Pahami SCA, Saat Jantung Berhenti Seketika
Berolahragalah. Tidak perlu takut karena olahraga itu bermanfaat. Namun, bijaklah dan waspadai sudden cardiac arrest yang kebanyakan berakibat pada kematian. SCA dapat mengintai siapa saja, termasuk atlet serius di berbagai tingkatan kemampuan dan usia.
Sabtu (4/11/2017), kita berduka atas meninggalnya Andi Nursaiful (48), pehobi lari jarak jauh yang meninggal saat mengikuti lomba lari maraton BTS (Bromo, Tengger, Semeru) Ultra 100 di Jawa Timur. Andi meninggal ketika baru menempuh jarak 18 kilometer.
Sehari kemudian, dokter olahraga Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kesehatan Olahraga Nasional Nyoman Winata menginformasikan kejadian serupa. Peristiwanya terjadi pada hari yang sama, di Yogyakarta, yang jaraknya beberapa ratus kilometer dari Bromo. Di kota pelajar itu tengah berlangsung Pekan Olahraga Nasional Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Seorang peserta yang tak lain seorang pegawai negeri sipil meninggal saat bertanding dalam cabang olahraga tenis lapangan.
Seseorang yang meninggal saat berolahraga tidaklah sering terjadi. Namun, peristiwa yang sangat menyedihkan seperti itu rasanya juga tidak terlalu langka kita dengar. Penyebabnya tentu bersifat individual dan kepastian penyebabnya baru dapat diperoleh lewat otopsi terhadap jenazah mendiang.
Tanyakan pada diri sendiri, berapa lama rata-rata waktu tidur Anda dalam sepekan terakhir? Bagaimana dengan beban kerja Anda?
Di AS, salah satu penyebab peristiwa seperti itu adalah SCA. Menurut sebuah laporan departemen kesehatan dan layanan masyarakat negeri itu, sekitar 500 orang meninggal saat berolahraga akibat SCA setiap tahun. SCA bahkan dapat menimpa atlet yang dalam kondisi puncak, pada semua tingkatan olahragawan, semua cabang olahraga, dan semua tingkatan usia (www.doe.in.gov).
SCA adalah peristiwa ketika jantung berhenti berdetak seketika dan tiba-tiba. Istilah yang digunakan oleh tokoh kepelatihan senior Paulus Pesurney: jantung hanya mampu bergetar, tetapi tidak memompa. Ketika hal itu terjadi, jantung tidak lagi bisa mengalirkan darah ke seluruh organ vital manusia. Yang terjadi kemudian, kematian atau kerusakan otak secara permanen hanya dalam hitungan menit.
Gangguan kelistrikan
SCA tidaklah sama dengan serangan jantung meski serangan jantung dapat mengakibatkan SCA. Serangan jantung disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh yang membuat darah tak dapat mengalir ke jantung (www.sde.ok.gov).
Adapun SCA terjadi akibat gangguan sistem kelistrikan pada jantung. Penyebabnya macam-macam, bisa faktor keturunan, bisa karena gaya hidup. Situs Departemen Pendidikan Negara Bagian Oklahoma, AS, menyebutkan, remaja yang mengalami SCA umumnya didasarkan pada faktor keturunan. Adapun orang dewasa yang mengalami SCA bisa disebabkan oleh faktor keturunan, bisa juga akibat gaya hidup.
Yang namanya gaya hidup laten pemicu SCA juga banyak ragamnya. Bisa karena seseorang abai dengan waktu istirahatnya: tidak cukup atau tidak teratur, bisa karena asupannya yang tidak mencukupi kandungan nutrisi yang dibutuhkan, merokok, minum minuman beralkohol, dan sebagainya.
Gejala SCA sendiri mirip dengan kelelahan fisik (physical exhaustion). Kepala pusing atau berdenyut saat berolahraga atau beraktivitas fisik berat, tiba-tiba sesak napas, jantung berdegup kencang atau tidak teratur, dada sakit, kesadaran serasa mau hilang, dan rasa lelah luar biasa.
Winata memastikan, SCA bisa menyerang jika seseorang melakukan sebuah aktivitas melebihi kemampuannya saat itu. Frase ”melebihi kemampuan saat itu” pun menjadi relatif. Bisa saja Anda tidak merokok, tidak minum minuman beralkohol, makan teratur dengan kandungan nutrisi yang cukup bagi orang seusia Anda, dan Anda selalu menyempatkan diri berolahraga joging sepekan dua kali. Anda pehobi olahraga lari.
Namun, jika Anda tergoda untuk ikut lomba lari 10.000 meter di akhir pekan, padahal sepekan sebelum lomba itu Anda sudah ikut lomba serupa, waspadalah. Tanyakan kepada diri sendiri, berapa lama rata-rata waktu tidur Anda dalam sepekan terakhir? Bagaimana dengan beban kerja Anda? Apakah Anda mengonsumsi asupan dengan kandungan nutrisi yang lebih dari biasanya (memastikan proses pemulihan fisik terjadi lebih cepat)? Apakah Anda tergoda untuk mengulangi pencapaian waktu yang sama—atau lebih baik—di lomba mendatang?
Hobi berolahraga tentu sangat baik. Namun, hobi apa pun selalu menggoda. Hobi mendorong kita untuk sering melakukannya, kapan pun waktu terluang, bahkan kita yang sengaja meluangkan waktu untuk itu. Karena hobi, kita ingin melakukannya dengan sebaik mungkin, semaksimal yang kita bisa. Tanpa kita sadari, hobi mendorong kita melakukannya secara berlebihan. Eksesif.
Orang yang hobi bulu tangkis tentu belum puas jika masuk lapangan di malam hari (seperti biasa) hanya untuk latihan memukul-mukul kok saja. Masuk lapangan tentu harus bertanding. Semakin panjang dan banyak reli serta smes yang bisa dilakukan akan semakin membuat gembira. Semakin utuh gim permainan yang dilakoni akan membuat seorang pehobi kian bahagia.
Maka, lupalah ia bahwa seharian itu beban kerja di kantor lebih dari biasanya. Padahal, semalam sebelumnya, waktu tidur dia satu-dua jam lebih sedikit. Makan siang sudah, tetapi ternyata jumlah air putih yang diminum dalam seharian itu kurang dari biasanya. Abai yang seperti itu bisa saja menyebabkan SCA datang menyerang.
Gaya hidup olahragawan
Oleh karena itu, secara sederhana, untuk mencegah serangan SCA bagi para pehobi olahraga adalah juga menganut gaya hidup olahragawan, yaitu berdisiplin. Seorang atlet memang berlatih hampir setiap hari, tetapi mereka memiliki siklus latihan. Ada sesi latihan dengan volume yang banyak, dilanjutkan dengan sesi latihan yang ringan, diikuti sesi latihan berat hingga ambang batas rasa lelah (threshold), kemudian latihan santai untuk pemulihan.
Siklus tersebut ada yang dibuat secara makro, katakanlah dalam setahun atau semester yang terbagi dalam tahapan bulanan. Siklus makro itu dibagi lagi dalam siklus yang lebih kecil dalam pekan, lalu dalam hari. Tidak ada seorang atlet yang terus berlatih dengan volume yang besar atau intensitas yang tinggi dan semakin tinggi dari sesi ke sesi. Itulah gaya hidup mereka.
Ambillah contoh pelari maraton di semua tingkatan (atlet pelajar, tingkat provinsi, atau atlet nasional). Dengan tujuan mencapai prestasi yang sama atau lebih baik dari lomba ke lomba, pelari jarak jauh membatasi hanya mengikuti dua lomba maraton yang 42,195 kilometer jaraknya itu dalam setahun.
Maraton adalah olahraga sangat berat, menguras kalori, cairan tubuh, dan banyak merusak sel-sel otot. Rasa pegal dan linu seusai maraton bisa saja hilang dalam dua hari. Namun, pemulihan tubuh secara sempurna baru bisa terjadi dalam tiga-empat pekan berikutnya.
Tentu dalam kurun tersebut seorang atlet tidak lalu total beristirahat. Mereka tetap berlatih. Hanya, frekuensi dan volumenya dimulai kembali dari rendah dan meningkat perlahan. Penurunan tersebut sekaligus untuk memberi waktu bagi tubuh kita melakukan superkompensasi, mengganti sel-sel otot yang rusak dengan sel baru yang lebih kuat. Dalam masa pemulihan itu, seorang atlet juga berdisiplin untuk ”mengubah” asupan mereka. Memperbanyak protein dan mengurangi karbohidrat serta mengatur kembali jenis suplemen (vitamin, kalsium, dan sebagainya) misalnya.
Jadi, seseorang pehobi lari jarak jauh bukannya tidak boleh ikut lomba lari setiap pekan, atau dua pekan sekali. Namun, ingat, disiplin adalah gaya hidupnya. Di hari-hari setelah lomba (juga setiap hari dalam hidup) berdisiplinlah dengan istirahat yang cukup—sadar kapan harus tegas 8 jam tidur malam, kapan bisa kurang dari itu misalnya, disiplin dalam asupan, dalam siklus latihan, dan dalam siklus lomba.
Jika dalam rentang sepekan kembali hadir sebuah lomba yang ”godaannya” tak mungkin ditampik, ikutlah. Namun, tak perlu menargetkan untuk punya irama lari sebaik lomba pekan lalu. Kemudian, tidak salah jika pekan lalu Anda turun di nomor maraton, pekan ini turun di nomor 5.000 meter.
Olahraga itu baik karena, pertama-tama, yang diajarkan pada kita bukanlah peningkatan kebugaran dan kesehatan. Pelajaran pertama dari olahraga adalah gaya hidup berdisiplin.
Kembali pada kasus-kasus pegiat olahraga yang meninggal saat menjalani aktivitasnya di Indonesia. Kematian mereka belum tentu akibat SCA dan penyebabnya baru dapat dipastikan lewat otopsi. Pemerintah AS memiliki mekanisme pemantauan dan pencegahan SCA—mekanisme itu kuat dengan didukung oleh peraturan hingga di tingkat negara-negara bagian—karena pemerintahnya punya data hasil otopsi terhadap atlet yang meninggal tiba-tiba saat berolahraga.
”Kita juga harus berani melalukan otopsi pada kasus seperti itu. Jika tidak, kita tak akan tahu penyebab-penyebab pastinya. Kalau tidak tahu, kita tidak punya cara yang tepat untuk mencegah,” ujar Winata.