Bunda, ”Gamers” adalah Atlet! Setuju?
Asian Games 2022. Pesepak bola yang berlari ke sana kemari untuk menyarangkan bola ke gawang lawan dan dia yang duduk menghadapi layar komputer seraya jemarinya menggerak-gerakkan tetikus dalam ”online game” sepak bola punya predikat yang sama. Keduanya adalah atlet.
***
Masa jaya warung-warung internet yang menjamur di dekade 2000-an telah redup, tetapi tak benar-benar habis. Di dekat sudut sebuah pertigaan Jalan Otto Iskandardinata, Jakarta Timur, satu kios kecil menyempil di deretan toko kelontong dan warung makan. Ada stiker tertempel di jendela kaca besar kios yang juga berpintu kaca itu. ”Warung Internet”.
Di dalam, lampu dengan cahaya kuning yang tak benderang menyiram areal tempat meja kasir, lemari kaca berisi tumpukan kertas HVS, dan lemari pendingin berada. Lepas dari itu, suasana temaram. Sore itu, hanya terlihat tiga kepala di belakang deretan layar monitor. Usia mereka muda. Mungkin masih pelajar SMA atau sudah studi di perguruan tinggi.
Mereka duduk dalam diam dengan mata tajam memandangi layar komputer. Telinga-telinga mereka tertutup headset, yang meredam suara gemuruh yang dihasilkan komputer. Para remaja itu tidak berselancar menelusuri data di dunia maya. Mereka tengah ”bertarung” dengan seseorang, atau sekelompok orang, nun entah di mana, dalam permainan video game dalam jaringan.
Warung internet—yang masih bertahan—kini memang mengandalkan para gamers. Wujud warung-warung itu pun sekarang umumnya tampil lebih bersahaja dengan ukuran yang tak lagi besar. Di kawasan permukiman di Bekasi, misalnya, warung seperti itu hanya memakai petak kios terbuka berukuran sekitar 3 x 4 meter persegi. Cukup untuk meletakkan enam set personal computer.
Siapa bilang video game adalah permainan anak-anak dan remaja?
Seperti di Jalan Otto Iskandardinata, warung internet di Bekasi itu ”hidup” pada malam hari. Para remaja dan pemuda asyik mengasah keterampilan, kekuatan, dan ketangguhan mereka—sebagai prajurit pasukan khusus, ksatria negeri khayalan berpedang, pebalap mobil formula, atau pemain bola—lewat gerakan jemari mereka di atas tetikus dan papan ketik atau joystick. Mereka duduk bertekun hingga tengah malam. Asap rokok menguar hingga ke luar ruangan. Botol-botol plastik minuman berkarbonasi dan botol kaca minuman penambah energi bergeletakan.
Permainan video menemukan kunci pembuka pintu bendungannya dalam era teknologi internet yang semakin massal dalam kemasan yang kian mudah sekarang. Untuk bermain, Anda tak lagi perlu membeli perangkat Playstation atau XBox yang mahal. Datanglah ke warung internet atau yang kian lazim adalah berbekal sebuah telepon seluler dengan sistem operasi Android, Anda bisa menjadi gamer, bermain video game daring, online game.
Para orangtua pun menemukan buah simalakama dalam telepon seluler anak-anak mereka. Tak diberi telepon genggam, para bunda sulit memantau keberadaan para buah hati mereka seusai sekolah—sudah dalam perjalanan pulangkah? Atau ada kegiatan tambahan di sekolah? Dibekali telepon genggam, waktu anak-anak itu banyak disita dengan menatapi layar telepon. Sebagiannya habis untuk bermain.
Kuota paket data pun cepat sekali lenyap dan berlembar-lembar rupiah harus lepas dari genggaman sepekan sekali. Para bunda juga harus menarik urat leher mengingatkan putra-putra mereka untuk berhenti melihat layar gadget, mengambil buku dari tas untuk mengerjakan tugas sekolah atau mandi sore, atau makan malam. Namun, siapa bilang video game adalah permainan anak-anak dan remaja?
Kalau hari libur, tambah dua-tiga jam dari biasanyalah.
Irwan adalah seorang akuntan berusia 40-an tahun. Menghabiskan sekian tahun kariernya sebagai bankir di salah satu bank besar nasional, kini Irwan berlabuh di kantor pusat sebuah perusahaan perkebunan.
Setiap hari, kesibukan rutinitas kerja harian membuat Irwan menjadi ”Batman”—tak pernah berjumpa matahari—di rumah. Berangkat kerja lepas pukul 05.30 dan tiba di rumah rata-rata pukul 21.00 malam. Kemeja lengan panjang, celana bahan merek terkenal, dasi katun atau sutera adalah identitas publik Irwan sebagai pekerja profesional megacity Jakarta.
Seperti Batman pula, Irwan punya identitas yang disembunyikan. Identitas itu dia simpan dalam ponselnya. Akuntan adalah profesi yang super sibuk. Tetap saja, Irwan yang lulusan fakultas ekonomi universitas terkemuka di negeri ini tersebut mengaku menghabiskan banyak waktu untuk bermain online games.
Di hari kerja, Irwan rata-rata menghabiskan sekitar 5 jam untuk bermain video game dalam jaringan seperti itu. ”Kalau hari libur, tambah dua-tiga jam dari biasanyalah,” ujarnya terkekeh.
Irwan pintar mengatur dan memanfaatkan waktu luang? Tidak juga. Tidak semua jenis permainan menurut pada para pemain: kapan akan dimainkan, kapan akan disudahi. Ada juga permainan yang mengendalikan pemain, dia hanya hadir pada jam-jam tertentu sehingga para pemain, jika tak ingin tertinggal, harus ”kompak” hadir serentak di dunia maya pada jam-jam ”permainan buka” tersebut.
Jam permainan tersebut pun tidak mengacu pada jam istirahat kerja di kantor atau di sekolah—inilah globalisasi karena para kontestan bisa berada di Jakarta, New Delhi, Seoul, atau London. Kalau sudah begitu, ”Masuk WC dulu saja. Lumayanlah 15 menitan,” kata Irwan.
”Gamers” di Asian Games
Kuwait, 17 April 2017. Kompleks kantor pusat Dewan Olimpiade Asia (OCA) yang terdiri atas tiga menara berlantai 11 hingga 20-an bermandikan cahaya malam itu. Dalam sebuah aula pertemuan, Presiden OCA Ahmad al-Fahad al-Sabah tersenyum lebar. Dia berjabat tangan dengan Zhang Dazhong yang juga tersenyum bahagia. Yang terakhir adalah pendiri dan CEO grup raksasa e-commerce, Alibaba Group, yang bermarkas di China.
Emas video games akan menentukan ”harga diri” bangsa.
Alibaba Group memiliki sayap usaha permainan video dalam jaringan, Alisports. Permainan video dalam jaringan memang telah menjadi bisnis amat menggiurkan. Firma riset pasar Newzoo melaporkan tahun lalu, permainan video dalam jaringan memiliki audiens 320 juta orang di seluruh dunia, sebagian besar di antara mereka berada di Asia (guardian.com).
Dazhong dan para penyedia permainan dalam jaringan tidak menyebut produk mereka dengan video games. Sudah sekian lama mereka memasyarakatkan istilah baru untuk itu: electronic-Sports, e-Sports, atau olahraga-elektronik, olahraga-e.
Dan malam 17 April di Kuwait, Dazhong yang menjadi ujung tombak pegiat permainan video memastikan, e-Sports bukan cuma istilah yang mereka reka-reka. E-Sports adalah sport, olahraga. Buktinya, di malam itu, OCA sepakat dan bersedia menjadikan permainan video dalam jaringan sebagai cabang olahraga resmi di Asian Games.
Video games pun sungguh-sungguh menjadi olahraga dan para pemainnya resmi menjadi atlet, terhitung mulai Asian Games 2022 di Hangzhou, China. Tahun depan dalam Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang, eSports—sebaiknya penulis tetap memakai terminologi lama: permainan video dalam jaringan—akan digelar sebagai cabang olahraga ekshibisi.
Lima tahun mendatang, para pemain online video games akan bertarung untuk sekeping medali emas. Seperti emas dayung yang menjadi penyelamat muka Indonesia di Asian Games 2010 atau emas bulu tangkis yang menjadi kebanggaan kubu Merah Putih di Asian Games 2014, sekeping emas video games di Hangzhou 2022 akan ikut menjadi penentu posisi sebuah negara di deretan peringkat. Emas video games akan menentukan ”harga diri” bangsa.
Kubu OCA sendiri punya salah satu pertimbangan dalam memasukkan sebuah permainan sebagai cabang olahraga resmi. OCA berkilah, permainan itu digemari dan banyak dimainkan oleh kalangan muda, khususnya di Asia.
Di Asia, video games memang punya penopang kuat. Di Asia, permainan itu dipayungi sebuah organisasi, Asian Electronic Sports Federation (AESF) yang telah beberapa kali menggelar kejuaraan[i]. Pada 2014, misalnya, final Kejuaraan Dunia League of Legends di Seoul, Korea Selatan, dihadiri lebih dari 40.000 penonton. Kompetisi yang menggunakan arena sungguhan itu juga ditonton puluhan juta orang lainnya melalui platform online di Madison Square Garden, New York; Staples Center, Los Angeles; dan MGM Grand Garden Arena di Las Vegas, AS.
AESF memang punya pendukung yang kuat, termasuk Grup AliBaba. AliBaba pula yang berhasil menjalin kemitraan strategis dengan OCA untuk mengembangkan pemasaran e-sports—juga mensponsori Asian Games—lewat kesepakatan April 2017.
Dalam payung OCA pula, permainan video dalam jaringan itu digelar sebagai salah satu cabang olahraga Asian Indoor and Martial Arts Games di Ashgabat, Turkmenistan, September lalu. Di pekan olahraga Asia itu, sejumlah jenis permainan ”dipentaskan” dengan menyandang nama MOBA (multiplayer online battle arena) dan RTA (real time attack).
Bila OCA telah mengamini permainan video dalam jaringan sebagai olahraga, Komite Olimpiade Internasional masih memandang eSports secara kritis. ”Kami belum yakin 100 persen apakah eSports benar-benar olahraga, dengan mengacu pada aktivitas jasmani dan hal yang dibutuhkan agar dapat disebut olahraga,” ujar Presiden IOC Thomas Bach.
Permainan video dalam jaringan memang jauh dari aktivitas jasmani. Bertekun diam selama total 5 jam sehari seperti yang dilakoni Irwan belumlah apa-apa. Para pemain video games daring asal Taiwan yang menyebut timnya Flash Wolves bahkan biasa berlatih selama 15 jam sehari, tujuh hari sepekan. Menghadapi Kejuaraan Leage of Legends di Beijing, 4 November mendatang, persiapan mereka kian menggila.
Kantor berita AFP melaporkan, markas latihan tim itu penuh dengan botol-botol kosong minuman penambah energi berkafein[ii] dan suplemen penambah daya tahan tubuh, seperti minyak ikan cod. ”Sebagian besar waktu untuk ’pekerjaan’ ini dilakukan di depan layar. Aku tidak banyak berlatih fisik. Mungkin karena aku masih muda, apa yang kulakukan (berjam-jam duduk di depan layar komputer) tidak berdampak pada fisikku,” ujar Hu Shuo-Chieh, anggota tim Flash Wolves.
Permainan video juga dipandang sebagai polemik oleh kalangan psikolog dan ahli jiwa. Di satu sisi, permainan itu bisa menumbuhkan kecanduan, depresi, dan agresi. Penelitian yang lain menyebut hadir pula dampak positif dari permainan video, seperti melatih keterampilan kognisi dan kesadaran spasial.
Olahraga
Yang jelas, permainan video dalam jaringan adalah ekses dari kian majunya teknologi informasi dan telah menjadi sebuah industri yang menggiurkan. Kejuaraan dunia permainan video online, misalnya, mampu menyediakan hadiah total hingga 20 juta dollar AS bagi para kontestan.
Jumlah hadiah seperti itu tidaklah mengherankan. Dengan para pemain yang ratusan juta di seluruh dunia—dan potensi pemain yaitu miliaran jiwa yang memiliki gawai dan terkoneksi dengan data internet—permainan itu tentu menarik sebagai media iklan industri terkait: produsen gawai, perusahaan telekomunikasi penyedia data seluler, hingga industri produsen permainan dalam jaringan seperti Alisports.
Dengan data seperti itu, Indonesia adalah potensi pasar yang subur bagi peningkatan permainan video dalam jaringan, eSports. Kompas.com pada 24 Oktober 2016, misalnya, melansir hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII). Tahun itu, survei menemukan bahwa 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung dengan internet. Nyaris separuh populasi.
Tentu saja, diterima atau tidaknya para pemain video dalam jaringan dalam predikat olahragawan akan bergantung pada penerimaan masyarakat, khususnya para orang tua. Seperti juga yang dialami Hu.
”Pada awalnya, keluargaku sebal dan kerap menghardik jika aku mulai duduk di depan komputer (bermain permainan video dalam jaringan). Mereka bilang, mengapa aku tidak belajar saja? Mereka pikir, semakin aku sering belajar, semakin tinggi gelar kesarjanaan yang bisa kuraih. Dan itu semakin baik untuk masa depanku. Tapi kini, mereka bersikap, asal aku tidak melakukan hal negatif seperti mengonsumsi obat-obat terlarang, mereka tetap mendukungku,” kata Hu.
Bagaimana Bunda? Apakah bersedia mendukung putra Anda menjadi atlet e-Sports, permainan video dalam jaringan? (AFP/AP)
[i] Selain itu, ada dua organisasi permainan video dalam jaringan (e-sports) internasional, yaitu International eSports Federation (IESF) yang bermarkas di Seoul, Korsel. Organisasi ini telah mendapatkan suntikan investasi dari AliBaba Sports Group sebesar 150 juta dollar AS, tahun lalu. Selain IESF, ada International eGames Committee (IEGC) yang didukung pemerintah Inggris. Pada 2016, IEGC telah menghubungi Komite Olimpiade Internasional (IOC) guna menanyakan syarat-syarat yang memungkinkan permainan video dalam jaringan masuk menjadi salah satu cabang olahraga di Olimpiade (Guardian.com, Selasa 18 April 2017).
[ii] Meski tidak lagi berkategori doping sejak 2004, badan antidoping dunia WADA kembali memasukkan zat kafein dalam program pemantauan, monitoring program, tahun ini dan tahun depan. Kafein dikategorikan sebagai stimulan yang bisa meningkatkan performa atlet dalam pertandingan.