JAKARTA, KOMPAS — Kopi Nusantara pernah merajai industri kopi dunia. Di abad ke-18, sebagian besar tanaman kopi di dunia menggunakan bibit kopi Java yang didatangkan langsung dari Jawa. Di dunia perkopian, ”Java” bahkan berarti kopi. Kini, Indonesia kembali berjibaku untuk membangkitkan kembali kejayaan kopi Nusantara.
Kopi Nusantara punya modal luar biasa untuk bersaing di pasar dunia, seperti keragaman cita rasa yang sangat luas dan narasi dari setiap jenis kopi yang sangat menarik. Indonesia juga merupakan negara yang mempunyai jenis kopi spesial paling banyak. Namun, sejumlah tantangan masih menghadang, seperti produktivitas rendah, kualitas tidak konsisten, tanaman sudah tua, pengolahan pascapanen buruk, serta inovasi dan teknologi masih rendah.
Hal tersebut menjadi salah satu intisari diskusi bertajuk ”Membangkitkan Kembali Kejayaan Kopi Indonesia” di Redaksi Kompas, Jakarta, Senin (6/11). Hadir penulis buku The Road to Java Coffee, Prawoto Indarto, Kepala Subdirektorat Tanaman Penyegar Direktorat Jenderal Perkebunan Hendratmojo Bagus Hudoro, Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Misnawi, Wakil Ketua Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (Specialty Coffee Association of Indonesia/SCAI) Daroe Handojo, tester kopi Tuti Mochtar, pemilik 5758 Coffee Lab Adi Taroepratjeka,serta mewakili kopi Kapal Api, Adi Haryono dan Paulus Nugroho.
”Kopi dari Pulau Jawa sejak dulu dikenal di pasar dunia sebagai a high grade coffee (kopi berkualitas tinggi) jauh sebelum masyarakat dunia mengenal kopi Brasil atau Kolombia,” kata Prawoto.
Kopi dari pulau Jawa sejak dulu dikenal di pasar dunia sebagai a high grade coffee (kopi berkualitas tinggi) jauh sebelum masyarakat dunia mengenal kopi Brazil atau Kolombia.
Prawoto mengatakan, pada tahun 1726 kopi Java menguasai 75 persen perdagangan kopi dunia. Di pusat perdagangan kopi di Amsterdam, Belanda, kopi Java bahkan menguasai 90 persen pasar. Sebagian besar kopi itu berasal dari perkebunan kopi di Cianjur, Jawa Barat. Namun, kejayaan kopi Java ambruk setelah tanaman kopi di Jawa diserang penyakit karat daun (hemileia vastatrix) sekitar tahun 1870-an. Setelah serangan penyakit itu, kopi Java lalu berlahan bangkit kembali. Namun, hingga kini kopi Java belum bisa mencapai kejayaannya semula, terutama dalam menguasai pasar dunia.
Hendratmojo menyatakan, dengan volume ekspor 557.800 ton per tahun, Indonesia saat ini menjadi produsen kopi terbesar ke-4 di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Luas lahan perkebunan kopi pun telah mencapai 1,23 juta hektar dan 96 persen di antaranya milik rakyat. Lahan itu dikelola 1,87 juta keluarga dengan rata-rata kepemilikan yang rendah, yakni 0,6 hektar per keluarga.
Hendratmojo menyatakan, kopi Indonesia terus berupaya untuk bangkit antara lain tergambar dari volume ekspor yang secara umum terus meningkat. Pada 2011, ekspor kopi Indonesia sekitar 346.493 ton, lalu naik menjadi 534.023 ton pada 2013, dan menjadi 557.804 ton pada 2016. Selain karena perluasan perkebunan baru, peningkatan volume ekspor juga didorong produktivitas yang meningkat.
Adi Taroepratjeka menyatakan, kualitas cita rasa kopi dari berbagai penjuru Nusantara sudah diakui di dunia. Namun, sering sekali kopi Nusantara terbentur ketika diminta konsisten memproduksi kopi dengan kualitas, cita rasa, dan ketersediaan yang sama. ”Akhirnya, banyak para konsumen meninggalkan kopi Nusantara,” katanya.
Menurut Adi, saat ini banyak praktisi kopi yang hanyut dalam euforia kopi spesial. Padahal, untuk membangkitkan kembali kopi Nusantara, Indonesia tak bisa hanya mengandalkan kopi spesial. Jumlah kopi spesial hanya sekitar lima persen dari total produksi kopi. ”Sisanya mau dibuat ke mana? Kopi lainnya, yang jumlahnya lebih dari 90 persen, juga harus tetap dikembangkan,” katanya.
Saat ini banyak praktisi kopi yang hanyut dalam euforia kopi spesial. Padahal, untuk membangkitkan kembali kopi Nusantara, Indonesia tak bisa hanya mengandalkan kopi spesial.
Di Indonesia, kata Adi, sebanyak 75 persen produksi kopi adalah robusta, sisanya sekitar 25 persen adalah arabika. ”Kalau kita lihat perbandingan ini, masa depan kopi Nusantara sebenarnya ada di kopi robusta,” kata Adi.
Melihat peluang kopi robusta ini, kata Adi, saat ini banyak pihak yang mengembangkan kopi fine robusta. Cita rasanya khas dan tidak kalah dengan kopi arabika spesial. Ia berharap semua pemangku kepentingan kopi bersatu mengembangkan kopi robusta.
Salah satu cara untuk mengembangkan kopi dalam skala besar, kata Adi Haryono, adalah dengan pengembangan industri kopi saset. Kapal Api sendiri telah mengekspor kopi saset ke beberapa negara.
Daroe mengatakan, industri kopi mulai dari hulu hingga hilir juga perlu melakukan efisiensi. Dengan kualitas yang sama, harga kopi Nusantara saat ini jauh lebih mahal dibandingkan kopi dari negara kompetitor lainnya.
Industri kopi mulai dari hulu hingga hilir juga perlu melakukan efisiensi. Dengan kualitas yang sama, harga kopi Nusantara saat ini jauh lebih mahal dibandingkan kopi dari negara kompetitor lainnya.
Menurut Tuti, para barista kopi juga harus ikut mempromosikan kopi Nusantara di festival-festival kelas dunia. Selama ini, sebagian besar barista asal Indonesia masih menggunakan kopi dari negara lain ketika ikut festival.