Kostumku, Aspirasiku
Para musisi dan penyanyi ini dengan sengaja memilih kostum-kostum yang mereka kenakan di atas panggung. Tidak sekadar untuk mencapai estetika penampilan, melainkan juga sebagai penyampai aspirasi mereka terhadap kondisi di lingkungan sekitar. Sungguh "fashion statement" yang menarik untuk disimak.
Kelompok musik Rocket Rockers saat tampil di ajang Synchronize Festival 2017 awal Oktober lalu, memilih kostum pasien rumah sakit. Pilihan yang tidak biasa. Dengan baju hijau dan tutup kepala berwarna serupa dan dipadu dengan celana pendek, empat personel kelompok musik pop punk ini tampil tak ubahnya pasien yang tengah dirawat di rumah sakit. Bedanya, penampilan mereka segar bugar. Musik dan syair mengalir lewat tangan dan mulut para "pasien".
"Pengin nyentil yang lagi ramai dibicarakan waktu itu," kata Aska Pratama, gitaris dan vokalis grup asal Bandung ini.
Selain itu, menurut Aska, malam itu mereka membawakan lagu-lagu dari album pertama hingga terakhir. Rocket Rockers telah menghasilkan enam album selama 18 tahun perjalanan bermusiknya. Aska pun mengakui, malam itu mereka tidak luput dari kesalahan-kesalahan saat tampil, terutama saat membawakan lagu-lagu lama mereka.
"Yang salah chord-lah, yang keliru liriklah. Tapi, kan, namanya juga pasien, salah-salah selalu dimaklumi. Itu alasan kami juga, sih, kenapa pilih kostum pasien," kata Aska setengah berkelakar.
Rocket Rockers tidak selalu tampil dengan kostum tematik seperti malam itu. Namun, untuk panggung-panggung yang mereka rasakan istimewa, mereka selalu menyempatkan untuk memilih kostum secara khusus. Saat pentas di Pantai Kuta, Bali, beberapa waktu lalu, pilihan pakaian putih-putih ala Justin Bieber menjadi pilihan ketimbang kostum kembang-kembang. Mulai dari sepatu, celana, atasan, dan topi, semuanya bernuansa putih-putih.
"Pilihan kostum putih-putih, kan, kontras dengan tempat manggungnya. Beda aja jadinya. Kami pengin coba kasih gimmick yang seru. Kadang ada penggemar yang nonton pentas kami berkali-kali dalam waktu berdekatan. Kalau kami pakai kostumnya itu-itu saja, kan, kasihan, yang nonton bisa bosan," kata Aska yang bandnya baru saja meluncurkan album baru.
Kostum putih-putih, menurut Aska, juga sebagai simbol harapan kedamaian terhadap "Pulau Dewata". Isu reklamasi yang menimbulkan perpecahan suara jangan sampai mengganggu ketenangan pulau ini. "Putih itu simbol kedamaian. Jangan sampai Bali jadi tidak tenang," ujar Aska.
Mendorong kemandirian
The S.I.G.I.T juga tidak selalu menyiapkan kostum khusus saat manggung. Namun, mereka selalu tampil rapi demi menjaga profesionalitas saat pentas. Patokan berbusana mereka lebih pada selera berpakaian yang terpaut juga pada selera musik kelompok rock ini. Namun, para personel kelompok yang sudah eksis sejak tahun 1997 ini, paling sering terlihat berpenampilan "jadul" ala tahun 1970-an, dengan celana cutbray atau bootcut.
"Kami sudah 20 tahun berteman, dari zaman SMA. Seleranya, dari baju sampai musik mirip-mirip. Mungkin karena saling memengaruhi," ujar Rektivianto Yoewono, vokalis dan gitar.
Bagi Rekti, panggilannya, mode paling menarik adalah dari era 1940-1970-an dengan kostum- kostum pas badan. Sayangnya, baju-baju yang ia cari kerap sulit ditemukan di toko-toko yang ada. Terkadang, ia sampai harus mencari di bagian wanita, tetapi yang berkonsep unisex sehingga tetap pantas dikenakan oleh pria. "Ukuran baju-baju yang ada sering kebesaran. Kadang-kadang bisa nemu yang pas di seksi wanita. Tinggal cari yang modelnya unisex," kata Rekti.
Beruntung, gitaris The S.I.G.I.T, Farri Icksan Wibisana, kemudian membuka bisnis clothing line. Rekti dan kawan-kawannya jadi lebih mudah mencari baju-baju yang mereka inginkan untuk manggung. "Karena seleranya mirip, biasanya apa yang saya cari sudah dibikin Farri atau kalau tidak, pasti dia mau ngulik untuk bikin yang kita mau," kata Rekti.
Menurut Rekti, ini seperti cerita orangtua dahulu, yakni jika tidak menemukan apa yang dicari di toko, ya, buatlah sendiri. Dengan begitu, secara tersirat bandnya juga ingin menularkan semangat membuat sendiri. "Semacam DIY-lah, do it yourself. Secara tidak langsung kami ingin menyampaikan. Kalau tidak ada, ya, buatlah. Dimulai dari pakaian sampai apa pun yang kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga pesan ini bisa ditangkap," kata Rekti.
Pencarian panjang
Pertama kali tampil, Arina Epiphania dan kawan-kawan dari band Mocca belum memperhatikan kostum di atas panggung. Mereka terlalu berfokus pada musik hingga lupa memikirkan penampilan. Kebetulan, saat itu di Bandung sedang banyak tumbuh bisnis distro. Beberapa adalah milik teman-teman mereka. Jadilah mereka mengenakan apa saja yang "dititipkan" rekan-rekannya yang tengah merintis bisnis baju.
"Dikasih jaket parasit, ya, dipakai. Dikasih apa lagi, dipakai. Waktu itu niatnya bantuin teman supaya bisnisnya maju," ujar Arina.
Hingga suatu saat mendaratlah di telinga Arina masukan tentang penampilannya yang sebaiknya disesuaikan dengan musik mereka yang telah memiliki karakter. Arina pun mulai memikirkan serius kostumnya di panggung. "Katanya, sayang, musiknya sudah bagus, tetapi penampilannya belum sesuai," kata Arina.
Dimulailah pencariannya terhadap gaya kostum yang pas sebagai vokalis Mocca, sosok yang paling disorot penonton. Arina pernah mencoba mengenakan celana panjang, rok, paduan rok dan blus, sack dress hingga dress terusan. Ini pencarian yang sulit, mengingat sehari-hari Arina lebih banyak tampil bak yogini mengingat ia senang jalan kaki ke mana-mana. "Saya merasa paling cocok dilihat pakai one-piece dress. Sampai sekarang gaya itu saya pertahankan," kata Arina.
Jadilah, Arina yang penampilannya seperti yang kita kenal sekarang. Bernyanyi atau meniup flute dalam balutan dress fit and flare bermotif bunga-bunga, polka dot, atau bergaris. Dress itu tampak pas di pinggang dengan bagian bawah berupa rok selutut yang mengembang. Rambutnya yang panjang digerai dengan tambahan bandana, semakin memperkental gaya penampilannya yang berkiblat pada era 1950-an.