Ruang-ruang Rahasia di Rumah Sutradara Anggy Umbara
Di pintunya yang bercat putih, terpasang lima pegangan pintu. Pada bagian dalamnya, ada tiga pegangan serupa. Entah yang mana yang benar-benar bisa dipakai untuk membuka pintu. Itu belum apa-apa. Di dalam rumah, terdapat ruang-ruang rahasia yang hanya diketahui oleh para penghuni rumah.
Itulah keunikan awal rumah sutradara film Anggy Umbara (36) yang sejak kecil senang berimajinasi. Kelas 4 SD, anak bungsu dari tujuh bersaudara ini bercita-cita menjadi Superman. Ia pun rajin shalat tahajud setiap malam dan memanjatkan doa setelahnya agar cita-citanya menjadi superhero kesampaian.
"Kata ibu saya, kalau ingin doa kita dikabulkan, harus rajin tahajud tiap malam. Bermalam-malam tahajud, pas bangun pagi, mata saya sorotkan seperti Superman, kok tetap enggak mengeluarkan kekuatan. Sudah lompat-lompat dari loteng juga enggak ada perubahan apa-apa," ceritanya sambil tergelak.
Pikirannya yang imajinatif masih terus dipelihara sampai sekarang. Ketika hendak menunjukkan ruang kerjanya, Anggy mendekati rak buku yang menempel di dinding. Komik-komik Kungfu Boy dan Dragon Ball menghiasi rak itu. Perlahan didorongnya rak dan muncullah sebuah ruangan. Rupanya, rak itu merupakan kamuflase dari pintu ruang kerjanya. Masih ada lagi ruang-ruang semacam itu yang dari luar tidak terlalu tampak keberadaannya. Hmm, seperti dalam buku-buku cerita misteri saja.
Di ruang kerja itu, Anggy menulis naskah-naskah skenario film atau mengedit film di komputer. Anggy sudah menjadi penulis skenario sejak di bangku SMP. Saat itu, kakak ketiganya, almarhum Nanda J Umbara, sudah menjadi sutradara sejumlah program televisi. Anggy kerap diminta menulis naskah acara atas nama Nanda karena sang kakak sangat sibuk. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mengasah diri sekaligus mendapatkan penghasilan. Nanda juga yang menjadi mentor Anggy untuk ilmu penyutradaraan.
Anggy tidak sempat belajar penyutradaraan dari sang ayah, Danu Umbara, yang dikenal dengan filmnya, antara lain 5 Cewek Jagoan. Ayahnya meninggal saat Anggy berumur empat tahun. Namun, Anggy sangat suka menonton film. Ia tidak pernah terpikir menjadi sutradara. Selama di bangku SMA, Anggy sibuk mencari uang dengan nge-band dari kafe ke kafe. Kepergian ayahnya membuat kehidupan ekonomi keluarga merosot. Semasa kecil, ia pernah menjadi ojek payung dan berjualan kantong plastik di pasar.
"Saat SMA, saya selalu ranking 45 dari 45 siswa, tapi tetap naik kelas. Guru-guru sepertinya maklum karena saya harus kerja main musik sampai malam hari. Pukul 10.00 baru masuk kelas," ungkap Anggy yang menguasai alat musik secara otodidak.
Ketika kini mengenang perjalanan hidupnya, sutradara yang lima dari delapan film besutannya ditonton lebih dari satu juta penonton itu kerap merasa mellow, seperti diceritakan Anggy sambil bersantap di meja makannya yang terbuat dari kayu trembesi panjang. Ruang makan ini tersambung dengan ruang tengah yang menghadap beberapa layar televisi sekaligus.
Area ini juga menyambung dengan ruang keluarga yang dikelilingi rak-rak buku yang penuh menutup dinding. Lantainya ditutup dengan karpet yang pada waktu-waktu tertentu digunakan untuk shalat berjemaah. Selain buku-buku, susunan rak bercat putih itu juga dihuni foto-foto dan benda kenangan yang dibeli saat bepergian ke luar negeri serta penghargaan yang diraih Anggy dari berbagai festival, baik sebagai penulis skenario maupun sutradara film layar lebar dan videoklip.
Anggy mengawali karier di dunia penyutradaraan sebagai sutradara videoklip. Ini juga awalnya tidak sengaja. Anggy bergabung dengan kelompok musik metal yang mengusung lirik religius, Purgatory. Ia kemudian membuatkan videoklip untuk Purgatory. Sejak itu, Anggy diminta membuat videoklip band dan penyanyi lain, antara lain Dewa, Agnes Monica, D\'Masiv, Nidji, dan Indah Dewi Pertiwi. Ia juga menyutradarai ratusan iklan hingga kemudian memulai film layar lebar lewat Mama Cake pada 2010, namun baru diputar 2012.
Bioskop mini
Kesukaan Anggy pada film tergambar lewat bioskop mini yang terletak di lantai tiga rumahnya. Ruangan itu dilengkapi layar berukuran 4 meter x 3 meter dan delapan kursi merah besar yang empuk. Koleksi cakram padat film terletak di rak yang dibenamkan pada dinding sebelah layar. Selain untuk menonton film, ruangan ini juga dimanfaatkan untuk bermain games.
"Hasil dikomporin kontraktor. Katanya masak sutradara enggak punya bioskop sendiri," kata Anggy tertawa.
Sementara kesukaannya pada musik terekspresikan lewat sebuah ruang yang dijadikan studio musik. Siang itu, ia bersama anak sulungnya, Langit, dan keponakannya yang datang dari Leeds, Inggris, memainkan sebuah lagu metal kesukaan mereka.
Ada lagi tempat yang merupakan hasil "provokasi", yakni kolam renang. "Tadinya mau bikin kolam ikan. Tapi katanya nanggung. Akhirnya jadi kolam renang," lanjutnya.
Di keliling bagian atas kolam, dibuat tempat duduk dari kayu yang menyambung dengan lantai dua sehingga bagian atas kolam sekaligus menjadi void bagian belakang rumah. Void atau ruang kosong lain terdapat di bagian tengah rumah, yakni di atas ruang makan. Dari sini terlihat lantai dua yang terhubung dengan tangga yang lantainya tertutup parket kayu.
Pada dinding atas void terpasang poster-poster film Anggy. Selain Mama Cake, tampak Coboy Junior The Movie, 3: Alif Lam Mim, tiga sekuel Comic 8, dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 yang ditonton 6,8 juta penonton. Poster sekuelnya, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2, belum dipasang. Sejak diluncurkan hingga saat ini, film ini sudah ditonton hampir empat juta penonton.
Anggy mengaku bukan penggemar film komedi. Itu, menurutnya, menyumbang sikap obyektif saat membuat film komedi. Desember ini, film kesembilannya, 5 Cowok Jagoan, sebagai versi lain film 5 Cewek Jagoan akan diputar. Setelah itu, ia bersiap menggarap film horor Suzanna dan Gundala Putra Petir.
Tiba di lantai dua, terdapat kamar anak-anak Anggy dan istrinya, Wita Priyanthi. Terdapat juga kamar-kamar tambahan untuk keponakan-keponakan Anggy yang kerap datang ke sana, seperti saat itu, dua keponakannya tengah berkunjung.
Anggy tidak menggunakan jasa arsitek untuk merancang rumah. Ia lebih banyak melihat referensi dari internet dan berdiskusi dengan kontraktor yang juga temannya. Rumah yang berdiri di atas lahan seluas 286 meter persegi ini dibeli akhir tahun 2006, namun baru ditempati dua tahun kemudian.
Anggy dan Wita ingin sekali anak-anak mereka kelak bisa bersekolah di sekolah alam di Cikeas. Itu sebabnya mereka memilih pindah ke rumah ini. Sebelumnya, keduanya sempat tinggal di sebuah apartemen di Jakarta.
"Sejak awal menikah, kami ingin kalau kelak punya anak, sekolahnya di sekolah alam. Saat itu sekolah alam baru ada di sini. Jadilah kami pindah ke sini," pungkas Anggy.