipakai. Dalam sejumlah literasi, Prasasti Wurare pernah dibaca dan diinterpretasi oleh ilmuwan terkemuka, antara lain JHC Kern dari Belanda kemudian Poerbatjaraka. ”Pembacaan oleh mereka menghasilkan kesimpulan yang berbeda meski tidak signifikan. Akan tetapi, dari pembacaan ulang, bisa didapat informasi baru atau penegasan,” tuturnya.
Secara umum bisa dikatakan bahwa minat, pengetahuan, apalagi perhatian, terhadap peninggalan sejarah masih terpinggirkan. Tidak sedikit berita pembiaran perusakan terhadap candi, prasasti, atau gedung bersejarah. ”Namun, perusakan jalan terus dan nyaris tidak bisa lagi dicegah. Padahal, sejarah itu bukan sekadar masa lalu, melainkan siapa dan asal-usul kita,” kata Siswadi dari Surabaya Historical Community.
Novi BMW dari Pasak menambahkan, membaca kembali prasasti bukan berarti tidak memercayai hasil penelitian masa lalu oleh kalangan ilmuwan, melainkan mencari pencerahan. Di zaman ini, saat informasi begitu mudah disebarkan melalui internet, perlu ada sikap yang bijaksana untuk memilih dan memilah. ”Salah satu jurus ampuh untuk menghindarkan diri dari pengaruh informasi yang keliru ialah datang ke lokasi prasasti, berusaha membaca kembali, dan berharap menemukan pencerahan,” katanya.
Begitu pula sejatinya yang dilakukan oleh Tapak Jejak Kerajaan. Selama belajar bersama bahasa dan aksara kuno, mereka mempraktikkannya dengan membaca berbagai prasasti dan replika prasasti koleksi Museum Mpu Tantular. Ditambah dengan berbagai literatur, terutama buku-buku dan diskusi dengan kalangan pakar sejarah, mereka menghidupkan semangat untuk tidak melupakan masa lalu.
Warisan
Arca Jokodolog berada di pertemuan Jalan Taman Apsari dan Jalan Embong Trengguli. Letaknya 80 meter di selatan Taman Apsari atau 180 meter di selatan Gedung Negara Grahadi, rumah dinas Gubernur Jawa Timur. Apsari dan Grahadi dibangun dalam kurun kepemimpinan Residen Surabaya Dirk van Hogendorps (1794-1798), bagian dari Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang ketika itu menguasai atau menjajah Nusantara.
Kembali ke prasasti, disebutkan nama āryyo bharāḍ atau Bharada, yang dalam Serat Calon Arang disebut sebagai mpu atau pendeta sakti yang membantu Airlangga, Raja Kahuripan, mengalahkan musuh dan mengatasi perpecahan internal kerajaan. Wurare yang diduga merupakan kawasan pemakaman ialah tempat kediaman atau pertapaan Bharada.
Prasasti diduga ditulis (diukir) oleh seorang abdi Kerajaan Singasari bernama Nada. Prasasti menceritakan pembagian Kahuripan menjadi Jenggala dan Panjalu oleh Bharada untuk mengatasi perebutan kekuasaan antara dua pangeran. Pada masa Kertanegara, raja terakhir Singasari, Jenggala dan Panjalu telah dipersatukan sehingga ada pentahbisan melalui suatu upacara besar. Kertanegara, menurut Kitab Pararaton, merupakan raja kelima Singasari yang memerintah kurun 1272-1292. Kitab Negarakretagama mencantumkan bahwa Kertanegara merupakan raja keempat Singasari yang memerintah kurun 1254 sampai 1292.
Kertanegara merupakan putra Wisnuwardhana alias Ranggawuni yang menikahi Waning Hyun, puteri Mahesa Wunga Teleng. Mahesa merupakan putra dari pendiri Singasari, Ken Arok dan Ken Dedes. Dengan demikian, Kertanegara bisa disebut sebagai cicit dari Ken Arok. Prasasti Wurare memuja Kertanegara yang bijaksana dan berpengetahuan hukum yang luas. Meski dikenal sebagai pemeluk Buddha Tantrayana, Kertanegara juga dikenal berusaha menyatukan dua ajaran, yakni Hindu Siwa dan Buddha Tantrayana.
Kertanegara juga terkenal karena berambisi mempersatukan Nusantara sekaligus berupaya mencegah perluasan kekuasaan Kekaisaran Mongol. Untuk perluasan wilayah, Kertanegara melancarkan ekspedisi pamalayu yang bertujuan ”menguasai” Sumatera sehingga memperkuat pengaruh di Selat Malaka yang merupakan jalur utama ekonomi dan politik dunia ketika itu. Pada 1275, ekspedisi dimulai dengan dipimpin oleh Kebo Anabrang. Pada 1284, Singasari menaklukkan Bali dan dua tahun kemudian menguasai Sumatera. Pada 1289, datanglah Meng Khi, utusan Kaisar Kubilai Khan yang menghendaki agar Singasari yang awalnya bernama Tumapel mengakui dan tunduk kepada Kekaisaran Mongol.
Kabarnya, telinga Meng Khi ditebas oleh Kertanegara yang kemudian memicu kedatangan armada besar Mongol ke Jawa. Namun, saat armada Mongol datang, Kertanegara telah gugur akibat pemberontakan oleh Jayakatwang, Adipati Gelanggelang. Sejarah bercerita, kedatangan pasukan Mongol dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk menghabisi Jayakatwang. Selanjutnya, serdadu Mongol dihabisi di Jawa oleh laskar Raden Wijaya yang kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit.
Ada spekulasi, Arca Jokodolog diambil dari Wurare dan dipelihara oleh Raden Wijaya sebagai penghormatan kepada leluhurnya, Kertanegara. Raden Wijaya ingin mewariskan pengetahuan bagi keturunannya agar menghormati lelulur dari Singasari. Untuk itu, arca ditempatkan di kompleks Candi Jawi di Pasuruan yang merupakan candi peninggalan Majapahit. Oleh seorang raja, saat Majapahit mulai mengalami kemunduran, arca itu dipindah ke Bejijong, Trowulan, dipendam dalam tanah dan ditutupi pepohonan jati.
Pada 1821, seorang warga menemukan arca yang ditutupi kayu jati itu. Arca oleh warga disebut jaka (joko) karena diyakini sebagai perwujudan lelaki, sedangkan jati saat itu disebut dolog. Penemuan itu terdengar oleh Residen Surabaya AMT de Salis. De Salis memindahkan patung itu ke Surabaya pada 1827. Ada cerita bahwa Arca Jokodolog hendak dibawa ke Belanda bersama dengan sejumlah arca kuno yang ditemukan di sejumlah tempat di Jawa Timur. Untuk itu, berbagai arca tersebut ditaruh terlebih dahulu di Museum Panpaber yang kini merupakan SMA Trimurti di samping Grahadi. Panpaber adalah museum untuk menyimpan koleksi benda-benda bersejarah. Kompleks Grahadi dan Panpaber berada di tepi Kalimas yang saat itu ramai lalu-lalang kapal.
Namun, arca-arca itu batal dibawa ke Belanda karena kapal pembawa dikabarkan rusak. Arca-arca kemudian ditata di Taman Apsari. Arca Jokodolog pada awalnya ditaruh di tanah. Pada 1957, Arca Jokodolog dibuatkan altar sehingga posisinya lebih tinggi daripada arca-arca lainnya. Pada 1988, Arca Jokodolog diberi naungan berupa balai untuk mencegah agar tidak rusak terkena paparan cuaca.