Sentuhan Tangan Stephan
Di kalangan musisi dan anak band, Stephan Santoso (43) ibarat jaminan mutu. Lagu-lagu yang dia sentuh selalu enak di telinga dan akhirnya laku di pasaran. Dia berada di balik lagu-lagu laris Sheila on 7 dan Padi yang saat itu tembus sampai jutaan kopi. Album-album itu dan beberapa album berikutnya, mengantar Stephan delapan kali meraih trofi Penata Rekam Terbaik dalam ajang Anugerah Musik Indonesia. Terakhir trofi itu dia raih setelah menggarap "Firasatku" yang diyanyikan Piyu dan Inna Kamarie.
Hari-hari Stephan tak pernah sepi dari urusan musik. Dia sibuk mixing, mastering, juga ngeband sebagai gitaris di Musikimia. "Setiap minggu selalu ada mixing dan mastering. "Baru saja minggu lalu beresin mastering albumnya Endank Soekamti," kata ayah tiga anak ini di studionya yang juga bagian dari rumahnya di kawasan Cinere, Jawa Barat, Jumat (15/9).
Penata rekam itu ibarat chef dalam dunia kuliner. Dia yang meramu bahan-bahan menjadi sajian yang menawan. Jika kuliner memanjakan lidah, musik memanjakan telinga. Stephan mahir menyajikan musik yang memanjakan telinga itu. "Sebenarnya tidak ada rumusan khusus untuk membuat lagu enak itu alam bawah sadar. Hanya feeling," ujar Stephan.
Lantas bagaimana alam bawah sadar Stephan itu bisa begitu tajam?
Stephan kecil akrab dengan beragam jenis musik. Di rumahnya dia kerap mendengarkan lagu-lagu Van Halen, Led Zeppelin, hingga The Beatles. Adalah kakak kandungnya, Andre, yang menulari dia bermusik. Waktu itu Andre mulai ngeband sebagai penggebuk drum. Stephan yang masih duduk di bangku sekolah dasar tertarik bermusik ketika melihat Andre dan rekan-rekannya latihan. Dia pun ikut kursus gitar klasik.
Suatu hari, tantenya yang memiliki toko musik, memberi hadiah drumset kepada Andre. "Tante saya berjanji ngasih gitar listrik kalau saya latihan serius," kata Stephan mengenang masa itu.
Janji itu memotivasi Stephan. Apalagi dia juga merasa berbakat karena tidak begitu sulit menguasai gitar. Akhirnya dia mendapat gitar listrik itu meskipun masih bingung memainkannya karena selama ini hanya akrab dengan gitar bolong untuk latihan. Namun, dia tak mau menyerah dan terus latihan lagu-lagu Metallica, seperti "Master of Puppets" dan "Seek and Destroy". Dia mendengarkan lagu itu berulang kali lewat tape kompo dengan cara play, pause, rewind.
Ketika SMP, bakatnya semakin terlihat. Dia dilibatkan dalam beberapa rekaman sebagai session player, mengisi gitar pada rekaman. Juga terlibat dalam pembuatan beberapa jingle.
Kala itu, Stephan sudah terpesona dengan kualitas suara musik pada album-album dari band atau musisi luar negeri. Dia lalu mencoba-coba mixing sendiri dengan menggunakan dua tape compo. Satu tape berisi kaset yang memutar rekaman permainan gitarnya, lalu diputar dan direkam lagi dengan tape compo satu lagi sambil dia bermain gitar dengan harapan dapat dua bunyi gitar dalam satu kaset. "Tapi hasilnya butek ha-ha-ha."
Dia membaca banyak buku untuk mencari solusi agar bisa menciptakan hasil rekaman yang jernih. Namun, tak kunjung ada solusi. Hingga suatu hari, kakaknya pulang dari luar negeri dan memberinya hadiah alat rekam empat track. Dengan alat ini, Stephan bisa merekam dan membuat rekaman demo dengan hasil lebih bagus.
Watak ingin tahu dan mencoba hal baru itu sudah terbaca sejak kecil. Ketika usia SD di Surabaya, Stephan kerap naik genteng rumah dan berayun-ayun dengan berpegang pada kabel listrik di atasnya. Dia menikmati itu dan melakukannya berulang kali karena kabel itu tidak nyetrum.
Hingga suatu saat dia merasakan badannya bergetar dan terpental. Rupanya dia kesetrum dan ditolong tukang listrik yang saat itu sedang bekerja tak jauh dari rumahnya. "Kalau tidak ada tukang listrik, mungkin saya sudah mati. Atau justru saya kesetrum karena ada tukang listrik ha-ha-ha," kelakarnya.
Tentangan orangtua
Tahun 1991 Stephan makin serius bermusik dengan membentuk band dan berlanjut kontrak rekaman di Jakarta beberapa tahun kemudian. Rekaman itu diproduseri Yan Juana, yang juga dikenal bertangan dingin menghasilkan album-album laris. Pada saat yang sama, Stephan ingin melanjutkan sekolah musik di luar negeri.
Orangtua Stephan menentang pilihannya. Alasan utamanya khas cara pandang kebanyakan orangtua saat itu: dunia musik lebih banyak memberikan pengaruh negatif dan masa depan perekonomian yang samar. Pada titik itulah, Andre sekali lagi menunjukkan dukungan kepada Stephan. Dia meyakinkan orang- tuanya bahwa Stephan sangat berbakat di musik sehingga layak diizinkan sekolah musik. Bujukan Andre manjur sehingga Stephan bisa sekolah Recording Arts di Full Sail University, Florida, AS, lulus tahun 1997.
Saat kuliah dia sudah menyelesaikan rekaman bersama bandnya, tetapi tidak sempat menikmati rilis albumnya. "Pulang dari kuliah, bandnya sudah bubar."
Namun, hubungannya dengan Yan Juana terus terbina sehingga dia diajak bergabung menangani proyek penggarapan album Inditen, album kompilasi 10 band baru yang kelak menjadi band papan atas, seperti Padi, Cokelat, Caffeine, dan Wong. Pada penggarapan album ini, Stephan bekerja multitasking. Dia menjemput para anggota band dari bandar udara ke kantor untuk tanda tangan kontrak, mengurus penginapan mereka di hotel, lalu membawanya ke studio untuk rekaman. Dia juga yang merekam mereka sampai tengah malam, dan mengantarnya kembali ke hotel.
Pada kesempatan lain, saat proses rekaman album Sheila on 7 dan Padi, Yan berujar, "Kamu tungguin saja di studio." Itu berarti Stephan mempunyai kesempatan untuk membantu membuat musik bagus sesuai cita rasa dia. Lahirnya album-album Sheila on 7 dan Padi yang meledak di pasaran.
Nah, ketika dua band ini menjadi idola, karyanya ditunggu penggemar. Pada rekaman album berikutnya, banyak toko kaset ingin menstok kaset mereka sebanyak-banyaknya. Padahal, proses dari rekaman hingga pengadaan kaset di pabrik kaset, hingga dikirim lagi ke studio, bisa berhari-hari. Lagi-lagi Stephan diberi tugas untuk mengontrol kualitas suara hasil pengadaan kaset itu langsung ke pabriknya biar tidak bertele-tele.
Dia memaknai itu sebagai pengalaman yang menarik karena dia bisa mempelajari cara kerja pembuatan album hingga kualitas kontrolnya. Ini yang kemudian mempertajam insting dia dan membuka pintu kesuksesan lain. Pengalaman dipadu dengan latar belakang akademiknya, mengantar Stephan sebagai Mastering Engineer pertama di iTunes Indonesia. Penyanyi atau band yang ingin albumnya dipasang di iTunes harus melalui Mastering Engineer untuk menjaga kualitas musiknya.
Terus belajar
Stephan tak mau berada di zona nyaman. Dia terus belajar dan mengembangkan diri. Ini terinspirasi sang legenda Steve Jobs yang pernah berujar "Stay hungry. Stay foolish". "Di musik itu bisa diartikan tidak cepat puas. Terus bikin yang lebih bagus dan jangan sok pinter harus belajar terus. Pasti ada hal yang kita belum tahu." Itulah mengapa dia juga mencipta lagu, mengaransemen, dan juga mixing.
Untuk urusan industri musik, Stephan melihat zaman telah berubah dan para musisi maupun pelaku industri musik harus mengikuti perubahan itu. Mengutip buku yang dia baca, The Future of Music, tak banyak lagi yang mencari musik dalam bentuk fisik: kaset atau CD, melainkan streaming. Meskipun vinyl dan box set masih ada yang beli. "Ibarat air, ada air PAM dan air kemasan yang mahal. Yang laku sekarang air PAM, streaming. Murah, tetapi banyak yang nyari. Untungnya besar juga," kata pria yang sesekali olahraga jalan kaki, angkat barbel, dan basket ini sembari menunjukkan kelingking tangan kanannya bengkak.
Itu terjadi karena salah menangkap bola basket saat latihan bersama anak sulungnya. Dia selalu berusaha dekat dengan anak-anaknya, juga istrinya. Itu pula alasan dia membangun studio di rumah, biar tidak terlalu sering berpisah dengan keluarga.
Sore itu Stephan sempat bermian gitar. Permainannya sungguh aduhai membuat telinga seperti kesetrum keenakan. Tangan yang dulu kesetrum listrik itu kini menyetrum telinga lewat lagu-lagu ciamiknya.