Tercabik-cabik Sensasi Ngeri
FILM horor yang baik haruslah mampu mencabik-cabik emosi penontonnya. Penonton menjadi peduli dengan keselamatan karakter-karakter utama dan merasa teryakinkan terhadap semesta yang dibangun di dalam film itu. Tidak harus logis, namanya juga fiktif, tetapi film horor tetaplah harus masuk akal dalam ukuran alam semestanya sendiri.
”Dan, pada akhirnya, saat film berakhir, penonton masih terngiang-ngiang dengan adegannya. Mirip ketika saya menonton Bayi Ajaib saat kecil dulu yang sukses membuat saya takut ke toilet jongkok selama berhari-hari karena ada adegan kemunculan tangan di kakus,” kata Ekky Imanjaya, dosen Jurusan Film Universitas Bina Nusantara dan kandidat doktoral Kajian Film di University of East Anglia, Inggris.
Lalu bagaimana pembuatan film horor demi mencabik-cabik emosi penonton itu? Tengoklah betapa ribetnya pembuatan film Mata Batin dan film Dongeng Mistis yang akan segera tayang. Pengambilan gambar Dongeng Mistis yang disutradarai Vicky Ray dilakukan tengah hari di sebuah rumah tua di kompleks perumahan di Jatinegara, Jakarta Timur. Hanya ruangan dengan pencahayaan sangat rendah.
Ada 20 kru film dalam ruangan berukuran 6 meter x 4 meter. Suasana pun sumpek, belum lagi asap dari pistol asap(smoking gun) yang ditembakkan ke dalam ruangan yang membuat mata perih dan dada sedikit sesak. Asap ini untuk memberi kesan suasana misterius. Aroma kemenyan segera membekap hidung. Rapal mantra terdengar dari mulut pria tengah baya. Sosok di sebelahnya tak kalah misterius, perempuan berbaju kuning dengan rambut panjang tergerai.
Keduanya menghadap meja yang di atasnya terdapat boneka-boneka kecil dengan bercak merah yang ditusuk jarum, senjata tajam, taburan bunga, dan dua gelas berisi cairan hitam. Samar-samar, di sisi bahu mereka terlihat tangan hitam dengan jari-jari panjang mencengkeram. Adegan ini masuk dalam segmen yang bercerita tentang Begu Ganjang, makhluk gaib yang ”hidup” di Sumatera Utara.
Begu Ganjang, yang dipercaya mampu membunuh manusia, dalam film hanya diperlihatkan tangannya yang panjang karena memang begitulah legenda yang beredar. Dongeng Mistis, yang merupakan omnibus terdiri atas enam film pendek, adalah film keenam produksi Renee Pictures. Sebelumnya Renee Pictures juga memproduksi film horor Tuyul yang berhasil mendatangkan 200.000 penonton ke bioskop.
Ramuan takut
Semua film pendek dalam Dongeng Mistis bercerita tentang hantu ”nasional” dan hantu ”lokal” yang dikenal akrab publik di Tanah Air atau di daerah tertentu, seperti sundel bolong, genderuwo, pocong, bajang, dan caya sukma. Hantu ini lebih dekat di benak masyarakat Indonesia ketimbang hantu ”impor” seperti drakula atau zombie.
Dengan kedekatan ini, diharapkan daya ”membuat takut” juga lebih besar. ”Indonesia ternyata kaya akan makhluk gaib. Bahkan, di setiap daerah bisa punya hantunya sendiri. Hati-hati saja jika sedang ke suatu daerah,” kata Vincent Jose, salah satu produser film Dongeng Mistis, dengan mimik wajah serius.
Film Mata Batin, yang segera tayang di bioskop pada November 2017, juga punya ramuan tersendiri demi menakut-nakuti penonton. Film ini bercerita tentang kemampuan mata batin yang membuat manusia bisa melihat makhluk dimensi lain. Selain dibintangi Denny Sumargo dan Jessica Mila, film besutan rumah produksi Hitmaker Studio ini juga dibintangi aktris muda Bianca Hello, aktor kawakan Epy Kusnandar, dan ahli parapsikologi Citra Prima.
Hitmaker Studio yang memproduksi Mata Batin memang mengkhususkan diri membuat film horor. Memulai debutnya pada 2012, Hitmaker Studio sudah menelurkan delapan film, antara lain Rumah Kentang (2012), The Doll (2016), dan The Doll 2 (2017). Untuk bisa bersaing dengan banyaknya film horor yang saat ini tengah tayang bersamaan, Chief Executive Officer Hitmaker Studio Rocky Soraya menyiapkan hal yang berbeda di setiap film garapannya.
Kali ini, dalam film Mata Batin, Rocky menggunakan teknik pengambilan satu segmen selama satu menit hanya dalam satu kali pengambilan gambar dengan satu kamera saja tanpa cut dan tanpa dibantu pengambilan gambar dari kamera lain. Ia mengklaim teknik ini baru diterapkan pertama kali di Indonesia.
”Harapannya dengan teknik ini kami bisa membuat penonton melihat apa yang karakter film lihat sehingga diharapkan mendapatkan sensasi kengerian yang lebih pada penonton,” ujarnya.
Eksplorasi mistis
Selain itu, kebaruan ide cerita dan mengeksplorasi hal-hal mistis juga menjadi ramuan Rocky dalam menciptakan film horor yang digemari. Selebihnya, tata rias hantu yang tampil juga lebih ditingkatkan. Rena (35) yang bersama 12 rekannya berperan menjadi setan di Mata Batin, misalnya, didandani selama 30 menit oleh tim tata rias untuk membuat bola mata sebelah kanannya seakan bolong dan bersimbah darah.
Saeful yang berperan sebagai Begu Ganjang, yang sebelumnya berperan sebagai ”setan” di film Gerbang Neraka, juga harus rela didandani bagian tangan dan tubuhnya selama dua jam. Hanya bercelana pendek, tangan Saeful dilumuri cat body painting berwarna hitam. Setelah itu tangannya diberi lateks yang kemudian ditempelkan potonganpotongan kapas ke atasnya. Kapas ini kemudian diwarnai kemerahan.
”Di film horor, banyak memakai make up prostetik, kostum khusus, make up efek, dan lain-lain yang makan waktu dalam penyiapannya,” kata Gandhi Fernando, produser sekaligus pemain film Dongeng Mistis.
Iskandar Muda (26) alias Ismud, koordinator komunitas pencinta horor JAKK Inc, berharap para penonton dan penikmat film bergenre horor bisa kritis dan menuntut lebih kepada para produser, sutradara, dan pemain film agar memberi mereka produk film dan tontonan berkualitas. Jika kebanyakan penonton masih sekadar ikut-ikutan, terbawa tren, dan tidak serius, Ismud khawatir produsen film akan kembali berkompromi dan malah menurunkan kualitas film-film mereka.
Ismud juga berharap di masa mendatang dunia perfilman horor Indonesia dapat kembali memiliki artis-artis ikonik seperti pernah muncul di era 1980-an dengan sosok mendiang Suzanna. Ketika itu publik sangat menantikan film-film horor terbaru yang dibintangi Suzanna. Dengan demikian, diharapkan produksi film-film horor berkualitas meningkat kuantitasnya.
Tren meledaknya film horor Indonesia, menurut Ekky Imanjaya, salah satunya adalah akibat jenuhnya pasar dan pembuat film. Setelah 1998, banyak film horor yang acap dianggap murahan, yang biasanya bermula dari kata kunci ”pocong” dan ”kuntilanak”. Umumnya, mereka ini produk dari sistem outsourcing—mengutip istilah Thomas Barker di tesisnya, yaitu ada rumah produksi besar yang meminta sineas di luar mereka untuk membuatkan film.
”Sekilas, ini seperti tren karena membanjirnya film-film horor, tetapi tidak juga. Sebab, jika kita melihat data, sebagian besar film jenis ini hanya bisa meraup 300.000-400.000 penonton dan hanya sedikit yang menembus 500.000 jiwa (justru banyak film terobosan yang masuk daftar terlaris). Dan, karena budget sedikit dan mereka bisa memproduksi dalam hitungan hari, dengan jumlah penonton sedikit itu sudah cukup untuk untung dan membuat film baru. Karena itu, banyak diproduksi,” kata Ekky.
Ekky melanjutkan, ”Namun, lama-lama penonton jenuh. Ceritanya itu-itu saja, misalnya, jadi mudah ditebak dan akhirnya membosankan atau bahasa film yang mencontek horor Asia lainnya (seperti Jepang, Thailand, dan Korea). Kebanyakan lebih ke visual horor (audiovisualnya yang seram), bukan narrative horror (yang seram itu ceritanya). Bahkan, banyak yang levelnya masih ’mengejutkan’ (bikin kaget) bukan ’menakutkan’. Bahkan, bumbu-bumbu seks dan bintang porno juga tak mampu mendongkrak penonton.”
Ekky juga menyebut, sebenarnya dari dulu, ada film-film (bernuansa) horor yang berupaya lain. Contohnya Jelangkung (2001). Selain itu, juga film-film Joko Anwar, khususnya Pintu Terlarang dan Modus Anomali. Jangan lupakan Mo Brothers (Rumah Dara, Killers) dan Upi (Belenggu). Film bagus lainnya adalah Sundel Bolong (Hanung Bramantyo), Keramat (Monty Tiwa), Pocong 2 (Rudi Soedjarwo), Hantu (Adrianto Sinaga), dan Setan Jawa (Garin Nugroho).
”Saya senang film horor mendapatkan kepercayaan lagi dari penonton Indonesia dan menjadi bagian dari box office. Dulu, kan, banyak yang melecehkan, padahal saya berpendapat bahwa yang jelek itu film dan pembuatnya, bukan genre horornya. Karena banyak sutradara besar bikin film horor terkenal, mulai dari Kubrick hingga Scorsese. Kini, semakin banyak sutradara kelas A Indonesia yang bikin film horor,” ujar Ekky lagi. (EKI/BKY/DWA)