Kepedulian dari Tempat Tinggal
Sekelompok pemuda berusia di bawah 25 tahun di Kampung Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Jawa Barat, mengabdikan waktu-waktu luang mereka mengurusi sampah lingkungan. Dari sesuatu yang dibuang, muncul kesadaran baru menjaga kebersihan tempat tinggal, sekaligus menghidupkan kreativitas.
”Coba apa yang terlintas ketika mendengar Katulampa? Banjir di Jakarta, kan? Nah kami tinggal di sana,” kata Hamdi Fajaruddin (21), yang akrab dipanggil Es, beberapa waktu lalu di Bogor.
Ketinggian air di Bendungan Katulampa, sekitar satu kilometer dari tempat tinggal Hamdi, jadi peringatan dini bagi banjir di Jakarta.
Warga sekitar Katulampa, lanjut Es, waktu itu masih agak kurang memedulikan kebersihan lingkungan kampung mereka. Sampah rumah tangga berserakan. Ada tempat sampah, tetapi sampahnya tak dibawa ke tempat penampungan. Pemerintah kota hanya menghibahkan dua gerobak sampah.
Memperhatikan hal itu, Lutfi Kurnia alias Uut (38) tergerak mendampingi pemuda-pemudi Kampung Katulampa. Uut adalah salah seorang tokoh kemasyarakatan Bogor yang sebelumnya sudah membentuk Komunitas Bogor Clean Action. Selama sekitar tiga bulan pada 2014, Uut mengorganisasi para kaum muda kampung itu.
Aksi pertama mereka terjadi pada 22 April 2014, bertepatan dengan peringatan Hari Bumi. Uut mengajak pegiat komunitas lain di Bogor untuk membersihkan sungai yang mengaliri Kampung Katulampa dari sampah. Sekitar 200 anak muda terlibat kegiatan itu.
Kegiatan itu cukup membekas bagi para pemuda setempat, seperti Es dan Jaenal Arifin (24), serta Muhammad Rizal (21).
Peduli Katulampa
Akhirnya, para pemuda itu berikrar membentuk Komunitas Peduli Katulampa alias Kompak pada 5 Mei 2015. Jadilah kaum muda kampung itu, seperti yang diakui Hamdi, sering nongkrong hingga larut malam, punya kegiatan yang jauh memberi dampak positif bagi lingkungan tempat tinggalnya.
”Setiap orang pasti punya potensi, termasuk para pemuda Katulampa,” kata Uut.
Kegiatan rutin Kompak adalah memunguti sampah rumah tangga. Mereka menggunakan gerobak sampah sumbangan ketua RW berkeliling lingkungan setiap malam. Sampah-sampah itu dibawa ke tempat pembuangan sementara.
”Siapa saja yang ada di pos, dia ikut kerja,” kata Es. Ada sekitar 15 orang yang tergabung di Kompak. Setiap malam bisa tujuh atau delapan orang yang keliling memunguti sampah.
Mereka tidak meminta bayaran kepada warga untuk kegiatan ini. Namun, tak jarang juga ada yang memberi tip sekitar Rp 5.000 sampai Rp 10.000. Uang itu masuk kas mereka.
Mengumpulkan sampah itu rupanya memberi manfaat juga bagi keamanan kampung. Mereka menjadi semacam ”penjaga malam” bagi kampung berpenduduk sekitar 200 keluarga itu. Tak jarang mereka memergoki maling yang berusaha masuk kampung. Warga kampung jadi terhindar dari kejahatan pencurian, yang sebelumnya sering terjadi.
Sampah yang terkumpul mereka pilah di saung yang mereka dirikan di tengah-tengah kampung. Sampah berbahan plastik, karton, dan bambu dikumpulkan. Bahan-bahan itu didaur ulang jadi kerajinan. Yang bertanggung jawab untuk urusan ini adalah Muhammad Rizal yang membawahkan Divisi Kreatif.
Bahan-bahan itu dimanfaatkan menjadi beberapa produk, seperti bingkai, pot bunga, gantungan kunci, stan lampu, dan mainan.
Mereka menjualnya di galeri berukuran sekitar 2 x 2 meter di sekitar Bendungan Katulampa. Harga sebuah pot, misalnya, berkisar dari Rp 13.000 sampai Rp 50.000 tergantung ukuran. ”Ini merupakan kreativitas anggota. Di sini semua anggota boleh berkreativitas semaunya asalkan dia mampu untuk melakukannya,” kata Rizal.
Mereka juga menjual layang-layang dan kaus seragam tim sepak bola. Mereka menciptakan sistem pembagian dari hasil penjualan barang-barang itu.
Tiga puluh persen disisihkan untuk kas komunitas. Sisanya dibagi untuk orang yang membuat karya, juga untuk penjaga galeri. Dari situlah komunitas punya dana operasional, sekaligus jadi sumber penghasilan bagi anggotanya.
Mereka juga berencana menghidupkan kembali kegiatan budidaya ikan cupang. Terdengar remeh-temeh, tetapi untung dari berjualan ikan cupang berlipat-lipat dibandingkan modal yang dikeluarkan. Es adalah penanggung jawab urusan budidaya ini karena ia biasa berjualan ikan cupang di Taman Sumber Karya Indah (SKI), Kota Bogor.
”Ikan cupang ini berdaya hidup tinggi. Mereka tetap hidup walau di lingkungan kotor,” kata Es, seolah menjelaskan etos hidup Kompak.
Galeri dan saung yang mereka dirikan akhirnya juga menjadi ruang publik bagi anak-anak. Sepulang sekolah, anak-anak itu sering mampir untuk membaca buku yang tersedia di sana. Tak jarang juga mereka bertanya kepada kakak-kakak di Kompak perihal pelajaran sekolah.
Buku yang ada di saung merupakan hasil dari sumbangan beberapa masyarakat, komunitas sosial di Bogor, dan swadaya sendiri. ”Walau markas kami sempit, kami mencoba untuk bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal,” kata Rizal.
Dari Kampung Katulampa yang teduh itu, para pemuda ini membuktikan bahwa kebersihan lingkungan bisa mendukung kreativitas, juga bermanfaat bagi warga sekitarnya. (HEI/*)