Pelangi di Atas Telaga
Jazz dianggap sebagai alat pemanggil yang baik bagi pelancong untuk datang ke daerah. Ipong Muchlissoni ingin memperkenalkan potensi pariwisata daerahnya. ”Pernah saya kirim WA foto Telaga Ngebel ke kawan-kawan saya. Mereka tanya ’Ini di mana, di Swiss, ya?’ ha-ha-ha,” kata Bupati dalam obrolan bersama wartawan di Resto Lumbung Djawa, Ponorogo.
Telaga Ngebel dianggap sebagai pintu masuk untuk mengenal Ponorogo. Termasuk kuliner unggulan berupa pecel dan sate ponorogo, yang berupa sate ayam dengan ukuran ”premium” serta rasa yang agak manis. Ada pula sate gule yang merupakan paduan antara sate ayam dan gulai kambing.
Pintu masuk
Reog Jazz Ponorogo adalah salah satu model perhelatan musik yang mengusung nama jazz serta digelar di tempat yang memiliki pesona visual. Pesona itu bisa berupa panorama alam atau situs purbakala, seperti candi. Tujuannya adalah sebagai pintu masuk orang untuk menikmati pesona panorama lokasi yang menjadi arena perhelatan.
Tengoklah Maumere Jazz Fiesta di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, 28 Oktober. Di sana tampil Krakatau, Ruth Sahanaya, Monita Tahalea, dan kelompok akapela Jamaica Café. Pengunjung, termasuk para artis penampil, sudah dibuat terkagum-kagum dengan keelokan Maumere ketika mereka masih berada di pesawat. Jelang mendarat di Bandar Udara Frans Seda, Maumere, mata disambut laut jernih membiru dengan lekuk-lekuk teluknya. Arena festival menyuguhkan panorama laut lepas. Sejauh mata memandang tampak hamparan luas Laut Flores. Warnanya membiru menusuk hingga ujung batas langit dan laut. Panggung terlihat bagai berada di atas tubir cakrawala.
Sebagian artis baru pertama kali menginjakkan kaki di Maumere. Bahkan, ada yang belum mengenal Maumere sebagai tempat yang berada di Pulau Flores. ”Saya pikir Maumere di Papua,” ujar Ruth Sahanaya.
Melchias Markus Mekeng, penggagas Maumere Jazz Fiesta Flores, sengaja mendatangkan para artis ke Maumere untuk menggairahkan potensi wisata kawasan ini. ”Banyak yang belum mengenal daerah ini, Maumere bukan di Papua. Maumere mempunyai keindahan-keindahan alam yang masih perawan,” kata tokoh warga Maumere yang juga dikenal sebagai politisi di Jakarta itu. Lewat jazz, Melchi ingin mengajak pengunjung menikmati Maumere. Hanya dalam jarak tempuh beberapa menit, kita bisa menyaksikan dua karakter lautan yang berbeda, yaitu lautan tenang di sisi utara dan lautan berombak besar di sisi selatan.
Pengunjung juga bisa menyelami kehidupan warga di kampung nelayan terapung di Wuring yang dihuni suku Bajo. Mereka membuat rumah di atas permukaan perairan laut dangkal. Karena mayoritas warga kampung terapung Wuring berprofesi sebagai nelayan, setiap hari orang hilir mudik ke Pasar Wuring membeli ikan laut segar. ”Ikan di sini baru mati satu kali, beda dengan ikan di Jakarta yang sudah mati berkali-kali,” ujar Stefanus, warga Maumere, untuk menjelaskan bahwa ikan yang dijual di sana merupakan ikan segar.
Ada pula jejak sejarah berupa gereja tua Santo Ignatius Loyola yang berusia 118 tahun, yang terletak di Kecematan Lela, sekitar 45 menit dari pusat kota Maumere. Bagi penyuka tenun, mereka bisa ke rumah tenun Lepo Lerun. Selain melihat dan merasakan sendiri proses menenun, pengunjung bisa menyaksikan atraksi tari-tarian dan nyanyian warga setempat.
Jalan-jalan
Kita beralih ke Baturra Jazz yang digelar di kawasan wisata Baturraden, Purwokerto, Jawa Tengah. Terletak di ketinggian 650 meter di lereng Gunung Slamet, penonton disuguhi udara sejuk dengan suhu berkisar 18-26 derajat celsius. Dengan jalanan yang halus serta berkelok, pengendara tidak perlu menyalakan pendingin udara jika sudah memasuki kawasan Baturraden.
Siang hari, deretan bukit di kaki Gunung Slamet berdiri anggun berhiaskan pucuk-pucuk cemara, damar, dan pinus. Pada malam hari, jika langit terang, kita bisa menatap bintang-bintang atau menikmati kerlip cahaya lampu kota Purwokerto, yang terletak sekitar 17 kilometer dari Baturraden. Pengunjung juga dapat menikmati segarnya aliran air yang berasal dari deburan Curug Kali Gumawang, air terjun dengan ketinggian mencapai 40 meter. Pengunjung juga bisa merasakan sensasi mandi air panas di Pancuran Tujuh serta menjelajahi Kebun Raya Baturraden.
Bukan hanya pengunjung, musisi yang tampil di perhelatan itu juga terpesona dengan alam sekitar lokasi. Salah satunya Barry Likumahuwa. ”Ini jadi suatu kehormatan bagi saya datang dari Jakarta untuk bisa main ke sini. Tempatnya juga keren banget. Jadi pengalaman menyenangkan,” tutur Barry.
Begitu juga Prambanan Jazz Festival, yang membuka pintu bagi penonton untuk masuk ke Candi Prambanan. ”Terus terang saja kami belum pernah ke Prambanan, lo. Memalukan sebenarnya. Ternyata keren sekali, ya, Candi Prambanan. Orang harus ke sini,” kata Dika, pemain bas Ad Band.
Begitulah pergelaran musik yang membawa nama jazz menjadi medium mengajak orang jalan-jalan mengenal negeri. Penonton diajak menikmati panorama alam Nusantara, seperti di pergelaran Maratua Jazz & Dive Fiesta pada 3-5 November di Pulau Maratua, Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur. Ada pula Mahakam Jazz Fiesta pada Desember 2017, yang digelar di tepi Sungai Mahakam. Kemudian, Mount Dempo Jazz Fiesta pada 23-24 Desember 2017 di Pagar Alam, Sumatera Selatan. Dan, Ngayogjazz pada 18 November di Desa Kledokan, Selomartani, Sleman, Yogyakarta.
Jazz telah menjadi gaya hidup. Penonton mendapat jazz berbonus pengalaman menikmati keindahan alam, serta blusukan ke situs-situs budaya dan desa-desa di pelosok Nusantara.
(ABK/DKA/DOE)