Nyantrik di Rumah Candra Malik
Candra Malik (39) menamai rumahnya Omah Mangkat, artinya rumah (tempat) berangkat. Rumahnya di Solo dinamainya Omah Mulih atau rumah berpulang. Rumah menjadi titik awal berangkat dan juga pulang. Begitulah, di rumahnya, siap-siap untuk merenung dan mereguk kedalaman makna hidup.
Candra dikenal oleh pengikutnya sebagai sufi. Buah pikirnya mulai dikenal orang melalui media Twitter sejak akhir 2011. Di situ, ia membuat pengakuan bahwa telah belajar tasawuf sejak remaja. Mulai saat itu, Candra kemudian memilih jalannya, menjadi sufi dan berdakwah lewat jalan kesenian. Ia boleh dibilang sebagai salah satu penerus Cak Nun dan Gus Mus yang berdakwah lewat medium seni budaya.
Sempat berkarier sebagai wartawan di Ibu Kota, Candra kemudian pulang kampung ke Solo. Ia melanjutkan profesinya sebagai wartawan dan membuka bisnis kafe bersama sang istri, Anis Ardianti. Tidak lama, tahun 2011, Candra kembali ke Ibu Kota untuk mengikuti panggilan hati sebagai sufi. Ia lalu membeli rumah di dekat rumah mertuanya di Cimanggis, Depok. Rumah itu kemudian direnovasi menjadi seperti saat ini. Butuh waktu dua tahun untuk selesai. Keluarganya sempat mengontrak rumah tidak jauh dari rumah yang sedang dibangun.
"Ini berkat kekuatan doa. Saya enggak pernah terpikir punya rumah seperti ini. Wong dulu pas pindah, mau tinggal di mana saja belum tahu. Tapi, kalau kita niatkan sesuatu itu bukan hanya untuk kita melainkan juga untuk orang lain, maka orang lain itu akan menitipkan rezekinya kepada kita. Alhamdulillah, jadi juga rumah ini dan sekarang dipakai bersama-sama," papar ayah empat anak ini.
Menurut dia, ia tidak menggunakan jasa arsitek atau desainer interior. Istrinyalah yang lebih banyak mereka-reka desain rumah. Tentu saja setelah juga lewat diskusi dengan Candra. Anis juga yang mencari-cari perabot, seperti meja dan kursi, hingga pelapis dinding.
Sebagian besar rumahnya diisi dengan perabot kayu yang didatangkan dari Solo, termasuk gebyok dan kaca patri yang dijadikan pintu dan jendela utama. Patung-patung punakawan dan loro blonyo menghias teras rumah yang diisi kursi-kursi sedan dengan dudukan dari anyaman rotan. Lantai ditutup dengan tegel dekorasi buatan Yogyakarta.
Rumah bersama
Berdiri di atas lahan 200 meter persegi, rumahnya, menurut Candra, diniatkan sebagai rumah bersama. Setiap hari selalu ada orang-orang yang datang untuk menimba ilmu tasawuf. Bahkan, ada beberapa muridnya yang tinggal di sana. Bagian samping rumah digunakan untuk kegiatan bersama. Selain sofa dan karpet, di dekatnya juga dibangun toilet sehingga tidak mengganggu kegiatan di rumah utama. Di dekatnya diberikan pula dapur kecil, tempat menaruh gula, teh, kopi, serta cangkir-cangkir kaleng yang digantungkan pada bidang kayu palet di dinding.
Biasanya murid-muridnya akan datang selepas selesai bekerja. Candra bisa menemani mereka mengaji tasawuf hingga dini hari tiba. "Ini tadi kami baru selesai pukul 04.00. Padahal, pukul 10.00 saya sudah harus berangkat lagi ke luar kota," tambah pria yang mempertahankan berambut gondrong ini.
Di tempat ini pula, Candra menekuni hobi barunya, melukis. Sebuah kanvas panjang dengan lukisan yang masih setengah jadi terpampang di situ. "Lukisan Wali Songo. Aku enggak bisa melukis. Pulang dari rumah Jeihan, tiba-tiba saja ingin melukis," ungkapnya.
Sebuah lukisan potret diri Candra karya Jeihan tergantung di dinding ruang tamunya, menyambut kehadiran tamu yang datang. Lukisan itu dibuat ketika ia mengunjungi sang pelukis di studionya di Bandung. "Beliau titip pesan agar saya mengabdikan diri kepada Indonesia lewat jalan ini," kata pria yang biasa dipanggil Gus Can ini.
Pencahayaan alami
Rumahnya dibangun dua lantai dengan lantai 1 terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur anak sulung. Keluar dari kamar tidur utama akan langsung menghadap dapur. Anis senang memasak sehingga ia mendapat dapur cantik dan besar untuk menyalurkan hobinya memasak. Kamar ini juga terhubung dengan teras dan taman belakang. Pintu dan jendela-jendelanya kerap dibuka lebar. Ruang tamu, dapur, dan ruang makan di lantai ini juga dibuat menyambung tanpa sekat. Hanya ada sketsel kecil di ruang tamu yang tetap menyisakan pemandangan hingga menembus ke taman belakang.
Berkat desain yang demikian, pencahayaan alami dan sirkulasi udara sangat lancar sehingga membuat rumah tetap terasa segar meski di siang hari yang panas. Hawa yang adem juga didukung dengan pepohonan hijau yang ditanam di depan dan belakang rumah. Bagian depan rumah dipasangi pagar dari potongan kayu-kayu bantalan rel. Bagian atasnya menjulur krei dan tanaman merambat sebagai tirai alami untuk menangkal sengatan sinar matahari.
Kegiatan utama keluarga berada di lantai dua. Masing-masing diberi ruang untuk berekspresi. Si sulung Bima (13) yang senang main game dan otak-otik komputer akan lebih banyak berada di ruang tengah dengan segala peralatannya. Tidak jauh dari situ, mesin jahit dan tumpukan kotak berisi kain menanti Anis yang belakangan lagi senang-senangnya membuat tas.
Tiga anak Candra lainnya, semuanya perempuan, diberi kamar masing-masing yang berada di lantai ini. Di beberapa bagian dinding tampak coretan tangan anak-anak. Anak kedua, Manik (11), yang menyukai balet, kerap berlatih di kamarnya yang berlantai parket kayu dengan cermin di dinding. Ia juga gemar main musik. Alat-alat musiknya, seperti piano, gitar, dan biola, diletakkan di lantai 1. Mereka kerap main musik bersama. Candra dan Anis membebaskan anak-anak mereka untuk mengembangkan minat masing-masing. Keduanya hanya memberikan panduan berupa konsekuensi atas pilihan-pilihan yang diambil.
Di lantai ini juga kamar kerja Candra berada. Ia membaca dan mengetik di kamar yang dilengkapi dengan lemari buku ini. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, hingga buku renungan tasawuf dikerjakannya di ruang ini. Hingga kini, ia sudah menghasilkan 10 buku.
Meski begitu, sebenarnya Candra jarang berada di rumah. Waktunya banyak habis untuk ke luar kota. Ia kerap diundang untuk menjadi pembicara atau narasumber untuk diskusi seputar tasawuf atau suatu bahasan yang dilihat dari sudut pandang tasawuf. Candra juga mengisi kelas tasawuf dan kelas meditasi tasawuf di banyak kota. Sebulan sekali ia sempatkan pulang ke Solo untuk mengunjungi Pesantren Tasawuf Asy Syahadah di Segoro Gunung, Karanganyar, Jawa Tengah, di mana ia menjadi pengasuhnya.
"Masyarakat kita itu sedang haus, tetapi banyak yang tidak sadar bahwa mereka sedang haus. Kehadiran saya sebenarnya lebih pada mengantarkan minuman dan memberi tahu bahwa mereka sedang haus," kata Candra yang juga telah menghasilkan dua album musik ini.
Saat sedang berada di rumah, rutinitas pagi Candra adalah mengantarkan keempat anaknya berangkat ke sekolah yang lokasinya tidak jauh dari rumah. Di waktu senggang, mereka biasa mengobrolkan apa saja, termasuk agama dan kematian. "Kami tidak membicarakan agama lewat pendekatan surga neraka, melainkan ampunan dan kasih sayang," tutur Candra.