Evani Terpikat Kopi
Ia berpendapat, perempuan bisa menjadi supertaster atau pencicip andal. Ia melihat sikap alamiah seorang ibu ketika akan memberi makanan atau minuman kepada anaknya. Ibu pasti akan mencicipinya terlebih dahulu, entah untuk mengetahui rasa, tekstur, atau mengukur panas tidaknya makanan atau minuman. Sifat itu secara tidak disadari sebenarnya merupakan naluri untuk melindungi.
Evani rupanya juga menyimpan jiwa sebagai pendidik. Ia sengaja memilih mendidik staf dari nol karena lebih mementingkan perilaku dan kepribadian para stafnya. Keterampilan teknis, bagi Evani, bisa dilatih belakangan. Para karyawannya juga diharapkan terus berkembang kapasitas pribadinya, seperti pola pikir dan perilaku. Seorang stafnya yang lulusan SMA dan mengawali karier sebagai waitress atau pramusaji kini menjadi manajernya. ”Suatu saat saya butuh supervisor atau manajer, mereka ini yang akan mengisi. Saya enggak suka ambil yang sudah jadi,” kata perempuan yang tertarik dengan teknologi pangan ini.
Pengetahuan kopi
Evani dikenal sebagai barista dan Q grader atau orang yang menelaah rasa suatu kopi dan memberikan nilai terhadap kualitas kopi itu. Akan tetapi, perempuan asal Semarang ini sebenarnya cukup menguasai seluk beluk kopi sejak dari hulu ke hilir seperti tercermin lewat pembicaraannya. Menguasai pengetahuan dan teknik terkait kopi sejak dari hulu ke hilir, menurut dia, sangat penting sebagai bagian dari usaha untuk membangun kopi. Untuk itu, ia membangun First Crack Coffee Academy yang bertempat di kedai kopinya di Sunter itu. Materinya mulai dari pengetahuan tanam, pengenalan biji, hingga keterampilan sensorik, roasting, seduh, dan barista. Lulusan semua tingkatan berhak mendapat sertifikat diploma dari Specialty Coffee Association (SCA). Evani menggandeng Ermanno Perotti, ahli kopi, dan Andrej Godina, doktor di bidang sains, teknologi, dan ekonomi kopi.
Evani berharap petani kopi di Indonesia pun bisa memiliki pengetahuan kopi sejak hulu hingga hilir sehingga mereka tidak saja menguasai tentang penanaman kopi hingga teknologi pascapanennya, tetapi hingga ke teknik roasting. Dengan begitu, petani pun bisa mengecek hasil akhir kopi mereka dan pada gilirannya bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas biji kopi yang dihasilkan.
”Kalau barista kan sekarang sudah banyak, pelakunya juga anak muda. Semoga suatu saat banyak anak muda juga mau terjun menjadi petani kopi dan memadukan tradisi dengan teknologi untuk memaksimalkan hasil,” kata Evani.
Barista tanpa biji kopi yang bagus, menurut Evani, tidak akan optimal. Peran petani sangat penting untuk memastikan dihasilkannya biji kopi yang berkualitas. Teknik dan pemilihan pemupukan, pemetikan, pemilihan biji kopi, dan pengeringan menjadi faktor vital kualitas biji kopi. Indonesia saat ini sebagai produsen nomor empat dunia untuk biji kopi, di bawah Brasil dan Vietnam. Namun, untuk kualitas, Panama menempatkan banyak biji kopinya dengan nilai 90 plus, nilai tertinggi untuk biji kopi. Nilai tertinggi biji kopi Indonesia, setahu Evani, baru mencapai 86.
Itu pun biji-biji terbaik kopi Indonesia belum banyak dinikmati orang Indonesia sendiri, melainkan diekspor ke luar negeri. Ia harus jauh-jauh ke Amerika Serikat, tempatnya kuliah dan bekerja, yang kemudian mempertemukannya dengan kopi asal Indonesia. Evani trauma minum kopi tetapi kemudian pekerjaannya sebagai auditor yang kerap memaksanya bekerja sampai larut malam akhirnya mendorongnya mau kembali mencicipi kopi.
”Teman saya sering menawari kopi. Awalnya enggak mau. Karena keseringan ditawari, akhirnya suatu saat nyicip juga. Eh, ternyata kok enak ya. Beda dengan ingatan rasa kopi yang pernah saya minum di Indonesia,” kata perempuan yang sering memberikan lokakarya kopi kepada siswa sekolah dan mahasiswa ini.
Sejak itu, Evani jadi suka ngopi dan berkunjung dari kafe ke kafe. Uniknya, banyak kopi yang ia cicipi ternyata berlabel ”kopi sumatera”. Hanya setahun bekerja di negeri ”Paman Sam”, tahun 2013 Evani kembali ke Tanah Air. Ia menyadari suatu saat ia memang harus kembali. Visinya sudah jelas, berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Namun, saat itu, Evani masih bingung bagaimana visi itu ia wujudkan. Kembali ke Semarang, kota tempat ia lahir dan dibesarkan, Evani teringat kebiasaannya ngopi di Amerika.
”Saya pikir, pasti lebih mudah dong cari kopi enak di sini, wong di negara asalnya. Di Amerika saja, kopi sumatera banyak ditemukan,” kata anak pertama dari tiga bersaudara ini.
Ternyata apa yang ia angankan tidak menemui kenyataan. Evani kembali menemui kopi ”jamu”. Ia bahkan lebih banyak ditawari kopi dari luar negeri. ”Coba deh kopi brasil atau kopi etiopia,” kata Evani menirukan saran teman-temannya kala itu.
Perempuan yang hobi membaca buku-buku motivasi ini sungguh penasaran. Bagaimana bisa di negeri asal yang terkenal memiliki banyak varian biji kopi, ia kesulitan menemukan kopi yang enak? Evani nekat pergi ke Takengon, Aceh, daerah asal kopi gayo yang terkenal itu dan daerah sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Ia menemui petani-petani kopi dan menanyakan masalahnya yang kesulitan menemukan kopi enak. ”Dari mereka saya jadi tahu bahwa kopi-kopi terbaik justru dikirim ke luar negeri. Pantas saja saya susah cari kopi enak di negeri sendiri,” ungkap Evani.
Ia kemudian melakukan pendekatan kepada petani agar juga bersedia memberinya biji-biji kopi terbaik. Sebagai imbalannya, Evani berani membeli dengan harga tinggi. ”Itu sudah konsekuensi. Daripada barang bagus diekspor terus, mending kita telan sendiri dengan visi orang Indonesia harus cinta produk Indonesia,” kata Evani.
Berbekal tabungannya semasa bekerja di Amerika, Evani kemudian mendirikan Strada Coffee di Semarang. Kopi yang ditawarkan adalah biji-biji kopi berkualitas baik. Ia belajar roasting di Amerika dan mengambil sertifikasi uji cita rasa kopi (Q grader). Evani juga menjalin kerja sama dengan Asosiasi Kopi Indonesia atau SCAI untuk menggelar cupping untuk biji-biji kopi Indonesia.
Suatu kali, ia tengah membantu SCAI yang mengikuti pameran kopi di Seattle, Amerika Serikat. Seorang asing datang dan menanyakan tentang kopi-kopi Indonesia. Percakapan ini berujung diajaknya Evani ke sebuah tenda yang ternyata tengah menyelenggarakan audisi untuk acara Barista and Farmer 2016, reality show yang mempromosikan budaya kopi berkualitas melalui edukasi serta interaksi barista dan petani kopi.
Dari 400 peserta, Evani terpilih menjadi 10 finalis di acara yang digelar di Brasil ini. Ia kemudian mendapat penghargaan di bidang cupping dan sebagai barista favorit. Penilaian dilakukan mulai dari memetik hingga roasting dan penyajian. Evani juga berkesempatan ke Panama dan melihat etos kerja petani yang telaten memilih kopi-kopi terbaik yang tumbuh di tebing dataran tinggi.
Evani sendiri tengah merintis kebun kopinya di Toraja, yang akan menjadi laboratoriumnya bereksperimen di sektor hulu kopi. Kelak, ia ingin berbagi hasil eksperimennya kepada petani. ”Kalau eksperimen saya sudah berhasil kan enak mau sharing. Kalau sekarang, orang akan tanya, buktinya mana,” kata perempuan yang pernah diminta menyajikan kopi jawa dan kopi toraja untuk Presiden Joko Widodo saat Hari Kopi Internasional di Istana Bogor tanggal 1 Oktober lalu.