Dipha Mengejar Mimpi
Sebagai seorang disc jockey alias DJ, hari-hari Dipha Barus (31) tak pernah sepi. Seperti musik elektronik yang dia mainkan sepanjang malam melalui perangkat DJ-nya, Dipha terus menggelinding dari satu mimpi ke mimpi lain. "Saya dreamer, sih, orangnya. Ibu saya hafal banget, deh," ujar Dipha. Dia tengah bersiap mengejar mimpi terbesarnya.
Kamis (31/8) siang, Dipha bersiap masuk kembali ke studionya di Jakarta Selatan. Studio itu terletak di sebuah kompleks perumahan. "Ini studio barengan sama temen-temen," kata Dipha. Sekali masuk, Dipha biasa betah berlama-lama. Jika tak diingatkan, Dipha bisa bekerja di sana tanpa henti.
Selain sibuk di studio, saat ini sebenarnya Dipha sedang sibuk tur mempromosikan singel terbarunya, "All Good", yang liriknya dinyanyikan Nadin, siswa SMA asal Bekasi yang ditemukan Dipha melalui Instagram. Sebelumnya, Dipha merilis singel "No One Can\'t Stop Us" yang liriknya dinyanyikan oleh Kallula.
"Kehidupan saya terus kayak gitu, sih. Nge-DJ, ke luar kota, keliling, ke luar negeri juga. Abis itu pulang, ke studio. Berputar-putar di situ aja," papar Dipha dengan senyum mengembang.
Hari itu tak tampak jejak kelelahan di wajahnya. Dia terlihat santai. Sambil bercerita, Dipha kerap terbahak-bahak kala mengenang banyak hal dalam hidupnya. Segelas matcha latte dengan susu kedelai berada di genggamannya. Katanya, dia sedang menjajal pola makan sehat, di samping olahraga yang juga ditekuninya.
"Jadi DJ, pas pertama-tama ngejalanin, ya, ada stres-stresnya juga. Kayak pertama seneng, terus bosen. Abis itu, ya, biasa aja. Enggak yang terlalu complain karena emang mengerjakan sesuatu yang disenengin. Saya nyadar, ini something yang saya cita-citain dari dulu. Buat musik, main musik. Jadinya emang enggak ada complain lagi sekarang," tuturnya santai.
Sejak memproklamasikan diri menjadi DJ sekitar tahun 2009, saat ini Dipha bisa dikatakan tengah produktif-produktifnya. Selain main di banyak tempat, Dipha juga banyak bekerja sama dengan sejumlah penyanyi, mulai dari Rossa, Bayu Riza, Andien, Titi DJ, Rinni Wulandari, Teza Sumendra, hingga yang terbaru dengan Adrian Khalif di "Made in Jakarta".
Dari sepak terjangnya sebagai DJ, Dipha banyak menyabet penghargaan. Salah satunya Paranoia Best DJ 2014. Padahal, ketertarikannya pada profesi DJ muncul tak sengaja. Saat berlibur ke Singapura, Dipha yang kala itu masih kelas III SMP kebetulan melihat seorang DJ tengah beraksi di sebuah acara. Dipha jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Bukan pada musiknya karena kalau musik elektronik saya udah sering denger. Tapi pas lihat, ooo... ini DJ yang kayak di TV itu. Satu orang, tapi bisa ngontrol 700-an orang di ruangan itu. Ngontrol crowd dari lagu-lagu yang bukan cuma lagu-lagu dia, tapi lagu-lagu orang yang digabung jadi satu. Keren banget. Wah, gue pengin nih," kata Dipha mengenang.
Sejak kecil, Dipha adalah penikmat musik kelas berat. Dia banyak mengenal berbagai jenis musik berkat koleksi kaset dan piringan hitam almarhum ayahnya. Nirvana, Sex Pistols, Bad Religion, The Beatles, The Jimi Hendrix Experience, Fariz RM, Bimbo, AKA, dia lahap. Cita-citanya memang menjadi pemusik.
Ketertarikannya pada profesi DJ itu cukup mengejutkan karena apabila ditelusur, Dipha sesungguhnya punya fobia keramaian. Saat SD, Dipha pernah hilang di Ratu Plaza. Sejak itu, jika berada di keramaian, Dipha bisa gemetaran, gatal-gatal, sampai mual.
Namun, panggilan musik mengalahkan semua itu. Belakangan dia menemukan penawarnya melalui meditasi. Sepulang dari Singapura, Dipha segera mencari tahu jenis musik apa saja yang bisa dimainkan seorang DJ.
"Dulu, saya kira electronic music itu cuma The Chemical Brothers sama The Prodigy. Ternyata electronic music itu ada subgenre-nya lagi, kayak EDM (electronic dance music)," ungkap Dipha.
Dipha lantas serius meriset EDM. "Kalau mainnya, sih, masih berantakan. Masih pakai pelat, pakai CD. Dari situ akhirnya saya nemuin koneksi bagaimana ngatur psikologis penonton kalau lagi main," katanya.
Mengatur psikologis penonton, menurut Dipha, penting karena karakter orang Indonesia unik. "Di luar negeri, mau musik apa bodo amat, yang penting gue joget. Indonesia beratnya adalah gue mau spesifik, nih, jogetnya. Kalau musik enggak kayak gini, gue enggak mau joget karena gue malu. Jadi, lagu-lagunya harus yang familiar, sering didengerin," ujar Dipha.
Menjadi DJ, bagi Dipha, juga ada tantangan untuk menemukan bagaimana idealismenya bisa relevan dengan kondisi seperti itu. "Kayak energinya harus diatur. Cara nyusun lagunya. Segala macem. Itu bikin nge-DJ jadi menarik. Akhirnya belajar nge-DJ, buat lagu," papar Dipha.
Tonggak karier
Ketika akhirnya Dipha meneruskan studi sebagai desainer grafis di Malaysia, kesempatan Dipha belajar musik elektronik mulai terbuka. Dia menjadi semiresident DJ di salah satu kelab di Malaysia. "Tapi saya enggak bilang saya profesional jadi DJ karena tugas saya masih belajar," katanya.
Pulang ke Jakarta, karpet merah tak serta-merta terbentang di depan mata. Apalagi, saat itu musik yang dia mainkan belum terlalu familiar karena serupa musik dutch house di kelab-kelab yang bertaburan di Kemang. Banyak orang meragukan pilihan musiknya.
Pengalamannya menjadi karyawan customer relations di Toko Buku dan CD Aksara, Kemang, menjadi tonggak penting perjalanan kariernya. Di sana, dekat dengan musik yang menjadi mimpinya sejak dulu, Dipha memperbanyak referensi musik dan mengenali musik yang disukai orang, mulai dari musik indie, super-indie, sampai Katy Perry yang dibeli orang tetapi dia sendiri tak bisa mencerna.
"Sampai di situ nyadar, musik itu enggak ada yang jelek. Selera orang aja yang beda. Kayak saya dengerin musik punk, metal. Masak dibilang jelek. Kan, saya suka. Itu, kan, kayak penilaian yang sangat subyektif," katanya. Dia juga lantas belajar membuat playlist yang kemudian ditawarkan ke berbagai restoran di Jakarta, hingga akhirnya dia kerap mendapat tawaran main sebagai DJ.
Ketika makin serius melakoni profesinya sebagai DJ, Dipha sudah makin paham mana musik idealis dan mana musik yang disukai orang. "Kalau saya lebih suka 50 persen banding 50 persen. Buat saya, kalau kita terlalu ngikutin crowd juga enggak bagus karena kita enggak bisa tunjukin siapa kita. Bagi saya, karya yang bagus adalah bagaimana idealisme tetap bisa diterima dan pesannya masih relevan. Bisa diterima publik," kata Dipha.
Musik Indonesia
Langkah Dipha di scene musik EDM Tanah Air makin ringan seiring gelombang EDM (EDM wave) yang juga melanda Indonesia. "Sekarang, kan, dance music udah bisa didengerin di Alfamart. Saya naik M-20 juga (musiknya) Chainsmokers," ujarnya seraya terbahak.
Sebagai seorang DJ, kebahagiaan Dipha tak terbeli manakala musik yang dimainkannya mampu menyentuh dan menggerakkan orang yang datang. "Lihat reaksi orang-orang ini pas kita main, wah award-award itu enggak ada apa-apanya. Bener-bener enggak kebeli. Ini yang bikin saya mau main terus-terusan. Enggak pernah capek," kata Dipha.
Karena itu, Dipha berkomitmen selalu menyuguhkan karya yang jujur. Apa yang dia rasakan, dia tuangkan dalam musiknya. "Enggak harus selalu positive vibe. Apa adanya aja yang saya rasain saat itu saya tulis. Kebetulan emang saya pengin buat lagu yang didengerin 20 tahun lagi bisa tetap semangat dan relate. Bukan karena EDM lagi tren, tapi dari liriknya harus timeless," ujarnya.
"No One Can\'t Stop Us" dan "All Good" bercerita tentang perpisahan dengan dunia gelap yang sebenarnya justru dibuat oleh kita sendiri. "Kita, kan, selalu khawatir, takut. Itu kayak dunia gelap yang kita bikin sendiri. Enggak ada yang perlu ditakuti sebenernya. Hari ini ya hari ini, besok ya besok," ujarnya.
Di kedua singelnya itu, Dipha banyak mengeksplorasi musik Indonesia. Musik Indonesia, menurut dia, memiliki karakter sound yang unik. Di "All Good", misalnya, Dipha mengeksplorasi alat musik dari Kalimantan, rindik dari Bali, gamelan dan gong dari Jawa, serta alat musik tradisional Karo yang menjadi asalnya.
"Indonesia, kan, \'aneh\', di dalam satu negara kayak ada banyak negara, suku-sukunya itu. Menurut saya, ini \'gila banget\'. Orang Jawa enggak bisa komunikasi dengan orang Batak kalau pakai bahasa masing-masing. Apalagi instrumennya. Beda banget jenis dan tangga nadanya. Ini yang bikin saya pengin eksplorasi. Gimana caranya menggabungkan jadi musik baru," ungkap Dipha.
Dia memendam harapan agar melalui musiknya, anak-anak muda tahu bahwa musik daerah itu keren, bisa dieksplorasi menjadi musik baru. "Dan ini cuma Indonesia doang yang punya," kata Dipha.
Dia juga bermimpi bisa membawa sound musik Indonesia yang dia ciptakan itu ke panggung yang lebih luas. Itulah mengapa, mimpinya bisa mendapat Grammy kini tengah menyala-nyala meski Dipha menyebut mimpi itu sebagai cita-cita "bego-begoan" belaka.
"Saya pengin bisa menginspirasi orang dari sound yang saya ciptakan. Sama seperti saya yang terinspirasi ketika Arcade Fire dapat Grammy, habis itu DJ Skrillex, lalu juga Kendrick Lamar. Kemenangan mereka, kan, ngaruh banget di industri musik dunia. Semua sound jadi kayak gitu. Saya juga pengin seperti itu," kata Dipha.
"All Good" yang kini menduduki posisi nomor 1 paling banyak diunduh di beberapa kota dunia, seperti Mexico City dan Bercelona, bisa jadi isyarat bahwa semesta mendukung mimpi-mimpi Dipha.