Dunia digital bak sebilah mata pisau. Kini, banyak di antara kerewelan perilaku dan ucapan anak-anak di bawah umur diatasi dengan memberikan gawai. Dari aplikasi permainan, media sosial, hingga berbagai aplikasi lainnya. Anak-anak menggunakan gawai dengan segala aplikasinya tanpa kontrol orangtua. Sementara orang tuanya sibuk dengan kepentingan diri sendiri, termasuk sibuk menggunakan gawai.
Belakangan, begitu getolnya orangtua mengabadikan tingkah kelucuan anak-anaknya, wajah sang anak pun dibagikan ke media sosial, tanpa benar-benar mempertimbangkan untuk menyaring lagi. Di sinilah, kejahatan mengintai tanpa disadari.
Rasa kegelisahan itulah yang menghantui sejumlah komunitas untuk bersatu dalam Indonesia Child Online Protection (IDCOP) atau Perlindungan Anak di Dunia Siber. Tiga tahun lalu, ketika kejahatan terhadap anak-anak mulai dirasakan semakin merajalela, mulai dari penculikan, perdagangan anak, hingga merebaknya perilaku penyimpangan seksual, lembaga ini pun dibentuk.
IDCOP ini merupakan kumpulan dari berbagai komunitas, antara lain Nawala, Sejiwa, ICT Watch, Ecpat Indonesia, Mudamudidigital, Relawan Teknologi Informasi Komunikasi, Fatayat NU, dan Kompak Jakarta. Mereka membendung dari berbagai sisi, terutama memberikan kesadaran akan pentingnya para orangtua melindungi anak-anaknya dari kekuatan dunia siber.
”Tanpa gerakan bersama, kita tidak akan kuat. Kekuatan itu menjadi semakin besar ketika kami bisa saling berbagi informasi dan solusi untuk bisa menyelamatkan anak-anak kita,” kata Pendiri Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), Diena Haryana, yang ditemui di Siberkreasi Netizen Fair 2017 di Jakarta, pekan lalu.
Unik pula cara komunitas ini melindungi anak-anak di dunia daring (online). Keprihatinan terhadap penggunaan gawai berjam-jam diantisipasi dengan memperkenalkan kembali aneka permainan. Tujuannya, dari anak-anak yang biasa ”sibuk” dengan gawainya, duduk berjam-jam dengan kepala terfokus kepada gawai, dicoba untuk diatasi dengan memperkenalkan permainan-permainan edukasi, seperti permainan ular tangga yang dimodifikasi untuk memacu motorik kembali diperkenalkan.
Bagi Komunitas Sejiwa, sebagian besar orangtua semakin bermasalah dengan gawai. Literasi digital yang kurang disadari menyebabkan orangtua pun kecanduan media sosial ataupun games. Anak-anak pun meniru orangtuanya.
Yang paling parah, anak-anak ikut-ikutan kecanduan gawai. ”Kecanduan ini membuat mereka lupa dengan kehidupan nyata,” kata Diena.
Selain itu, terdapatnya konten negatif di dunia digital. Misalnya, ada orang-orang dewasa yang memanfaatkan anak-anak untuk tujuan ”jualan”. Bisa juga memang menjebak anak-anak untuk kepentingan mereka, terutama kegiatan seksual. Temuan-temuan itu kerap diperoleh semua komunitas ini.
”Inilah contoh anak-anak sudah mengerti teknologi, tetapi tidak mengerti literasi. Enggak melek dengan apa bahaya yang bakal terjadi selanjutnya terhadap dirinya. Dia tidak memahami, konten apa pun stay di internet, tidak terhapus selamanya.”
Berbeda-beda
Achmad Rivai dari Komunitas Nawala mengatakan, komunitas Nawala bergerak untuk pengembangan sistem penangkal konten negatif yang bisa mengancam perkembangan anak-anak di dunia digital.
”Sasaran kami adalah kelas menengah ke bawah, terutama anak-anak. Jangankan anak-anak. Orang yang memahami literasi saja bisa jatuh mempercayai hoaks. Karena itu, Nawala menyediakan sistem filterisasi digital ini secara gratis,” kata Rivai.
Komunitas ini mengingatkan orangtua agar kembali memberikan waktu untuk mendampingi anak- anaknya. Waktu bersama anak adalah kesempatan yang tak mungkin terulang. (OSA)