logo Kompas.id
Gaya HidupKembali ke Akar
Iklan

Kembali ke Akar

Oleh
SRI REJEKI
· 5 menit baca

Lewat label terbaru mereka, para desainer ini menyajikan busana yang mengutamakan fungsi. Tentu tanpa melupakan aspek estetika penampilan. Masing-masing juga berusaha mengeksplorasi lokalitas, baik dalam bentuk material maupun teknik pakai.Melalui label barunya, Wastu, perancang Auguste Soesastro menghadirkan busana-busana siap pakai dengan harga terjangkau. Bagi Auguste, busana yang dirancang dengan baik merupakan hak setiap orang yang ingin tampil apik. Karya perancang semestinya tidaklah elitis. Namun, untuk mencapai itu ia harus menerapkan strategi, yakni dengan pemilihan bahan berkualitas yang harganya relatif murah dan bekerja sama dengan pabrik garmen berorientasi ekspor."Saya ingin menjangkau publik yang lebih luas. Saya percaya, semua orang berhak tampil menarik, bukan hanya orang yang punya duit. Selama ini ada kesan baju desainer itu mahal. Sekarang kami ingin bikin desain untuk semua budget, harganya Rp 300.000-Rp 750.000 per potong. Bukan berarti mutu dan bahannya jelek. Tentu juga bukan dari bahan mewah, tetapi tetap berkualitas," kata Auguste yang tampil dalam salah satu sesi di Jakarta Fashion Week 2018 di Senayan City, Jakarta. Auguste menggunakan kain-kain "sisa" ekspor dari pabrik tekstil rekanannya yang kemudian dijahit di pabrik garmen yang biasa mengerjakan baju-baju merek terkenal dari luar negeri. Dengan begitu, kualitas jahitan dapat dipertanggungjawabkan. Menggunakan kain "sisa", menurut dia, juga menjadi upayanya untuk mengurangi sampah tekstil. Koleksi Wastu ini bisa diperoleh di www.shopwastu.com. Wastu ia rancang sebagai busana yang fungsional dan ergonomis. Di atas panggung peraga, tampilannya tidak wah dan bukan sesuatu yang membuat orang berdesis "wow", namun baju-bajunya tetap terlihat apik dan memikat. Baju-bajunya ia desain sebagai baju yang nyaman digunakan dalam segala situasi, tidak merepotkan saat dipakai, dan tidak membutuhkan perawatan yang rumit. Meski begitu, Auguste juga mengatur agar busananya tetap mampu mengekspresikan pemakainya. "Baju yang terlihat bagus di runway (landas peraga) kadang-kadang belum tentu cocok digunakan di kehidupan sehari-hari. Mau dipakai ke mana. Untuk Wastu, desainnya tidak hanya mengutamakan bentuk, tetapi lebih ke fungsi dan ergonomis. Enak untuk dipakai di lapangan seperti apa pun. Jadi, misalnya, dengan baju itu, bisa enggak kita nutup garasi," kata Auguste. Ciri khasnya berupa struktur dan garis-garis arsitektural pada busana tetap tampak menonjol. Garis-garis ini tidak mungkin menghilang mengingat latar belakang pendidikan Auguste di bidang arsitektur yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan formal di bidang mode. Seragam, baju-baju tentara, baju-baju lapangan, seperti baju montir menjadi sumber inspirasi Auguste. Itu sebabnya banyak terlihat kantong-kantong yang bisa sangat fungsional untuk menunjang aktivitas. Kantong-kantong ini dibuat berukuran besar atau diposisikan miring sebagai keunikan.Warna-warna yang dipilih juga warna-warna dasar atau warna alam. Meski begitu, tetap ada warna kimiawi, semacam hot pink atau cobalt, untuk mewadahi ekspresi si pemakai. Untuk Wastu, Auguste berencana mengeluarkan koleksi baru setiap dua bulan sekali.Teknik pakai Deden Siswanto juga mengeluarkan label barunya, dr.n, yang berkolaborasi dengan dua rekannya, Rieta Amilia dan Nicky Astria. Label ini sebenarnya lebih ditujukan sebagai modest wear atau baju tertutup yang dalam pemakaiannya bisa tanpa hijab. Ciri khas Deden dengan manset putih pada bagian tangan dan leher tetap dipertahankan. Manset ini dibuat lebih panjang dari biasanya, hingga ke bagian siku atau melebihi ujung jari. "Berawal dari Nicky Astria yang mengeluh susah cari baju yang pas karena sekarang dia berhijab. Pengin yang unik, tetapi enggak mau yang sifon melulu. Lini ini lebih ke ready to wear. Masing-masing potong sebenarnya sederhana. Bisa dipakai ke mana saja," kata Deden. Namun, di atas panggung peraga, Deden menampilkannya bertumpuk-tumpuk ala gaya bohemia dan beberapa bergaya megah bak bangsawan, namun dengan pilihan warna material yang "lusuh" dan bukan yang mewah. Dalam satu set busana, ia bisa menumpuk dua hingga tiga potong sekaligus. Misalnya, gaun panjang dengan mantel panjang dan rok yang juga berlapis-lapis. Baju dan rok yang disusun secara berlapis-lapis atau layering membuat tumpukan busana tampak semakin bervolume. "Sebenarnya itu hanya styling saja, jadi terlihat bertumpuk-tumpuk begitu. Kalau dalam sehari-hari bisa hanya pakai satu macam saja. Pakai gaunnya saja atau outer-nya (luaran)," ungkap Deden.Menurut Deden, ia terinspirasi oleh gaya berpakaian ibu-ibu desa sebelum kemerdekaan, terutama di wilayah timur Indonesia yang senang menggunakan pakaian berlapis-lapis hingga tabrak motif. "Mereka pakai baju, kan, selempang sana selempang sini. Bagus-bagus saja. Buat saya itu menarik," kata Deden. Sutra sengkangKahfiati Kahdar menggunakan tenun polos sutra sengkang dari Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sebagai material utama koleksi busananya. Fifi, demikian ia biasa disapa, sebenarnya lebih sebagai desainer tekstil. Namun, ia ingin menampilkan material tekstil lokal dan hasil eksperimennya terhadap tekstil. Dengan label TextiLab, Fifi mengambil baju bodo sebagai inspirasi, yakni potongan baju tradisional yang banyak diadopsi dalam kehidupan sehari-hari setelah kebaya. "Buat saya yang bukan desainer mode, tetapi desainer tekstil, baju bodo itu paling mudah untuk saya. Selain itu, baju bodo ini yang paling banyak terkait dengan sarung sulawesi yang pernah saya teliti motifnya untuk disertasi S-2 saya. Ada 150 motif yang pernah saya teliti," ungkap Fifi yang sehari-hari dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Fifi mengambil baju bodo dalam bentuk dasar, yakni segi empat yang diberi celah untuk tempat tangan. Baju bodo ini dipadukan dengan gaun yang juga didominasi warna putih. Baju ini tidak dibuat panjang karena akan menjadi baju labu atau baju kurung. Fifi mengolahnya dengan tambahan makrame sebagai aksesori, sablon, dan potongan laser pada bahan sutra yang sengaja dibiarkan mentah. Makrame dan teknik tali-temali diperkirakan akan menjadi tren hingga lima tahun ke depan. Warna sutra yang putih disebabkan kainnya tidak dimasak. Dengan begitu, warnanya tidak berubah dan teksturnya tetap agak kaku sehingga menunjang sifat asli baju bodo yang terlihat kaku. Sifat kaku sutra disumbang oleh kandungan trisin atau air liur ulat sutra. "Kain yang dimatangkan atau dimasak akan menjadi lembek seperti sutra pada umumnya," kata Fifi. Menurut Fifi, Indonesia memiliki teknik-teknik lama dan sejarah yang panjang dari beragam kriya tekstilnya. Aspek ini yang bisa dimanfaatkan sebagai pembeda dan keunggulan terhadap tekstil dari negara-negara lain. "Kalau bicara teknologi, kita kalah karena tertinggal. Tetapi, kita punya kriya atau kekuatan tangan yang jika kita olah dengan kualitas baik bisa menjadi keunggulan," kata Fifi.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000