Yuk Berderma Selagi Muda
Aan Rohayati (67) membuka pintu dan mempersilakan kami masuk ke rumah kontrakannya di Jalan Mandor Goweng, Beji, Kota Depok, Jawa Barat, persis di samping kampus Universitas Indonesia. Dia menggelar kasur tipis sebagai pengganti tikar lalu menyediakan minum.
Sambil berbincang, Emak, begitu panggilan Aan Rohayati, menyalakan televisi berukuran 40 inci. Televisi baru. Di bagian atas dan bawahnya masih menempel plastik pembungkus. ”Ini dibeli dari uang hasil sumbangan. Juga beli kulkas. Sejak ada tivi tidak sepi lagi,” katanya sambil sesekali memijat punggungnya yang tidak bisa lagi lurus.
Emak hidup sebatang kara sejak ditinggal mati suaminya, Amat, sembilan tahun lalu. Dia terusir dari rumah lamanya dan bertahan hidup dengan berjualan makanan dan minuman di salah satu pojok gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Penghasilannya tak menentu, terkadang hanya Rp 20.000 sehari. Emak yang mengidap asam lambung pernah pingsan karena terlalu lama menahan lapar. Dari peristiwa itu, mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa UI membuka kampanye di Kitabisa.com bertajuk ”Sedekah untuk Emak”. Mereka menargetkan dana Rp 15 juta, nyatanya terkumpul hingga Rp 31,8 juta.
Selain untuk membeli televisi dan kulkas, uang itu dipakai untuk membayar utang Emak pada warung langganannya sebesar Rp 1,5 juta serta biaya sewa rumah seluas 40 meter persegi Rp 4 juta per tahun. Sisanya untuk modal usaha dan biaya hidup emak.
Berkat gerakan yang diinisiasi generasi milenial, orang-orang susah seperti Emak ini bisa menjalani hidup lebih berkualitas. Hidupnya yang gelap dan berat terasa lebih ringan bersemu bahagia.
Sementara Alfa Naufal Nareswara (1 tahun) adalah anak yang ditinggal mati kedua orangtuanya setelah mereka tertimpa pohon. Terbayang betapa sulitnya hidup yang akan dia jalani kelak. Inilah yang mendorong kumpulan orang baik menggalang dana bagi Alfa secara daring yang lalu terkumpul Rp 290,4 juta atau lima kali lebih banyak daripada target awal. Sebanyak 1.590 orang tergerak menyumbang, mulai puluhan ribu rupiah sampai jutaan rupiah.
Iqbal Maulana dan rekan-rekannya sebagai penggalang dana merancang penggunaan uang itu sedemikian rupa untuk masa depan Alfa. Wijiyanti, nenek Alfa, tak perlu khawatir tentang biaya pendidikan cucunya hingga kuliah nanti.
Altruisme
Masyarakat, paling tidak warganet, amat responsif saat muncul seruan untuk berbagi meringankan penderitaan orang lain. Banyak yang membantu tanpa melihat latar belakang agama, ras, bahkan warga negara. Ini misalnya terlihat ketika muncul beberapa seruan membantu meringankan beban warga Rohingya. Yang mencolok salah satunya seruan Wali Kota Bandung, Jabar, Ridwan Kamil yang berhasil menggerakkan 16.733 orang dan hingga Sabtu (9/9) sore terkumpul Rp 2,6 miliar. Juga seruan Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu) dan Lazisnu masing-masing Rp 2,4 miliar dan Rp 325 juta. Belum lagi penggalangan dana yang dilakukan secara daring perseorangan dengan jumlah puluhan sampai ratusan juta rupiah.
Saat seruan itu muncul, warganet ramai menyerbu situs-situs penggalang dana. Sampai server Kitabisa.com jebol. ”Saking banyaknya orang baik yang membuka situs kami secara berbarengan. Ada ribuan orang dalam detik yang bersamaan,” kata Alfatih Timur, CEO Kitabisa.com.
Donatur tergerak karena rasa kemanusiaan, melintasi sentimen agama ataupun ras. ”Saya tak pernah peduli dengan agama penerima sumbangan. Alasan utama kemanusiaan,” kata Sweta Kartika (31), komikus Bandung yang rutin setiap bulan mendonasikan sebagian gajinya. Bagi dia, berdonasi merupakan penolak bala atau sejenis cara membersihkan harta karena sebagian harta dia adalah hak orang lain, orang-orang yang dilanda kesusahan. Itu ajaran agama Sweta. Ketika mendengar kabar ada yang kesusahan, terutama anak kecil, ia selalu membayangkan jika hal itu menimpa dirinya. Pada titik itulah, simpati dan empatinya muncul dan menggerakkannya untuk membantu.
Alasan serupa diungkapkan Gede Dito Wisnu Murti (26), yang kini menjadi donatur tetap NU Care-Lazisnu. Ia rela menyisihkan gajinya setiap bulan. Motivasi utamanya, adalah menjalankan ajaran agama yang diyakininya. ”Saya ingin berbagi kebahagiaan dengan memberi kepada yang membutuhkan,” kata Dito, panggilannya.
Pegawai swasta di Jakarta Selatan ini bersikap selektif dalam memilih lembaga yang ia percaya untuk mengelola dana bantuannya. Salah satu indikator yang ia pegang adalah rekam jejak panjang yang tepercaya. Ia pun lebih senang jika dana yang ia sumbangkan dimanfaatkan untuk bidang pendidikan, seperti beasiswa untuk anak kurang mampu. Pendidikan bisa mengubah nasib orang menjadi lebih baik.
Ia tidak mempermasalahkan apakah anak tidak mampu berasal dari kalangan yang seagama dengannya ataupun tidak. Baginya, siapa pun yang membutuhkan akan ia bantu sepanjang ia mampu. Dito pernah bersama teman-temannya membantu seorang rekannya yang berbeda agama yang tengah sakit.
Sementara Muhammad Agvian M memercayai bahwa banyaknya orang yang berada dalam kesusahan itu lantaran distribusi kesejahteraan yang tidak merata. Oleh karena itu, dia berkewajibkan turut membantu mereka sebagai bagian dari langkah pemerataan kesejahteraan itu. Karena itu, pegawai Sekretariat Kabinet ini menyisihkan sebagian gajinya untuk mereka.
Penyaluran dana ini banyak membangkitkan kesejahteraan rakyat, seperti peternakan ikan lele di Kabupaten Bogor, Jabar, yang mendapat suntikan dana dari Lazismu. Ada juga pemberdayaan pesantren dalam program santripreneur di Sukabumi dan Bogor oleh Lazisnu.
Keutuhan sosial
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Prof Rhenald Kasali menyebutkan, gerakan filantropis mampu menghadirkan keutuhan sosial dalam masyarakat. Gerakan ini juga bagus terutama untuk menyindir pemerintah yang tidak hadir atau tidak adil kepada masyarakat.
Masyarakat bergerak dengan caranya sendiri ketika melihat ketidakadilan. Di Indonesia, banyak orang berjiwa baik yang sering dimanipulasi orang lain. ”Ini sebenarnya penyimpangan positif sehingga terjadi dampak positif,” kata Rhenald.
Kontribusi terbesar gerakan filantropis itu tidak berasal dari kalangan tertentu. Masyarakat bisa menyumbang dengan hanya membawa Rp 20.000. Namun, justru itu yang membuat gerakan filantropis menjadi sangat besar.
Keutuhan sosial terlihat betul jika menyimak ungkapan Emak Aan Rohayati. Dulu dia menganggap orang-orang kaya dan mahasiswa itu hanya menghamburkan uang orangtuanya, tidak peduli orang miskin seperti dia. Setelah dia merasakan uluran tangan mahasiswa, Emak sadar, masih banyak orang baik di sekitarnya. Setidaknya, berkat kebaikan mereka, Emak tak lagi memikirkan biaya sewa rumah.