Kopi Tak Punya Kasta
Jamaludin bahkan dengan percaya diri menolak menjual kopinya ke produsen besar kopi instan karena harganya di bawah penawaran pemilik kedai. Pada titik ini, sang petani berdaulat atas kopinya sendiri karena bisa menentukan harga dan pembelinya.
Bagaimana tidak, kopinya mendapatkan perlakuan baik pada panen dan setelahnya. Buah kopi dipanen saat berwarna merah, tingkat kematangannya tinggi. Ini berbeda dengan cara panen asalan yang mengambil buah kopi berwarna kuning dan hijau. Kopi itu lalu dikupas, melalui tahap fermentasi, kemudian dijemur di atas terpal sehingga kopi tidak berasa tanah.
Era baru
Petani asal Kabupaten Lampung Barat ini mendobrak anggapan selama puluhan tahun bahwa perlakuan terhadap kopi itu sebatas tanam, petik, dan jual. Soal rasa, biar pasar yang menilai. Hasilnya pun seadanya. Begitu pula harganya. Sebaliknya, jika petani mau bersabar lebih dari 10 bulan menanti panen kopi, hasilnya bisa memuaskan. Di masa serba instan—ingin uang segera— hal itu cukup menantang.
”Masalahnya, petani tak boleh pintar dan tak boleh mengerti,” ucap Jamaludin yang mengaku mendapatkan pengetahuan tentang pascapanen dari pelatihan danmengobrol dengan pemilik kedai kopi. Itulah sebabnya tidak semua petani mampu menentukan harga kopinya sendiri.
Padahal, melalui laman dalam jaringan, yakni Barchart Robusta Coffee, petani dapat mengetahui harga kopi di pasar internasional terkini. Ini juga menjadi indikator penentuan harga oleh produsen kopi. Inilah era baru bagi petani kopi, ranah internet membuka segala sekat dan ketertutupan yang pernah ada.
”Sekarang, kami enggak bisa dibohongi lagi oleh tengkulak,” ucap Nana Permana, petani kopi lainnya.
Dia menuturkan, saat ini petani mempunyai dua pilihan pasar: produsen atau kedai kopi. Harga yang ditawarkan kedai kopi memang lebih tinggi karena terdapat sejumlah persyaratan dari kedai. Meski demikian, jumlah yang diminta kedai kopi umumnya masih ukuran kuintal, bukan ton.
Terlepas dari itu, lanjutnya, petani kini mulai bergairah menghasilkan produk terbaik demi memenuhi permintaan. Lahan warisan orangtuanya 20 tahun lalu yang hanya 0,5 hektar kini menjadi 2 hektar.
Salah satu kunci suksesnya adalah perencanaan keuangan. Hasil panen tidak semuanya dihabiskan untuk kebutuhan rumah tangga. ”Sebanyak 30 persen disimpan untuk kebun. Kemarin, baru beli rumah seharga Rp 350 juta. Anak saya juga memilih kuliah di agrobisnis untuk melanjutkan usaha kopi keluarga ini,” ujar Nana lagi.
Kesadaran
Pemilik kedai kopi Dr. Coffee, Alghazali Qurtubi (28), menilai, meningkatnya kesadaran konsumen akan produk kopi terbaik membuat kedai kopi mencari hasil panen berkualitas dari petani. Apalagi, minum kopi kini menjadi gaya hidup. Orang Lampung menyebutnya ”ngupi pay”, ajakan untuk minum kopi sambil mengobrol.
Menurut Ali, sapaannya, gelombang merebaknya kedai kopi di Lampung baru terjadi tiga tahun terakhir. Ini tergolong terlambat dibandingkan dengan hadirnya produsen kopi dan pengekspor kopi beberapa dekade lalu di sana. Sayangnya, nyaris tidak ada yang tahu sejumlah kopi di luar negeri datang dari Lampung. Robusta khas Lampung telah bercampur atau tersembunyi dibalik merek kopi instan.
Meskipun demikian, setidaknya ada 20 kedai kopi di Bandar Lampung yang menghadirkan kopi setempat yang tanpa campuran (single origin). Produk itu dijual dengan tulisan ”Kopi Asli Lampung”. Nama petani dan daerahnya juga tertera di sejumlah produk kedai. Di Bandara Radin Inten II Lampung, kedai kopi setempat punya tempat khusus.
Tak hanya kedai, barista lokal juga mulai menjamur. Mereka saling belajar satu sama lain. Bahkan, Hermawan (40), petani kopi, juga berencana menjadi barista. ”Saya ingin membangun kedai kopi di Lampung Barat sebagai daerah penghasilnya,” ujar mantan tukang servis elektronik itu setelah mengikuti lomba barista dalam peringatan Hari Kopi Internasional.
Ditanam pada ketinggian maksimal 800 meter di atas permukaan laut (mdpl), kopi robusta Lampung memiliki kekhasan dengan asamnya. Dibandingkan dengan kopi arabika yang ditanam hingga mencapai 1.400 mdpl, seperti di Flores dan Toraja, kopi robusta memang tak banyak varian rasa. Harga kopi arabika bisa lebih dari Rp 100.000 per kg. Oleh sebab itu, ada anggapan bahwa kopi arabika untuk kaum priayi. Penilaian sebaliknya ditujukan pada robusta.
Soal ini, Ahliansyah dari Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Lampung, yang juga penikmat kopi, mengatakan, robusta dan arabika tidak bisa dibandingkan. Keduanya memiliki kekhasan masing-masing dan dinikmati oleh siapa saja. Warung-warung di Lampung menyajikan kopi setempat. Pemprov Lampung mulai menyuguhkan kopi lokal untuk tamunya.
”Awal sejarah kopi Lampung belum ada yang pasti. Ada yang menyebut dari Arab, ada juga yang bilang dari Aceh. Yang jelas, saat masa penjajahan, Belanda membuka perkebunan kopi di Tanggamus dan Lampung Barat,” ujar Ahliansyah.
Dengan luas 160.876 hektar pada 2015, Lampung mampu memproduksi lebih dari 120.000 ton biji kopi robusta. Luas lahannya bahkan mengalahkan sawah di sentra padi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang hanya 116.000 hektar. Sebanyak 147.000 keluarga di Lampung bergantung pada komoditas ini.
Derajat baru robusta
Kopi robusta juga lebih kerap dirasakan lidah orang Indonesia. Dari produksi, 72,84 persen kopi yang dihasilkan di Tanah Air berjenis robusta. Sementara sisanya arabika. Hal ini juga yang membuat orang Vietnam puluhan tahun lalu datang ke Lampung untuk belajar tentang kopi robusta.
Namun, kini Vietnam berada di posisi kedua sebagai produsen utama kopi di dunia setelah Brasil. Indonesia hanya di posisi keempat, di bawah Kolombia. Di sisi lain, negeri ini masih mempunyai potensi besar dengan konsumsi kopi rata-rata hanya 1,1 kg per kapita per tahun. Jauh di bawah negara pengimpor kopi, seperti Jepang 3,4 kg dan Finlandia yang mencapai 11,4 kg per kapita per tahun.
Pada saat yang sama, nilai impor kopi tercatat 78,71 juta dollar AS. Jumlah ini juga turun 22 persen dibandingkan dengan tahun 2015. Neraca perdagangan di sektor kopi diklaim surplus dengan angka 349,18 juta dollar AS.
Namun, nilai tambah itu dapat dinikmati petani jika konsumen dalam negeri lebih mengapresiasi kopi berkualitas. Dengan begitu, petani akan berlomba-lomba menghasilkan kopi kualitas terbaik.
Tentunya dengan memberikan pelatihan hingga membuat iklim usaha yang baik bagi kedai kopi. Akhirnya, tidak hanya arabika yang dicari, tetapi juga robusta. Tidak ada kasta dalam kopi. Begitu pun penikmatnya.
Peringatan Hari Kopi Internasional yang pertama kali diselenggarakan di Lampung pada 29 September hingga 1 Oktober lalu adalah salah satu cara kreatif menaikkan derajat kopi robusta dan mendongkrak pasar komoditas ini. ”Kami ingin orang merasa sudah ke Lampung kalau menikmati kopinya,” ujar Gubernur Lampung Ridho Ficardo.