Ratusan orang masih mengantre untuk menitipkan tasnya di tenda penitipan tas (drop bag) Mandiri Jakarta Marathon 2017, Minggu (29/10). Bukan hanya tenda—yang baru buka pukul 04.30-an, terlambat dari yang dijanjikan pukul 03.00—manajemen penitipan tas juga membingungkan. Tiba-tiba, di tengah omelan para peserta soal drop bag, flag off untuk peserta ternyata sudah dikibarkan.
Para peserta yang masih di antrean penitipan tas maupun toilet pun kalang kabut. Start full marathon (FM) yang dijadwalkan pukul 05.00 ternyata dimajukan menjadi 7-8 menit lebih cepat. Mereka segera berhamburan berlari untuk start. Banyak di antara mereka belum bersiap diri untuk berlomba.
Drama pertama di Minggu (29/10) subuh itu baru permulaan. Para peserta half marathon (HM) yang dijadwalkan mulai start pukul 05.10 ternyata langsung dilepas menyusul peserta FM yang sudah terlebih dahulu berhamburan.
Omelan dan cacian pun bertebaran di Minggu subuh yang seharusnya penuh semangat kegembiraan itu.
”Tiba-tiba saja MC mengumumkan, Pak Sandiaga Uno, Wakil Gubernur DKI Jakarta, yang akan berlari 10 K ternyata memutuskan lari 21 K dan langsung berlari. Jadilah para peserta HM juga diperintahkan untuk segera lari,” cerita seorang pelari perempuan.
Belakangan diketahui, Sandiaga yang juga penggemar olahraga lari itu ternyata berlari di ajang internasional itu tanpa memakai bib, nomor dada. Mungkin teman-teman berlari atau staf di sekitarnya lupa mengingatkan jika tindakan seperti itu disebut sebagai ”bandit runner”. Mungkin Wagub DKI berlari sebagai penggembira saja. Penggemar lari menyebutnya sebagai ”ngebandit” untuk pelari yang berlari tanpa bib atau tidak mendaftar tetapi ikut berlari.
Setiap tahun Mandiri Jakarta Marathon seperti tidak pernah luput dari drama. Keluhan para pelari yang sudah membayar mahal untuk pergelaran itu adalah terkesan tidak berpengaruh terhadap pihak penyelenggara Jakarta Marathon dari tahun ke tahun. Untuk mengikuti hajatan itu, pelari harus membayar Rp 600.000-Rp 900.000, tergantung pada kategori pilihannya.
Padahal, seperti pernah disampaikan Sandiaga seusai Jakarta Marathon tahun lalu, buruknya penyelenggaraan Jakarta Marathon akan menjadi citra buruk bagi Jakarta. Saat itu dia menjanjikan jika dirinya memegang pucuk pimpinan Provinsi DKI Jakarta akan memperbaiki Jakarta Marathon lebih baik.
Pengulangan drama Jakarta Marathon tahun lalu kembali terjadi. Selain waktu start yang dimajukan, keluhan lainnya adalah tetap tidak aman dan nyamannya peserta berlari di lintasan.
Para pelari memang harus berzig-zag di antara warga kota yang memenuhi lintasan di kawasan hari bebas kendaraan bermotor itu. Tidak ada marshal yang mengarahkan pelari ataupun mencegah warga non-peserta memasuki lintasan lari. Pelari berbaur dengan pesepeda dan pejalan kaki.
Peran komunitas
Sebaliknya, para pelari juga seperti tidak pernah kapok untuk mengikuti lomba tersebut. Alasannya, mereka merasa harus berlari di kotanya sendiri. Jakarta.
Beruntung dalam berbagai drama Jakarta Marathon itu, berbagai komunitas pelari bahu-membahu mendukung rekan-rekan pelari. Di sejumlah lokasi, belasan komunitas menyediakan water station untuk mendukung para pelari.
Chairman Jakarta Marathon 2017 Sapta Nirwandar mengatakan, pihaknya berambisi menyaingi New York Marathon. ”Jadi, kami harus jadikan Jakarta Marathon satu kelas dengan Boston atau Berlin Marathon,” katanya , Rabu (25/10).
Tiga kota tersebut merupakan tiga dari enam kota di mana World Major Marathon (WMM) dunia dilaksanakan.
Tetapi, membandingkan Jakarta Marathon dengan WMM masih jauh panggang dari api. ”Dibandingkan dengan penyelenggaraan Maybank Bali Marathon saja masih jauh,” ujar seorang peserta.
Mungkin Jakarta membutuhkan event maraton lain lagi yang lebih baik. Dengan demikian, para pelari memiliki pilihan berlari maraton di Ibu Kota.
Bisa juga penyelenggara Jakarta Marathon sudah percaya diri. Drama apa pun terjadi dan seburuk apa pun penyelenggaraannya, toh, para pelari tetap akan ikut Jakarta Marathon berikutnya. (USH)